Library Accident

253 47 6
                                    

Guru yang mengajar Sejarah sedang berhalangan hadir. Untungnya, beliau tidak sempat menitipkan tugas segunung seperti biasa saking terburu-buru pergi. Bisa ditebak, suasana kelas tak jauh beda dengan pasarーramainya minta ampun. Satu-dua siswa makan di kantin atau membeli camilan di koperasi siswa, ngadem di UKS, atau berdiam di kelas sekedar tidur atau memainkan ponsel. Aku memutuskan pergi ke perpustakaan. Setidaknya di sana lebih tenang plus aku bisa mencari novel untuk dipinjam.

Koridor sepi karena kegiatan belajar mengajar masih berlangsung. Setelah ini jam pulang, makanya aku membereskan tasku dan sekalian membawanya. Setiba di sana aku disambut keheningan. Pustakawati berusia paruh baya menyapaku di meja depan saat aku meletakkan tas, bertanya kenapa tidak masuk kelas.

Nyaman rasanya berada di antara rak-rak buku. Tidak ada namanya bau kertas baru atau bau buku-buku tua, segalanya disaput aroma lavendel lembut dari semprotan otomatis yang menempel di dinding. Aku berjalan menyusuri rak novel, membaca sekilas sinopsis di belakang buku. Kusandarkan punggung pada dinding di celah sempit antar rak, membuka novel yang cukup menarik. Bukunya hanya sebesar buku saku, berkover tebal, dan ternyata itu bukan novel melainkan cerita bergambar. Entah bagaimana buku itu bisa nyasar di seksi sastra dan novel.

Bruk!

Suara benda jatuh beruntun disusul desis pedih seseorang mengejutkanku. Bunyinya sekeras itu, apa dia baik-baik saja? Asal suaranya dari rak referensi sejarah tepat di depan rak novel dan sastra. Aku mengintip dari sela-sela buku di rak, mencari tahu siapa yang baru saja ketiban buku-buku dan apa yang sebenarnya mau dia lakukan. Punggung seseorang tertangkap mata, berusaha bangkit. Ia memunguti buku-buku di lantai, mengerang ketika telapak tangan menyentuh kening.

“Tazaki-san?”

Bahu terlonjak. Seseorang yang kuduga (benar) Tazaki itu berbalik, mendekati sisi lain rak novel. Dia membungkuk persis di hadapanku, mengerjit separuh kesakitan. “Sedang apa kau di sini?” Tanyanya.

“Jam kosong.” Kuminta dia diam di sana sementara aku berjalan mengitari rak menghampirinya. Merah itu sangat nyata tercetak di sudut kening yang tak tertutup poni. Aku jadi merasa jahat mentertawainya dalam hati sekaligus kasihan karena astaga, bekas merah itu bisa saja berubah jadi benjol. “Suaranya sekeras ituーpasti sakit ya?”

Kaki-kaki kubawa sedikit berjinjit. Tanganku terulur menyentuh bekas merah yang mulai membengkak, mengusap perlahan sambil sesekali ditekan untuk mencegah benjolan tumbuh. Aku sibuk menekan-nekan bekas merah. Tazaki sama diamnya, kentara sekali menahan pedih kala ibu jariku menekan lembut bekas merah sambil merapikan poninya.

“Kenapa ke sini?”

“Kan aku sudah bilang, jam kosong. Daripada menyumbang polusi suara di kelas ya aku ke sini,” jawabku. “Masih sakit?”

“Hm. Masih sakit.” Dan dia menolak diantar ke UKS. Aku mendiamkan jawabannya, sebisa mungkin menghindari bersitatap dengan biru gelap yang seolah berpendar.

“Kau sendiri kenapa di perpustakaan? Apa murid kelas 2-D belajar di sini?”

“Tidak. Aku baru selesai rapat dengan ekskul teater.”

“Loh, bukan di ruang OSIS?”

“Sedang dipakai untuk membahas program kerja lain.”

“Oh.” Tanpa sadar tanganku bergerak naik, mengusap bagian poni. Aroma sitrun menguar pekat seolah menebas wangi lavendel dalam ruangan. Ada satu lagi yang baru kusadari dari Tazakiーapa rambutnya memang sehalus ini? Apa di bagian lain juga sehalus ini kalau disentuh? Pemuda di hadapanku berdeham pelan, membasahi bibir, lantas membungkuk sejajar dengan kepalaku. Mataku membelalak, tak menemukan keinginan mundur barang hanya selangkah. Justru membeku dengan jari-jemari tertimbun helaian rambut hitam.

Seluruh gadis mau itu adik kelas, teman seangkatan, maupun kakak kelas sudah ribuan kali mengatakan senyum Tazaki adalah tipe yang melelehkan. Kukatakan mereka itu terlalu berlebihan, mana ada senyum membikin leleh.

Saat ini aku seperti terkena karma telah memandang aneh para gadis yang mengagumi senyum itu. Di hadapanku, dalam jarak super dekat Tazaki menarik sudut-sudut bibir melengkungkan senyum teduh yang menghilangkan napas, belum lagi matanya juga membentuk eyesmile yang terlihat menggemaskan. Degup jantungku terasa hingga membakar kerongkongan. Panas di wajahku sangat nyata.

“Supaya kau tidak usah berjinjit.”

Wajahku semakin panas. Dengan gerakan canggung kulepas usapan di poni Tazaki yang malah menahan pergelangan tanganku. Alih-alih merasakan efek tersetrum, aku merasakan hangat menenangkan ketika tangannya menarik lembut tanganku agar bersarang di pucuk kepalanya. “Mau aku sembuh ‘kan? Dibeginikan saja aku bisa langsung sembuh.”

Mungkin, Tazaki yang secara tiba-tiba mendekatiku adalah bentuk karma atas perbuatan merendahkan jajaran fangirl si ketua OSIS. Pada akhirnya aku tidak jadi menghabiskan waktu dengan membaca, melainkan meladeni Tazaki. Tanganku mengusap pelan-pelan, kagum merasakan betapa halus rambutnya. Tazaki sendiri lebih banyak diam sekarang. Senyumnya kian melebar hingga matanya menyipit nyaris terpejam. Sesekali dia menyamankan diri, mengejar ke mana telapak tanganku bergerak.

Astaga Tuhan, kenapa aku baru sadar yang seperti ini mana mungkin tidak membuat banyak gadis suka setengah mati?

Oh mai gusti, aku kebanyakan makan gula ini.

Makasih buat para pembaca yang ngasih votes, dan meramaikan komentar. Wakakakak sori banget ya yang kemaren kecelik sama Izawa Kazuo, buat ketemu Kaminaga nggak segampang itu, Esmeralda.

Sampai ketemu hari Kamis! ♥♥

Asmaraloka | Tazaki [✔]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang