Yojana

160 32 4
                                    

“Heh. Melamun terus kerjamu.”

Sebuah teguran membuatku mengerjap, terseret kembali ke realita. Ayano duduk di hadapanku, memegang sumpit dan mangkuk. Kening berkerut-kerut, dia menatapku heran sekaligus khawatir. “Kau kenapa? Terjadi sesuatu?” tanyanya.

Kemudian aku baru sadar ada di mana aku sekarang. Tepatnya sepulang sekolah tadi Ayano menawarkan satu tiket bioskop. Harusnya dia menonton dengan kakaknya, tetapi mendadak dia mendapat panggilan dari rumah sakit dan batal nonton bersama. sebagai teman baik (dan baik juga memanfaatkan keadaan) (Peace, Ayano), kuterima tawaran nontonnya, berakhir dengan makan malam di kedai ramen yang masih satu area dengan bioskop.

Aku tersenyum kecil, menggeleng singkat. “Tidak ada.”

Namun, yang namanya Ayano tidak bisa berhenti penasaran sebelum pertanyaannya dijawab detil. Dia mencondongkan tubuh ke depan, tatapannya berubah jadi penasaran. “Pasti Tazaki-kun ya?” terkanya sangat tepat sasaran.

“Hah? Tidak,” kilahku karenaーya mana mungkin kujawab begitu. Aku berusaha mengalihkan Ayano dengan menawari apa dia ingin pesan ramen atau makanan lain.

“Tidak, tidak. Aku pasti tepat sasaran. Ini ada hubungannya dengan Tazaki-kun. Apa? Akhirnya dia menembakmu atau menyerah mendekatimu?”

Yang manapun itu tidak membuatku tenang. Jika memang niatnya mendekatiku seperti kata Ayano dan ujung-ujungnya dia menyatakan perasaannya, lantas setelah itu apa? Selama ini aku tidak punya pengalaman berpacaran dan Tazaki sepertinya tipikal pekerja keras yang lebih menomorsatukan kewajibannya sebagai siswa SMA merangkap ketua OSIS.

Sebaliknya, jika dia mundur setelah apa yang dilakukannya selama iniーapa manfaatnya untuk Tazaki? Semisal pada akhirnya dia berhenti, berarti selama ini dia hanya membuang waktu. Dan yang lebih parah lagi jika Kaminaga tahu kelakuan teman sekelasnya. Aku tidak berani membayangkan keduanya adu jotos.

“Nah ‘kan, melamun lagi.”

“Maaf, maaf. Tadi kau bilang apa?”

“Sudah kuduga, pasti kau begini karena Tazaki-kun,” balasnya ngotot. Ayano meletakkan sumpitnya. “Ceritakan sajaーdaripada kau melamun terus.”

“Hmm …,” gumamku ragu. “Sebenarnya bukan hal besar.”

“Bukan hal besar saja galaumu seperti ini.”

“Iya, iya. Ini kuceritakan.” Aku mengikuti Ayano meletakkan sumpit. Kulipat tangan di meja sambil merangkai cerita supaya Ayano mudah mengikuti. “Kau ingat saat awal sekali Tazaki menyapa kita di loker sepatu?”

“Yaーdan kalau boleh kukoreksi, dia menyapamu.”

Well, trims koreksinya,” balasku malas. “Sebenarnya sebelum hari itu dia mendatangikuー”

“HAH SEBENTAR.” Ayano melotot sejadinya. “Dia mendatangimu?? Kok kau tidak pernah cerita?!”

“Makanya diam dulu dengarkan aku. Jangan menyela,” ancamku di akhir. Ayano nyengir inosen, manggut-manggut sambil ikut melipat lengan. “Dia memberiku surat. Isinya semacam izinー” aku berhenti.

“Ya? Izin apa? Dia mau langsung menikahimu setelah lulus SMA?”

“Yang benar saja!” sergahku. “Bukan. Intinya dia minta izin … kau tahuーmendekatiku hingga batas waktu yang tak ditentukan.”

“Kedengaran aneh.”

Aku mengangguk dengan tawa pecah. “Ya. Aku setuju.”

“Lalu?”

“Kau tahu apa selanjutnya. Sampai satu hari sebelum pertandingan final dia menghubungiku.”

“Oh, ya? Apa katanya?”

Asmaraloka | Tazaki [✔]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang