“Hei, hei, kau sudah dengar?”
“Soal ketua OSIS ya?”
“Itu sungguhan? Dia mendekati seorang gadis?”
“Halah, paling cewek itu gede rasa saja.”
“Bisa jadi. Tazaki-kun memang baik pada siapa saja. Buktinya dengan Elena yang paling akrab saja tidak ada apa-apa.”
“Benar. Tazaki-kun memang sebaik itu dengan semua orang.”
Aku mengembus napas, menjauhi kerumunan di sudut perpustakaan. Dasar, niatku ke mari mencari ketenangan malah bertemu gerombolan tukang gosip.
Entah siapa yang memulai, tiba-tiba muncul kehebohan tentang ketua OSIS naksir perempuan. Sekarang seisi sekolah topik obrolannya seragam—membicarakan siapakah gerangan perempuan itu. Memangnya apa yang salah dari Tazaki naksir perempuan? Dikira dia cuma tahu sekolah-rapat-sekolah-rapat saja? Lagian kenapa pula aku yang marah-marah begini.
Karena ini aku jadi waswas tiap keluar masuk kelas. Seluruh area sekolah kecuali kamar mandi rasanya masuk kawasan rawan bahaya sebab Tazaki bisa muncul kapan saja yang berpotensi membuatku latah atau jantungan. Aku masuk mengendap-endap, lantas duduk lega di kursi sendiri mengundang rasa penasaran pemilik bangku di depanku.
Ayano berbalik, alis terangkat bingung. “Kau kenapa sih?”
“Hm, apanya?” Aku balik bertanya. Temanku ini mengerutkan kening, lalu raut wajahnya berubah seolah telah mendapat jawaban atas pertanyaannya sendiri.
“Oh, aku tahu. Ada hubungannya dengan Tazaki-kun ya?”
“Tidak,” kilahku begitu saja. Menyembunyikan wajah pada lipatan lengan demi menghindari tatapan menyelidik Ayano. Tidak ada yang aneh dari naksir seseorang, itu hal wajar yang siapapun boleh merasakan. Yang aneh itu mereka-mereka yang tidak rela idola panutannya merasakah hal itu.
“Hmm, sudah kuduga. Gosip itu ‘kan? Tenang saja, kau tidak perlu takut. Kalau Tazaki-kun sungguhan suka padamu, dia akan membuat penggemar-penggemar fanatiknya mengkeret mundur.”
“Ck, sudah jangan bahas itu melulu.”
“Duuuh, marah dia,” Ayano mencibir. Telunjuknya menekan-nekan pipiku. “Iya deh, iya. Aku—” Ayano berhenti bicara, malah mengguncang-guncang pundakku.
“Aaah, Ayano!” Semburku kesal.
“Sebentar, jangan marah dulu!” Telapak tangan merangkum wajahku, menolehkan dengan tenaga berlebih sehingga badanku ikut bergerak nyaris jatuh. “Tuh,” tunjuknya gemas, tepat pada pemuda di ambang pintu yang tengah membicarakan sesuatu dengan Johann.
Iya, bicara dengan Johann, tapi matanya ke mana-mana.
Berdasar dorongan emosi entah dari mana aku berdiri, melangkah lebar-lebar menuju pintu. Kuabaikan berbagai bebunyian ambigu—tarikan napas tercekat, pekik dramatis, atau kerauk renyah makanan ringan—menarik pergelangan tangan Tazaki menjauh dari kelas hingga kami tinggal berdua saja di spasi kosong dekat lorong penghubung area tribun aula dengan gedung utama.
“Jadi, kenapa aku ditarik sampai sini?”
Aku mengatur napas, melepas genggaman di pergelangan tangannya. Berbalik tepat menghadap badan Tazaki, memaksa terlihat galak walau aslinya aku menciut karena perbedaan tinggi kami.
“Kau kenapa sih sebenarnya?” Tanyaku langsung.
Alisnya naik satu. “Kenapa bagaimana?”
“Tiba-tiba memberi surat, lalu terang-terangan mendekatiku. Kau ada di mana-mana seperti tadi. Aku tidak mengerti maumu apa,” buruku.
“Aku membicarakan urusan bunkasai. Johann masuk panitia penyelenggara,” jawabnya membuatku mencelus, mendadak malu sendiri karena kegeeran. Senyumnya meninggi, dengan santai dia melanjutkan, “Yah, sekalian melihatmu.”
“Nah, itu!” Aku mengembus napas gusar. “Maksudmu begitu apa?”
“Aku menyukaimu,” katanya tepat sasaran.
Jantungku berdebar super cepat, pipiku memanas. Kurasakan mulutku terbuka hendak mengatakan sesuatu yang tertahan di ujung lidah. Tazaki masih berwajah tenang. Tanpa sadar aku mendorongnya sedikit keras.
“Tidak adil!” Semburku. “Kau curang sekali sih! Kenapa bisa mengatakannya sesantai itu? Kau tidak tahu ya, dampaknya padaku bagaimana? Aku malu sekali tahu!”
Dia mengerang pedih, menahan tanganku memukul-mukul punggungnya. “Kau merespons seperti ini … kau malu, berarti kau juga menyukaiku?”
Mataku melotot maksimal, mulut menganga syok. “Aku—” sanggahan terhenti. Aku tak punya alasan menolaknya. “Tidak tahu,” jawabku akhirnya.
“Atau kau sudah punya orang yang menjagamu atau semacamnya?”
“Itu juga belum.”
“Nah, berarti aku punya hak mendekatimu kan.”
“Yah … iya sih, tapi,” aku menggigit bibir, merasa gregetan. “Ah, curang.”
Gelak tawa kecil mengudara. Tangannya terangkat menepuk pucuk kepalaku. “Setidaknya beri aku kesempatan. Aku tidak main-main.”
Aku menggigit bibir bawah, merunduk malu lalu mengangguk begitu saja.“Kalau sudah, ayo kembali ke kelasmu. Aku masih harus bicara dengan Johann.” Senyumnya meninggi. “Please, behave.”
…
Kemaren Senin ini habis ke dokter gigi, kontrol kawat gigi dan sekarang gigi ngilu parah sampe kena air biasa aja rasanya WADOH COY SAKIT PARAH. Gila sih, yang dulu-dulu aja ga pernah kayak gini, bahkan pas cabut gigi aja sakitnya bentar doang.
Yaudah, pen curhat aja (apasi). Maap ya kalo chapter ini kaku dan sangat datar, huhu. (Kalo ada yang nyari) adegan gemes-gemes geli baru ada di ... sekitar dua atau tiga chapter lagi. Terus aku mau minta maaf dari sekarang aja kalau-kalau scene gemesnya menggelikan (aku kurang pinter bikin adegan beginian :'))
![](https://img.wattpad.com/cover/154564266-288-k346641.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Asmaraloka | Tazaki [✔]
FanfictionNamanya Tazaki. Ketua OSIS yang segala kesempurnaan melekat pada dirinya. Suatu hari dia datang membawa secarik surat. Namanya Tazaki. Mungkin aku kena karma habis mencibiri penggemar-penggemar setengah bucinnya. [Cerita dari seri 'I'll Knock on You...