Bab 13 berjuang

3.1K 859 34
                                    

Aku tidak akan menyerah. Apapun yang terjadi aku harus mendekati Raka. Dia butuh aku dan aku tahu itu.

"Sammy. "

Papa membuatku menoleh dari aktivitasku membuat kue. Sore ini aku akan ke rumah Raka lagi.

"Papa."

"Wah buat kue enak nih. Mau dibawa ke Raka lagi?"

Aku menganggukkan kepala saat mendengar pertanyaan papa. Beliau sudah mendengar curhatanku. Kemarin saat pulang dari rumah Raka aku langsung menangis di pelukan papa. Aku tidak tahu keegoisanku dulu membuat orang lain celaka.

"Ya udah nanti suruh anterin Abel. Dia ada di sini."

Aku hanya kembali menganggukkan kepala. Papa mengusap rambutku dengan sayang.

"Papa akan selalu mendukung apa yang menjadi pilihanmu. Berjuang ya."

*****

"Beneran kamu gak mau kakak temani?"

Kak Abel sudah menatapku dari samping. Kami akhirnya sampai juga di rumah Raka. Satu box kue yang aku buat kini ada di atas pangkuanku.

Kugelengkan kepala.
"Nanti jemput Sam kalau udah sms ya."

Akhirnya Kak Abel menganggukkan kepala.

"Fighting Sam. "

Aku tersenyum melihatnya memberikan semangat. Lalu aku membuka pintu mobil dan turun. Jantungku berdegup kencang saat ini. Apakah Raka akan menerimaku? Atau ada Lena teman wanita Raka yang begitu membenciku Itu?

Suara mobil Kak Abel meninggalkan pekarangan rumah Raka kini mengiringi aku melangkah ke depan pintu.

Saat aku mengetuk pintu suara Raka terdengar.

"Sebentar."

Tapi aku tidak bisa menunggu lagi. Aku membuka pintu yang memang tidak terkunci. Saat itulah Raka muncul dengan kursi rodanya. Dia tampak tidak terkejut melihatku. Tapi tatapannya muram.

"Hai.. sorry.. Aku ehmmm mau nganterin ini."

Aku melangkah gugup ke arah Raka yang menatapku dalam diam. Sore ini dia tampak tampan dengan sweater biru navy yang membebat tubuhnya yang lebih kurus saat ini.

"Aku buat sendiri kue nya."

Aku bersimpuh di depan Raka. Lalu dengan ragu mengulurkan box berisi kue itu ke depan Raka. Matanya langsung menatap kue itu.

"Kamu membuatkan aku tiramissu?"

Mata Raka sedikit berbinar. Dia langsung menerimanya. Lalu mengambil sepotong. Dan langsung memakannya.

"Iya. Aku ingat kamu dulu suka banget ama kue ini. Dan aku udah bisa membuatnya. Gimana? Enak?"

Raka menganggukkan kepala.

"Enak. Kamu pinter."

Aku tersenyum. Lalu beranjak dari tempatku. Kali ini beralih ke belakang kursi roda. Dan mendorong kursi itu. Membawa Raka menuju sofa.

"Makasih."

Dia menatapku lagi saat aku duduk di sofa dan kursi rodanya ada di dekatku.

Aku menganggukkan kepala.

"Kamu sendirian?"

Jantungku berdegup kencang saat menanyakan itu. Entahlah. Aku tidak suka ada Lena di sini.

Raka menganggukkan kepala.

"Lena lagi ke luar kota."

Aku kini diam. Tidak suka dengan topik ini. Hatiku terasa sakit.

"Sam. "

"Ya?"

Kini Raka tersenyum..
"Aku merindukanmu. "

Sungguh. Aku seperti berada di padang pasir yang menemukan setetes air. Rasanya begitu sejuk saat ini mendengar ucapan Raka. Kuulurkan tangan untuk menggenggam jemarinya. Air mata menetes di wajahku. Aku tidak sanggup lagi. Dan aku terisak.

Raka membalas menggenggam jemariku.

"Hei.. jangan menangis. Aku gak mau lihat kamu bersedih. Aku memang merindukanmu Sam. Tiap detik sejak kita berpisah aku tidak bisa melepaskanmu. Tidak."

Mendengar itu aku langsung menghambur ke dalam pelukan Raka. Merangkul lehernya dan membenamkan wajahku di sana. Tangisku pecah.

Raka mengusap-usap punggungku. Membuat aku lebih rileks.

"Aku..aku... mencintaimu Raka."

Ucapanku terbata dan teredam air mata. Tapi aku tahu Raka mendengar. Dia tidak mengatakan apa-apa tapi pelukannya makin erat dan aku merasakan kecupan hangat di pucuk kepalaku.

Setelah akhirnya aku tenang. Raka kini menyuruhku duduk lagi. Dia masih menggenggam erat jemariku. Bahkan tangannya yang halus mengusap air mata yang mulai mengering di wajahku.

"Aku juga sayang sama kamu.:

"Kalau begitu kita nikah. Aku tidak akan menolakmu lagi Raka."

Tapi tatapan Raka kini tampak muram. Dia menatapku dengan sendu.

"Aku tidak mau membuatmu mengurusku seumur hidup. Kamu masih bisa mendapatkan yang lebih."

Kugelengkan kepala.

"Tidak. Aku tidak mau yang lain. Aku ingin kamu."

Raka kini terdiam dan menatapku lagi.

"Meski aku cacat?"

Kuanggukan kepala dengan mantap.

"Aku tidak peduli."

"Kalau aku tidak bisa memberimu anak?"

"Aku juga tidak peduli. Aku ingin menjadi istrimu Raka."

Aku sudah ingin menangis lagi. Tapi kini aku bisa melihat senyum Raka.

"Baik Kalau begitu. Aku tidak akan mengelak lagi. Asal kamu tahu kalau aku tidak bisa membahagiakanmu baik secara fisik dan batin. Kamu tahu aku pria cacat."

Dia menunduk menatap kakinya. Tapi aku segera kembali memeluknya. Menangis karena rasa yang membuncah ini.

"Aku tidak peduli. Aku hanya ingin menikah denganmu. Dan bahagia dengan begini. Itu sudah cukup."

Bersambung

Nah hayo komenlah yang rame..biar di up lagi

SUMMER DAYTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang