Genesis

217 39 25
                                    

Aku duduk menopang dagu di pinggir lapangan. Antara memerhatikan permainan three on three dan mengilas balik kejadian beberapa hari terakhir. Tidak mungkin aku tidak kepikiran, apalagi mengingat selama ini hanya Tazaki satu-satunya yang begitu straightforward melakukan pendekatan. Normal tidak sih, aku merasa insecure?



“Hei, awas!”

Mata meruak, mengerjap memastikan sesuatu baru saja melintas tepat di sisi kepala, memantul menabrak dinding, terakhir memantul-mantul kecil hingga menggelinding dan berhenti. Seisi gedung disergap hening yang ganjil.

“Anu, M-manajer-chan?” Panggil seorang senior.

“Hm?”

“I-itu, tadi … bolanya ….”

“Oh. Tidak kena, kok.”

Bunyi napas tercekat bersahutan. Aku mengerjap, lantas menarik alis melawan gravitasi. “Ada apa?”

“Ya … tumben. Biasanya kau mengamuk kalau ada bola keluar,” ceplos Amari.

“Masa?” Tanyaku bertepatan dengan alarm istirahat yang dipasang Hatano berdering. “Istirahat lima belas menit.”

Kerumunan di tengah lapangan indoor bubar. Ada yang ngacir ke toilet, mengambil handuk, minum sebanyak-banyaknya, ada yang goleran di lantai. Aku mengambil tongkat pel untuk membersihkan lapangan dari ceceran peluh dan kotoran.

“Serius deh. Kau ini kenapa?” Tanya Kaminaga yang berjongkok di tepi lapangan. Botol minumnya digelindingkan ke dekat bench. “Tazaki melakukan sesuatu padamu ya?”

Nah. Itu.





“ADAW!” Jerit pilu Kaminaga menggema di gedung olahraga. Pemuda itu meringkuk memegangi perut yang habis kusodok dengan gagang pel. Aku melotot dengan pipi panas, melepas pel dan bersiap menjambak rambut berantakannya. “AAAAAH!”

“JANGAN SEBUT NAMA ITU!”

“AduhaduhaduhaduhーM-manajer-chan, sakit lho? Aaaaaa!”

Amari dan Hatano mundur selangkah, dua langkah, menggeleng prihatin. Seorang senior datang melerai. “Sudah, sudah. Bahaya nanti kalau kedengaran orang luar.”

Kaminaga berhasil lepas dari tanganku, megap-megap kehabisan napas di lantai. “Gila. Cewek sesangar ini apa menariknya sih? Sepertinya Tazaki butuh dibukakan mata hatinya.”

“Sudah kubilang jangan sebut-sebut nama itu!” Aku bergerak hendak menjambak Kaminaga lagi. Tuh ‘kan, dia saja mengakui seburuk apa aku. Apa yang sebenarnya Tazaki lihat dariku? Wajah? Rasanya tidak mungkin mengingat anak-anak basket sering menyebutku mirip Sadako PMS.

“Kenapa memangnya, hah? Dia melakukan apa?”

Bibirku terkatup rapat. Sebisanya kuhindari berpasang-pasang tatapan menyelidik. “Tidak.” Aku memungut tongkat pel, mengembalikan ke gudang dalam gedung olahraga.

Ada yang ingin kutanyakanーbanyak yang ingin kutanyakan, ingin kukatakan. Pada siapa aku harus bertanya? Hatano? Dia mana mau mendengar. Amari? No. begitu-begitu dia itu mulutnya lebih lemas dari gerombolan penggosip. Berarti hanya Pejuang Hati Berani Mati Elena saja yang dapat kuandalkan.

“Kaminaga,” panggilku.

Yang dipanggil namanya mengkeret, mundur sejauh mungkin. “Apa?”

“Ck, jangan lebay,” omelku. “Sini.”

“Apa? Aku mau digebuk lagi?” Aku memelototinya, tanpa kata menyuruhnya mendekat. “Apa sih, apa?”

“Mau tanya.”

“Tazaki ya?” Tebaknya tanpa kenal kapok. Baru saja habis kugebuki, masih berani menyebut namanya.

Aku mengangguk kecil, duduk agak mendekat. “Tazaki-san itu orangnya seperti apa?” Tanyaku dengan suara sepelan mungkin.

Pemuda ini tampak memikirkan sesuatu. “Hm … baik.”

“Yang lain?”

“Suka menolong. Rasa tanggung jawabnya tinggi. Punya jiwa kepemimpinan. Kharismatikーeh, itu aku sih lebih daripada dia. Tampanーtapi aku jauh lebih tampan. Pintarーitu juga aku lebih pintar. Terlalu sabar. Kadang posesif. Manipulatif. Hm … apa lagi ya.”

“Iya, sudah deh. Aku malah minder kalau kau sebutkan semua.”

“Hah, ngapain?” Kaminaga merubah posisi duduknya jadi bersila menghadapku. “Kau ragu ya? Buat apa sih. Lagian ya, selama aku mengenal Tazaki dari zaman masih pakai topi TK, dia itu tidak pernah seserius ini naksir perempuan. Yang dulu-dulu hanya sebatas suka saja. Dia begini berarti sungguhan ingin mendekatimu.”

“… begitu?” Tanyaku sangsi.

“Kujamin dia tidak berani macam-macam. Kalau sampai dia berbuat buruk padamu, katakan saja, biar kupukul. Habis, sejak dulu aku ingin memukulnya, tapi tidak punya alasan memukul, hehe.”

Aku merotasi bola mata jengah. “Nggak guna.”

“Kau mulai tanya-tanya begini, jangan-jangan kau ini sebenarnya naksir dia tapi gengsi ya? Beuh, pesona seorang ketua OSIS memang tidak bisa ditolak.”

Selorohan Kaminaga membuatku mendecak. “Berisik. Sana urusi Elena saja.”

“Hehe, itu sih tidak usah disuruh.” Kaminaga malah cengengesan. “Ya, pokoknya, jangan meragukan perjuangan seorang laki-laki karena yang bisa kacau karena perasaan itu bukan cuma perempuan.”

Barangkali, aku harus memikirkan apa yang dikatakan Kaminaga.

Satu lagi chapter gaje.

Sebelumnya aku mau sungkem sama Kaminaga karena dia banyak menderita jadi samsak tinju huehue habis denger suara kamu selalu keinget anak basket lapak sebelah yang selalu ditendang seniornya :')))

Dan karena aku malas nambahin OC lagi (ーmiris ngeliat temen sekelas isinya angka doang) Maka nggak ada pilihan selain doi diceritakan lagi ngejar Mbak Elena. Mereka ga banyak nongol bareng kok, tenang aja. Kan yang punya lapak ini Tazaki.

Cerita ini isinya dikit banget. Diusahakan ga ada konflik percintaan aneh-aneh supaya nggak nambah chapter. Lagian, menurut aku pribadi, anak seusia SMA kalau punya konflik romens pelik tuh ... gimana ya, kyk belom cocok aja. Apalagi skinship di luar gandengan. Geli aja gitu :')

Sekali lagi, makasih buat para pembaca, para penyumbang vote dan komen. Semoga cerita ini (dan lapak lainnya) nggak mengecewakan amat :'). Selamat menjalani weekdays dan sampai ketemu di hari Kamis ♥

Asmaraloka | Tazaki [✔]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang