[ EPILOG ]

21.1K 821 130
                                    

Minggu pagi, langit biru bersih tanpa awan menutupi, membuat matahari bersinar dengan terangnya. Perempuan kuncir kuda itu mendonggak, mengusap air yang mengalir dari dahinya. Punggungnya ia sandarkan di batang pohon besar di belakangnya, matanya terpejam, merasakan angin berhembus menerpa kulitnya.

"Kasus kemarin belum selesai?"

Azrina menoleh ke arah laki-laki yang duduk di sampingnya. Senyum lebar terukir di sana sembari menerima air botol yang diberikan kepadanya. "Belum, nanti sore kamu jadi terbang?"

"Jadi," bibir Azrina langsung mengerucut lucu, membuat Zidan tertawa kecil, "kan besok langsung pulang."

"Sama aja. Aku tetep ditinggal."

"Kamu segitu kangennya sama aku?"

Azrina berdecak. "Kalo aku nggak kangen, aku nggak akan balik ke Indonesia lagi!"

"Aku kira kamu nggak akan sesibuk itu," lanjutnya.

Zidan terkekeh, ia menarik Azrina masuk ke dalam pelukannya. Lalu menepuk dua kali kepala Azrina, membuat Azrina memberontak.

"Ih, Zidan! Aku bau tau!"

"Biarin."

Lalu laki-laki dengan kaus oblong yang sudah basah datang dengan nafas terengah datang, melihat mereka berdua kesal. Sembari mengatur nafasnya, ia masih menatap Azrina dan Zidan yang sibuk dengan dunia mereka sendiri.

"Gue cariin kemana-mana juga."

"Eh, Kak Arham?"

"Pulang lo, dicariin Tante Rina. Arthur mau pulang."

"Seriusan? Bang Arthur pulang hari ini?"

Arham mengangguk membuat Azrina bangkit dari duduknya diikuti dengan Zidan yang berada di sebelahnya. Mereka bertiga berjalan ke rumah Azrina beriringan. Sesampainya di sana, Azrina langsung memeluk Arthur erat lalu mendonggak, menatap Kakaknya itu.

"Abang cepet banget pulangnya."

Bibirnya mengerucut lucu, membuat Arthur terkekeh geli. "Abang udah 3 bulan di sini, kamunya aja yang sama Zidan mulu."

Sedetik kemudian Azrina tersenyum tidak bersalah. Benar juga sih, semenjak Zidan tidak bekerja, Azrina setiap detik bahkan menit selalu nemplok sama Zidan. Rindu katanya, padahal mereka sudah 2 bulan saling bertatap muka.

Azrina melambaikan tangannya hingga mobil itu hilang dari pandangannya. Wajahnya kembali tertekuk, pagi ini Arthur yang pergi, nanti sore giliran Zidan yang pergi. Kedua orang tuanya sibuk dengan urusan masing-masing. Arham juga sibuk mengurus anak keduanya dengan Dewi.

"Kenapa?"

"Nggak pa-pa," Azrina tersenyum, "kita jadi ke sana?"

"Jadi, kamu mandi dulu sana."

Setengah jam kemudian, setelah Azrina mandi, mereka langsung berangkat ke rumah yang sudah beberapa kali ini mereka datangi. Rumahnya memang kecil, tapi minimalist dan nyaman. Setelah mengetuk pintu dua kali, sang pemilik rumah menampakkan wajahnya.

"Kak Azrina!"

Azrina tersenyum hangat, membalas pelukan perempuan itu. "Hai Karina, apa kabar?"

"Baik Kak, Kakak tambah cantik!"

"Aamiin," ucap Azrina dengan kekehan di belakang.

"Papa!"

Anak kecil dengan dress biru langit itu berlari menghampiri Zidan yang sudah menyambutnya di teras depan. Zidan merentangkan tangannya, memeluk anak kecil itu sembari mengusap kepalanya lembut. Melihat itu Azrina terdiam sebentar, dadanya sesak. Hingga akhirnya Karina mengajaknya masuk, barulah Azrina kembali tersenyum.

Mereka di sana hampir 3 jam kalau saja Azrina tidak mengingatkan bahwa Zidan harus merapikan barang untuk besok. Tidak banyak yang mereka bahas, hanya kehidupam Azrina di sana dan sebagian besar tentang Karina dan anak itu.

Dalam perjalanan pulang, Azrina melihat ke luar jendela sembari mengusap cincin yang melingkar di jari manisnya. Hening hingga sampai di depan rumah, Zidan langsung menahan lengan perempuan itu.

"Na, aku kan udah bilang, kalau Oliv itu anaknya Reno. Nggak ada sedikitpun hubungan darah sama aku."

Azrina menghindar ketika tangan Zidan mencoba mengenggam tangannya. "Perempuan mana yang nggak sakit hati kalau diginiin?"

"Apalagi status kamu suami aku," lanjutnya sebelum keluar dari mobil.

Azrina berlari masuk ke dalam rumah, memasukkan barang-barang yang akan Zidan butuhkan untuk nanti sore. Sore tiba, setelah makan dan mandi, Zidan mengambil koper kecilnya lalu mendekati Azrina yang sedari tadi duduk menghadap ke jendela besar.

"Na, aku berangkat."

Azrina menghindar ketika bibir Zidan hampir menyentuh bibirnya. Tangan kananya ia gunakan untuk mendorong dada Zidan lembut. "Hati-hati."

Zidan tersenyum tipis lalu berjalan keluar dari kamar itu. Namun ketika baru sampai di ambang pintu, ia berbalik, menatap punggung Azrina dengan dada sesak.

"Zidan! Kamu pulang sekarang! Azrina ngurung dirinya sendiri."

Setelah mendapat kabar dari Rina, Zidan yang baru saja turun dari pesawat langsung terburu-buru pulang ke rumah. Selama perjalanan ia berdoa Azrina baik-baik saja dan tidak melakukan hal yang gila.

Seperti dulu.

Pukul 7 pagi Zidan baru sampai di rumah, ia berlari masuk hingga ke kamar mereka. Rina, Renra, Aldi dan Arham sudah berada di depan pintu kamar Azrina sembari memohon kepada perempuan itu untuk membuka kunci pintu.

"Dia nggak mau buka pintunya kalau itu bukan lo," ucap Arham dengan wajah paniknya.

Zidan mengetuk pintu dua kali. "Na, ini aku."

Suara kunci pintu terdengar, Zidan langsung membuka pintu dan masuk ke dalamnya. Ia juga kembali menutup pintu, membuat orang di luar sana mendengus kesal.

"Hey, why you crying?"

Zidan yang masih mengenakan pakaian dinasnya berjongkok di hadapan Azrina yang duduk di pinggir kasur. Air mata memang mengalir di pipi perempuan itu, namun senyum lebar terbit di sana. Jantung Zidan terasa berhenti saat itu juga sewaktu Azrina memeluknya erat sembari mengatakan;

"I'm pregnant."








-Tamat-

a.n

Hutang gue udah lunas dong? Happy ending kan? Udah kejawab dong semuanya. Tentang anak yang manggil Zidan Papa dan Azrina sama Zidan yang nggak sama-sama.

Makasih yang masih mau nungguin Epilognya Zidan:')

See you.
-Dindaa.-

-10 Juli 2018-

zidan | belum revisiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang