Ultramarine

221 37 28
                                    

Hujan turun di sore yang begitu dingin, menciptakan genangan-genangan air berwarna karena awan mendung tak seluruhnya menutupi langit, membuat pemandangan sore terlihat begitu menawan. Aku memekarkan payung, lantas melintasi lapangan menuju gerbang depan.

Dispen tak menghalangiku datang ke sekolah untuk mengumpulkan tugas. Syukurlah tadi para guru yang hendak kutemui masih stay di ruang guru jadi aku bisa segera mengumpulkan. Setelah mendengar nasihat tentang betapa pentingnya pelajaran sekolah dan sedikit semangat serta doa agar tim sekolah lolos ke Winter Cup, aku baru bisa lolos dari ruang guru.

Rintik hujan tidak memberi tanda akan berhenti dalam waktu dekat, konstan memutihkan pandangan. Namun sekabur-kaburnya sedepa jeda di depan sana, aku tetap bisa melihat punggung seseorang dengan seragam khas sekolah kian mengecil seiring langkahnya lebar-lebar menginjak kubangan air. Satu tangan orang itu terangkat menadahi kepala dari guyuran kejam air hujan.

Kakiku melangkah begitu saja mengejar punggung itu, mempercepat langkah, tak peduli sepatu, kaus kaki, atau bahkan rok terciprat lendut. Refleks menarik lengan jas yang sudah sangat basah.

Tazaki menoleh terkejut. Aku memiringkan payung ke arahnya agar air hujan absen merintiki kepalanya. Rambut hitam kuyup menempel di kening dan pelipis. Setetes air mengalir melewati pelipis, turun merunuti garis rahang, berlabuh di dagu sebelum menitik dramatis. Namun itu bukan fokusku, sebenarnya, karena ada sepasang binar biru tua yang terlihat sangat terang.

"Payungmu mana?"

"Kau di sini?" Tanyanya seakan melihatku sebagai halusinasi. Rautnya sepolos ini jadi membuatnya terlihat sebelas dua belas dengan anak setingkat TK.

Aku tersenyum, mengangguk. "Iya. Payung Tazaki di mana?"

Dia mengerjap beberapa kali, kemudian tersentak, melirik lengannya yang masih kupegangi lalu menatapku tepat di mata, terlihat sedikit gugup. "Lupa bawa."

"Kau basah sekali ini. Hm, sebentar." Aku mengedar pandang mencari tempat berteduh sementara. Beruntung ada sebuah halte kecil tak jauh dari sini. Tangan kupakai menarik bagian lengan jas seragam Tazaki. "Kita menepi dulu di sana. Ayo."

Genangan air dipecah dua pasang kaki. Gemuruh riuh air hujan teredam atap sempit halte. Bangku kayu terjejak air dari seragam Tazaki. Kuminta dia melepas jasnya dulu, diperas hingga tak ada sisa air menitik baru dihampar di sudut bangku dengan batu temuan sebagai ganjalan, takut tetiba ada angin menerbangkan jasnya. Sementara itu aku menarik keluar handuk mini dari dalam tas, tanpa aba-aba mengeringkan rambut Tazaki yang tengah memeriksa keadaan isi tasnya.

Kepalanya terangkat menampakkan seraut wajah kebingungan yang bisa dimiripkan wajah inosen kekanakkan. Kali ini aku mengabaikan binar biru gelap yang ternyata bisa sangat terang seperti sekarang ini, seperti saat aku melihatnya dalam planetarium kelas 3-A. Memilih lanjut mengeringkan rambut Tazaki.

"Besok-besok aku tidak usah bawa payung saja."

Otomatis gerakan tangan di atas handuk terhenti. Aku mendelik. "Sembarangan. Jangan aneh-aneh," peringatku.

"Biar saja. Toh, ada kau."

Aku sedikit menunduk, menemui raut wajah inosenーyang aslinya tidak seinosen itu. Keningku mengerut. "Ada aku?" Ulangku.

Tazaki mengangguk. "Ada kau yang bakal memperhatikanku," ujarannya membuatku mendecak.

"Nggak gini juga dong, aduh Pak Ketua."

Rambut Tazaki sudah separuh kering, memudahkanku untuk merapikan dengan jari saja. Aku bersenandung pelan untuk mengenyahkan gugup. Kalau dulu aku menyentuh rambutnya versi kering, ternyata rambut versi setengah basah ini tak jauh beda dengan wujud keringnya. Halus dan menguarkan aroma sitrun.
Kemudian sebuah lengan memegangi lenganku. Ya jelas tangan Tazaki, memang siapa lagi yang bersamaku selain dia.

Dan aku sekarang bingung mau menyesal sudah menatapnya atau tidak. Mau segelap apapun biru itu kulihatーdari dekat ataupun dari kejauhanーaku tak pernah sadar, benar-benar luput tahuーbirunya bisa seterang ini. Tatapannya sulit didefinisikan. Campuran kagum, bingung, senang, kalutーberbaur dan mengapung pada permukaan biru.

"... kalau seperti ini terus, bagaimana aku tidak tambah suka?"

Mataku melebar. "Hm?"

Di luar dugaan, Tazaki juga sama kagetnya, mengerjap panik. "Apa?"

"I-itu ...." Aku menggigit bibir, mencoba menatap selain padanya, dan diapun melakukan hal sama.

"Aa ...." Genggaman di lenganku terlepas. Dingin yang familier seketika menyergap bagian yang tadinya dilingkupi suam.

Untuk pertama kalinya, wangi tanah basah dan rintik hujan tak membuatku tenang.

Bentar lagi kelar nih, ahay.

Chapter ini diketik sambil ngakak nonton Gekkan Shoujo Nozaki-kun. Asli dah, nggak bisa bosen ngebaca komiknya sama nonton animenya, kocak semua cuy. Tadinya mau bikin parodi yang pas Nozaki sama Sakura payungan berdua tapi keknya ngga cocok (secara, ini pake sudut pandang pertama pembaca, dan bagian kocaknya banyakan di part-nya Nozaki), lagian kayaknya gini aja udah cukup gitu.

Daaaan, ini setting waktunya di musim gugur, pas babak penyisihan WC dimulai. Berdasarkan yang kuliat (bcs di wikia-nya gaada keterangan waktu, trus mager buka komiknya lagi wkwkwk), penyisihannya dimulai pas musim gugur, terus finalnya kek akhir Desember gitu.

Dah ah, malah ngomyang akunya. Makasih udah mampir baca sama ngasih feedback. Sampe ketemu lagi, bye! ♥

Asmaraloka | Tazaki [✔]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang