Pause

179 35 12
                                    

Hari pertama bunkasai telah berakhir.

Teman-teman sekelasku hilir mudik memberesi meja-meja dan kursi, meletakkan peralatan masak dan makan yang telah dicuci di rak pengering, kostum-kostum binatang dilipat, disimpan dalam kardus khusus, memastikan tidak ada properti rusak, dan memeriksa bahan makanan yang perlu di-restock. Tapi ya, kelasku bukan kelas yang itu kalau bisa bersih-bersih kelas dengan tenang. Ayano menjerit kesal habis dikageti pakai kostum kepala sapi, mengejar orang yang menjahilinya sampai luar kelas. Belum lagi yang lainnya. Johann selaku ketua kelas hanya bisa menghela napas, duduk sambil memijat kepala.

Setelah mendapat teguran dari Miss Sakura, kami mempercepat kegiatan bersih-bersih, saling mengucap sampai besok! Lalu pergi terpencar.

Aku berjalan di koridor yang masih dilewati satu dua siswa. Tangan memegang bungkusan roti sobek cokelat-keju yang sudah terbuka, mencuil satu bagian.

"Makan lagi?"

"Wuah!"

Badanku terlompat kaget. Tawa familiar meletus begitu renyah. Aku mendecak. Untung rotiku tidak jatuh. "Tazaki-san masih di sini."

"ーsan."

"Kenapa?" Tanyaku bingung.

"Bukan apa-apa." Tazaki berdeham, berdiri menegakkan badan. "Kurang tidak itu?"

"Hm?" Aku merunduk mengikuti arah pandangnya. "Hah, tidak! Ini tadiーerr, bawa bekal. Tapi 'kan tadi sibuk, lalu jalan-jalan. Daripada basi mau kumakan sekarang."

Dia mendengkus geli, senyumnya mencapai mata. "Boleh minta?"

"Tentu. Sebentar kuambilkan untukーeh."

Badanku tidak memberi respons apapun begitu Tazaki merunduk mendekat, menggigit potongan roti isi keju yang kucuil sebelumnya. Wajahnya begitu dekat sampai-sampai aku bisa merasakan hangat embus napasnya bercampur wangi sitrun. Aku tidak pernah ingat warna matanya secerah ini, juga baru tahu ada baret kecil tersembunyi di balik poni. Hidungnya bangir, alisnya tak terlalu tebal dan tidak tipis sekali. Pipinya jadi lebih berisi, bergerak-gerak lucu karena dia sedang mengunyah seperti hamster.

Kurasakan pipiku panas sekali, merambat ke seluruh bagian muka, telinga, dan leher. Kami terdiam dalam posisi sedekat ini lumayan lama, setidaknya sampai Tazaki menelan kunyahan rotinya. Dia mendongak, menawarkan raut tak terbaca yang begitu dekat. Waktu seakan melambat di tiap detiknya.

"Wajahmu merah," katanya pelan, sehalus bisik angin pada dedaunan. Tatapan meneduh, tepat menghunjam mataku. Badanku mematung, benar-benar sulit digerakkan. Jantung bekerja lebih keras memompa darah, berdentum ribut memenuhi kepala. Tenggorokanku mendadak kering kala Tazaki membuang napas tipis mengenai pipi dan pucuk hidungku. Bibir kugigit salah tingkah.

"Jangan memasang wajah seperti ini," bisiknya lemah. "Aku bisa apa kalau kau berwajah seperti ini."

Aku meremat bungkus roti begitu kuat, sadar Tazaki semakin mengenyahkan jarak yang hanya imaji sejak awal. Merasa tak bisa melakukan apapun, aku hanya memejamkan mata erat.












"Tazaki, sori laーlho, HEEEEEEE MAU NGAPAIN KALIAN!"

Dua senti tak berarti mekar jadi bentang jarak. Kaminaga melipat lengan di depan dada, menatap menghakimi. "Astaga, Ketua OSIS panutan, harusnya jadi panutan malah remnya hampir blong." Pemuda itu mendecak, kepala menggeleng prihatin. Di belakangnya berdiri Elena. Pipinya merah samar, tampak salah tingkah.

Aku melirik Tazaki dari sudut mata. Tertegun karena pemuda ini berdiri canggung, satu tangan terangkat menutupi wajah dengan punggung tangan. Namun, warna merah di telinganya terlihat jelas.

"A-aku pulang duluan," pamitku pada siapa saja yang dengar. Roti kusimpan dalan tas. Sisa roti di tangan kumakan begitu saja hingga sebelah pipiku menggembung aneh.

"Kuantarー"

"Aaah, tidak usah!" Aku berdeham, belum berani melihatnya. "Sudah ya, sampai bertemu besok."

"Hm? Bertemu besok? Kau mengajakku jalan?"

Raut wajah malu-malu lenyap sepenuhnya dari wajah Tazaki, berganti senyum tengil. Aku mendelik, sekuat tenaga menenangkan dentum jantung menggila.

"Duuuuh, dunia milik sendiri," cibir Kaminaga. Tazaki menoleh, entah apa yang dilakukannya sampai Kaminaga berwajah merah dan salah tingkah mendadak begitu.

"Oke, sampai bertemu besok," pamitnya.

Ya Tuhan, masih ada dua hari festival. Apa jantung dan hatiku masih kuat setelah ini berakhir?

Hehe, halo. Sebelumnya, maaf kemaren-kemaren Asmaraloka sama Curtain Call nggak update. Entah kenapa kemaren bawaannya males-malesan, pengin nonton doang, pengen tidur mulu wakakakak ga baek ini.

Jadi, bersama update ini aku mau nge-unpublish Curtain Call dulu, mau kutahan sampe ... kapan ya, entah (woi). Jadi yang bakal di-update adalah Asmaraloka dulu sampai tamat, baru aku ngerjain yang lain karena, cuy, aku salut banget sama penulis (atau siapapun) bisa nyambi-nyambi kerjaan.

Apalah diri ini, satu cerita belon kelar, eeeh, nyambi ngetik cerita lain. Sampe saking sibuknya aku bisa eneg sendiri :'))

Sekali lagi, maaf karena udah mentelantarkan banyak cerita, aduh aku ini emak macam apa, anak-anaknya ga diurus :( dan makasih buat yang menunggu cerita ini dilanjut, membaca sampai sejauh ini, ngasih bintang, sama ngeramein komentar. Sampai ketemu lagi, bye

Asmaraloka | Tazaki [✔]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang