03 - Salju yang turun di atas kepalamu

4.6K 550 42
                                    

Ruangan terasa semakin dingin ketika pendengarannya semakin peka oleh suara denting jarum jam yang berjalan, kelas baru berlangsung selama 30 menit, namun Jisoo sudah bisa merasakan hawa membosankan dari orang-orang di sekitarnya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Ruangan terasa semakin dingin ketika pendengarannya semakin peka oleh suara denting jarum jam yang berjalan, kelas baru berlangsung selama 30 menit, namun Jisoo sudah bisa merasakan hawa membosankan dari orang-orang di sekitarnya. Ada yang menguap, ada yang mendengarkan dengan pandangan kosong, ada pula yang mencoret-coret kertas untuk membunuh waktu.

Orang-orang di sini bukan anak sekolah dasar yang baru merasakan letihnya belajar, mereka orang yang sudah bisa menentukan mimpinya sendiri. Berada di kelas ini adalah pilihan mereka, tapi melihat banyak orang yang terlihat seperti; 'hah kenapa aku ada di sini' 'aku bosan cepatlah selesai' dan 'sial ini terasa mencekik' membuatnya merenungi diri sendiri.

Bahkan orang dewasa saja bisa begitu tidak konsisten dengan pilihannya sendiri.

Ada yang bilang masuk jurusan seni itu hanya membuang-buang waktu, tidak ada masa depan, dan tidak bisa menghasilkan uang. Banyak orang yang pada akhirnya bekerja tidak sesuai jurusannya, dan menyesal kemudian; kenapa aku harus masuk jurusan itu.

Jisoo tidak pernah terpengaruhi oleh kata-kata seperti itu, tapi ia pernah bertanya-tanya; sampai kapan kiranya ia bisa senang menjalani hari-hari seperti ini, sampai kapan ia bisa terus merasa bersemangat saat berada di depan kanvas, dan bagaimana sekiranya euforia ini akan berakhir.

Karena Jisoo sangat menyukai menggeluti apa yang membuatnya tenggelam dalam kesenangan yang hanya bisa dipahami oleh dirinya sendiri, ia bisa menjadi sangat takut jika suatu saat ia sudah tidak bisa lagi menikmatinya. Ketika perasaan itu hilang dan yang tersisa hanya rasa lelah, apa lagi yang bisa ia harapkan?

Namun apapun itu, Jisoo akan tetap terus melangkah maju sampai ia melihat akhirnya. Sampai ia bisa melihat hasil dari keputusannya sendiri, ia sudah menyiapkan diri untuk sebuah kekecewaan. Karena ini mimpinya, dan karena ini hidupnya, Jisoo tetap akan menerima semuanya. Begitu pula dengan caci maki dari orang tuanya ketika pada akhirnya dia gagaal.

Masih segar dalam ingatan ketika dirinya mengumumkan akan menggeluti seni alih-alih terjun ke dunia bisnis, orang yang paling menentang gagasan itu adalah orang tuanya. Pada saat itu, Jisoo hanya bisa diam dan menatap mereka dengan menantang. Sejak ia lahir mereka tidak pernah mengurusnya, mereka tidak pernah ingin tahu bagaimana tumbuh kembangnya. Bahkan saat kaki mungilnya akhirnya berhasil melangkah untuk pertama kali, tidak ada ucapan selamat, tidak ada tangis haru atau tawa bahagia.

Mereka sudah membuatnya merasa seperti anak yang tidak diinginkan, mengikis kepercayaan dirinya, dan melukai hatinya setiap kali bertatap muka.

Jadi, kenapa mereka merasa berhak untuk mengaturnya?

Jisoo tahu, mereka melakukannya bukan karena peduli akan masa depannya. Melainkan untuk menyelamatkan harga diri keluarga, karena dari semua orang di keluarganya hanya Jisoo yang melenceng dari jalan khusus. Mereka mungkin malu mengakui Jisoo sebagai bagian dari kartu keluarga hingga rela meruntuhkan visi untuk tidak peduli akan apapun yang berkaitan dengannya. Ironis sekali, puluhan tahun hidup sebagai keluarga, namun itu pertama kalinya mereka menunjukan minat padanya. Menegur, menentang, dan memarahinya. Haruskah ia merasa senang?

Knowing BrotherTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang