"K-katanya kau belum makan malam."Wonwoo hanya menatapnya dalam diam, bergantian antara wajah merahnya dengan nampan yang ia bawa. Tak lama, dia menerima nampan itu tanpa mengucapkan apapun. Membuat Jisoo menjadi berspekulasi sendiri, dia memang jarang berbicara tapi diamnya kali ini sungguh tidak bisa Jisoo abaikan. Walau kerap kali menjahili orang, tapi hatinya akan tidak nyaman bila membuat orang marah. Tanpa terkecuali, Wonwoo.
Jadi ketika pintu di depannya sudah akan ditutup, dengan gerakan impulsif satu tangannya menghadang. Wonwoo bertanya lewat mata, namun Jisoo yang baru menyadari tindakannya hanya tergugup diam. Kemampuan berpikirnya mendadak menjelma serupa kecepatan cahaya untuk mencari alasan, biasanya jika dalam keadaan genting otaknya cepat sekali bekerja.
Lantas Jisoo teringat janjinya kepada Jaewook untuk memastikan Wonwoo menghabiskan makanannya, walau harga dirinya akan jatuh melebihi sinkhole, ia tetap berbicara dengan berani. "Aku ingin memastikan kau menghabiskan makananmu."
Sejenak, Jisoo merasa kadar oksigen di sekitarnya berkurang kala Wonwoo menatapnya dalam tanya. Pria itu sepertinya suka sekali menunjukan maksudnya lewat mata alih-alih berbicara.
"Bisakah kau makan di luar kamar?"
Jisoo tahu pertanyaannya sangat tidak sopan, karena siapa manusia di dunia ini yang nyaman ketika ada orang lain menontonnya sedang makan selain juri kontes memasak? Tapi, ia tidak punya pilihan lain karena tidak mungkin Jisoo memintanya untuk masuk ke kamar pria yang terjaga keamanannya.
"Apakah Jaewook yang menyuruhmu?" Wonwoo akhirnya membuka suara.
"Tidak, aku yang ingin melakukannya sendiri."
"Jika kau merasa tidak nyaman karena kejadian hari ini, lupakan saja. Aku tidak gila untuk menunggumu pulang di tengah hujan salju, aku punya alasan sendiri yang tidak ada kaitannya denganmu." Jelasnya tanpa ragu.
Jisoo termangu, jika memang benar begitu, ya baguslah. Tapi kenapa wajahnya memanas seakan suhu tubuhnya mendadak naik? Rasa-rasanya ia jadi ingin memarahi Soori yang bisa-bisanya memberikan kesimpulan seperti itu.
"Ah, begitu. Baiklah. Maaf sudah mengganggu."
Setelah Jisoo menyelesaikan kalimatnya pintu di depannya benar-benar tertutup, ada secercah rasa lega karena Wonwoo tidak marah padanya, namun rasa malu masih menempel hingga ia hanya bisa berguling-guling di atas kasurnya dengan frustasi.
Keesokan paginya, mereka secara kebetulan bertemu kembali di ruang makan. Jisoo memutuskan untuk pergi sarapan karena tahu hari ini Wonwo libur, jadi dia pasti memilih untuk sarapan di ruang kerjanya. Begitulah kebiasaannya, selain malam minggu mereka biasanya tidak makan di satu meja maupun satu ruangan. Tidak ada peraturan tertulis maupun secara lisan, hanya saja Jisoo membentengi dirinya sendiri untuk tidak terlibat terlalu dekat. Namun betapa terkejutnya netranya kala melihat pria itu sedang anteng memakan sarapannya di kursi kepala keluarga.
KAMU SEDANG MEMBACA
Knowing Brother
RomanceSepanjang hidupnya, Jeon Jisoo hanya bisa mencicipi kegagalan yang seolah tak berujung. Namun, meski begitu banyak orang yang iri akan kehidupannya sebagai putri bungsu keluarga kaya raya. Ia tidak perlu memikirkan soal uang karena semua kebutuhanny...