Opening

200 42 18
                                    

Waktu terus berputar. Semakin siang bunkasai bukannya menyepi malah bertambah ramai, khususnya stand-stand makanan. Siswa-siswa berlarian keluar stand menjemput bahan baku tambahan. Kafe kecil kelasku juga kelarisan, kami kehabisan adonan waffle dan es krim. Aku jadi menyesal mengajak Tazaki makan di kafe kelas setelah sebelumnya mendatangi rumah hantu buatan kelas 2-D

(—mengerikan sekali. Aku tidak pernah takut mendengar cerita hantu atau menonton film horor. Tidak kusangka masuk rumah hantu sensasinya beda. Seperti dikejar hantu sungguhan. Coba tidak ingat hantu-hantu ini adalah teman sekalas Tazaki—bukan hantu sungguhan—jadi aku masih ingat mereka bisa dipukul.)

Kami jadi tertahan lama di sana. Ayano dan teman-temanku sibuk mencari perhatian padanya, membuatku geli melihat Tazaki seperti enggan meladeni, tetapi tidak tega juga. Beruntung ada seorang panitia acara memanggilnya, kami bisa segera pergi ke aula besar.

“Tunggu di sini dulu. Aku ke belakang sebentar,” katanya.

“Oke. Selamat bekerja lagi, Ketos.”

Dia mendengkus, kemudian berbalik pergi menghampiri panitia-panitia lainnya. Lima belas menit menuju pertunjukan pertama dari tim musikalisasi puisi. Tirai beludru merah masih menutupi panggung. Hampir seluruh kursi sudah penuh menyisakan kursi-kursi depan. Lima menit menjelang pertunjukan musikalisasi puisi, Tazaki datang bersama Elena, Marie—oh, ada Kaminaga, Hatano dan murid 2-D juga. Sempat-sempatnya dua krucil tim basket ini menjahiliku. Untung sekarang bukan di gedung olahraga, bisa habis kuhajar mereka. Semuanya duduk berderet pada dua kursi di belakangku.

Siul menggoda dan bunyi tawa cekikikan terdengar dari belakang. Aku mati-matian menahan agar tidak balik badan balas memelototi mereka. Lampu aula perlahan padam menyisakan lampu menyoroti panggung. Dalam keremangan ruangan, penonton yang baru datang berlari kecil mencari spasi kosong.

“Permisi, bisa geser sedikit?” Pinta seorang penonton padaku.

“Silakan.”

“Trims.”

“Tazaki, bisa geser sedikit?”

“Ya, silakan.”

“Oke, thanks.”

Pertanyaan bisa geser tidak terus berdatangan hingga bahu saling bersentuhan. Aku terlonjak kaget, sedikit bergeser menjauh. Tazaki berdeham, turut membangun jarak. Sayangnya kondisi tak berpihak pada kami. Bahu-bahu kembali bersentuhan sampai lengan bagian atas. Rasanya wajahku panas sampai telinga. Suara merdu para penampil dan bebunyian instrumen musik hanya terdengar seperti serbuan gelembung dalam telingaku. panas ini merambat sampai bahu yang bersentuhan, menciptakan sengatan ringan. Aku mendadak kegerahan, bergerak salah tingkah.

Tim musikalisasi selesai dengan lagu pertama, berlanjut ke lagu selanjutnya. Gitar akustik dipetik sedemikian rupa menghasilkan melodi apik, lalu jentikan jari, dan cajon menyusul. Sedikit demi sedikit aku mulai terbiasa, menetralkan debar jantung, akhirnya bisa menikmati sisa penampilan tim musikalisasi puisi.

Sentuhan ringan kurasakan mengenai telapak tangan kubiarkan. Aku terlalu menikmati puisi yang mereka bawakan dengan lagu yang katanya mereka komposisikan sendiri. Sentuhan-sentuhan ringan itu berubah menjadi tangkupan telapak tangan hangatー

Ha?

Kepalaku menunduk terpatah-patah. Benar, sebuah tangan menggenggam punggung tanganku, membuatku lupa caranya menarik napas dan membuat keadaan jantungku tidak baik-baik saja. Sumpah, tidak ada suara selain debar jantungku sendiri.

“Sorry,” bisiknya pelan.

“H-hm.” Apa-apaan jawaban sok kalem ini, padahal dalamnya diriku sudah amburadul. Tazaki meminta maaf, tapi tangannya tidak lepas juga, malah menekan-nekan jariku, menyelipkan jemarinya di ruas-ruas jari-jariku, mengeratkan genggaman yang anehnya pas sekali di tanganku. Lalu tanganku dilepas. Dengan telunjuk agak mengapal, ia membuat tulisan imajiner di telapak tanganku. Aku menggigit bibir, tak berani bergerak. Meskipun sekitar gelap, aku tahu dia sedang tersenyum sambil memainkan tanganku, menepuk-nepuk punggung tangan, menyusuri buku-buku jari, mengusap kuku, lalu sekali lagi menyelipkan jemari di ruas jari tanganku.

Tim musikalisasi berdiri, membungkuk hormat pada penonton yang menghujani tepuk tangan riuh. Lampu aula menyala.

Genggaman terlepas begitu saja.

MC naik panggung, menyapa penonton yang hadir, melakukan basa-basi dengan gaya teatrikal mengundang gelak tawa. Pemuda di sampingku ikut tertawa begitu ringan yang pastinya menjadi pusat perhatian gadis manapun sementara aku sibuk mengatur napas. Berikutnya tim tari sekolah menampilkan sebuah dance cover. Lampu dipadamkan untuk yang kedua kali. Saat itulah Tazaki semakin mendekat, merendahkan tubuh sedikit.

“Maaf, tanganmu sebaiknya disembunyikan saja. Aku jadi tidak bisa konsentrasi menonton.”

Tazaki mengaduh, merunduk mengusap kaki berbalut loafer. Aku melipat tangan di dada, menyerongkan badan agak memunggunginya sambil mencibir pelan.

Halo, selamat hari Selasa dan selamat tahun baru! Sementara yang lain pada keluar jedar-jedorin kembang api dan sanak saudaranya, aku anteng ngorok cantik di kasur, muehehe.

Semoga awal tahun 2019 ini menjadi awlan baik untuk semua orang, menjadi langkah pertama untuk memulai hidup yang lebih baik, dan semoga kita dihindarkan dari segala musibah. Aamiin.

Tadinya mau update pas jam 12, tapi mata mengkhianati sih (lagian kagak bakal ada yang baca juga jam segitu, dudul), tapi ya sudahlah. Nggak ada chapter spesial-spesialan ya wkwk, aku nggak tau kalo Asmaraloka update pas taun baruan soale.

Aku juga mau minta maaf dan berterima kasih sama para pembaca sekalian, yang baca cerita pertama akun ini (sebelum akhirnya dihapus, wkwk), TOJ, dan seri Joker Game paling baru ini. Maaf karena setelah sekian lama ngga dilanjut, salah satu fanfiction KnB aku hapus, maaf juga buat yang nunggu-nunggu TOJ, belum kulanjut lagi, dan maaf kalau aku ada salah kata, baik itu pas ngebalesin komentar atau di cerita. Makasih karena udah baca, memberi komentar, ngasih koreksi pula.

Dah ya, nanti ndak kepanjangan. Sampai ketemu lagi, bye! ♥

Asmaraloka | Tazaki [✔]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang