Classmates

272 40 13
                                    

Bel pulang baru saja berbunyi, tetapi guru Biologi kami masih saja meneruskan materi. Kata beliau nanggung, tinggal satu lembar LKS lagi dibahas. Satu dua siswa mencibir, membuka lagi LKS dan mencatat apa yang beliau terangkan. Dua papan tulis besar yang baru saja dihapus kini dipenuhi gambar-gambar dan tulisan nyaris tak terbaca, sudah begitu guru Biologi ini menulis seenaknya sendiri, satu sub-materi bisa terpencar dari ujung ke ujung papan tulis. Kudengar Ayano merutuki betapa abstrak tulisan guru kami ini.

Aku juga jadi bingung mau menulis bagaimana. Setiap satu materi selesai dibahas, beliau meminta kami mencatat, tetapi papan tulis langsung dihapus untuk materi selanjutnya.

“Eeeeeh, kami belum selesai menulis, Pak!”

“Halah, jangan ngikutin yang saya tulis. Kalian bisa tulis pakai bahasa sendiri, yang penting kalian paham inti yang saya katakan tadi.”

Aku mengembus napas, diam-diam memotret papan tulis yang belum dihapus lalu mengirimnya ke grup kelas. Hujan stiker dan puji-pujian ditujukan padaku via chat maupun langsung diutarakan—eh, siapa itu tadi yang main lempar kiss bye. Guru Biologi kembali berceloteh sambil sesekali menyuruh kami menulis—atau istilah beliau mencoret-coret—LKS. Tangannya lincah membuat gambar pada papan tulis putih, memberi panah di sana-sini lalu menanyai nama-nama bagian yang ditunjuk beliau.

“Eh, eh! Heeei, lihat!” Panggil Ayano dalam bisikan. Dia mengetuk ujung mejaku dengan pena.

“Apa sih? Aku ketinggalan catatan nih.”

“Ituuuu! Tazaki-kun ada di depan kelas!”

Mendengar itu aku refleks menegakkan badan, teralih sempurna dari layar ponsel. Kepala menoleh ke deretan jendela. Benar, dia berdiri menyandar tembok seberang. Tangannya tenggelam di saku celana, tersenyum sopan membalas sapaan para gadis. Rupanya bukan cuma diriku, teman sekelasku yang lain turut memerhatikan Tazaki, terang-terangan mengabaikan guru Biologi di depan kelas.


Tak! Tak!

“Heeeh, gimana ini? Katanya mau cepat pulang. Perhatikan saya dulu,” tegur guru kami sambil menurnkan penghapus yang baru dipakainya mengetuk meja guru. Aku diam-diam memotret materi lagi, langsung mengirim ke grup lalu lanjut mencatat.

Ping! Ping! Ping!

Aduh, pop-up pesan dari grup terus bermunculan menutupi foto. Tadinya kuabaikan saja, tinggal menekan close dan menulis lagi. Namun kali ini mau tidak mau aku turut membuka grup karena namaku disebut-sebut. Aku men-scroll sampai atas, chat pertama setelah kiriman foto materi membuatku membelalak.

Renungkan Bersama (20)

Ichi
Sumpaaaah?

Yon
Tadi kupikir dia melamun lho
Sepertinya benar melihat ke arahnya

Alain
Aku pernah dengar dari Hatano kalau Tazaki itu naksir dia

Go
HEEEEEE?!

Ayano
AH KALIAN TIDAK TAHU SAJA
KEMARIN PAGI HUHU GEMAS SEKALI

Ichi
HEH KAU INI PUNYA GEBETAN COGAN NGGAK BILANG-BILANG
KETOS LAGI @me

Hadeeeh para lambe turah
AKU TIDAK TAHU APAPUN
{Sent a sticker: Angry Shooky}

Gamou J
He, kukira Tazaki itu dengan Elena
Soalnya mereka kan kelihatan dekat sekali

Ichi
Tapi ngapain Tazaki-kun ke mari kalau dia naksir dengan si Elena itu??

Johann
Anak-anak, sudah
Itu bapak guru tersayang kita mulai curiga kenapa kalian nunduk-nunduk terus

Beberapa kepala sontak mendongak bebarengan. Guru kami mengangkat alis heran, matanya memindai seisi kelas yang duduk tegak. “Kenapa tadi nunduk-nunduk? Mules ya?”

“Tidak, Pak,” kami membalas serempak, sekaku robot.

Beliau terdiam. “Oke. Sebelum pulang kita post test dulu.”

“Yah, Paaak?!”

“Jangan mengeluh! Semakin cepat dikerjakan semakin cepat kalian pulang.”

Akhirnya kami mengerjakan tes dua puluh nomor. Satu per satu keluar dengan lesu menyisakan mereka yang bertugas piket misuh-misuh karena pulang lebih sore.

“Sudah?” Tiba-tiba dia bertanya dengan senyum geli melebar.

Aku jadi mendecak, begitu saja menerima botol air mineral darinya. “Guru itu kalau ngambek dikacangi mengerikan. Dua puluh soal sih dua puluh soal, tetapi uraiannya ada lima dan jawabannya panjang-panjang,” keluhku.

“Siapa suruh main ponsel jamaah?”

“Ya … err, habis ….” Berdeham, aku menyimpan botol ke dalam tas. “Tazaki-san belum pulang? Masih ada kegiatan OSIS?”

“Kalau masih ada kegiatan OSIS harusnya aku ada di ruang OSIS bukannya menunggumu pulang begini.”

“Oh—eh?” Aku mengerjap tak percaya. Dia bilang apa? “H-hah?” Tanyaku linglung.

“Sudah semakin sore. Ayo kuantar sampai halte.”

Maapkan diriku terlalu malas nambah OC jadinya temen sekelas cuma berupa angka :')

Btw ya ini pengalaman pribadiku wkwkwk (yang guru biologi ye, bukan dijemput doi) (sedih bat hadeh), dan posttest ala guru biologi ini ga boleh kecoret, terus sekali salah ga boleh diganti ke jawaban yg bener (kalo diganti nanti otomatis dapet nilai 0 besar/syedih)

Dan inilah Tazaki (Kaminaganya besok Sabtu ye). Semoga (kehaluanku) tidak mengecewakan muehehe :')

Makasih buat vote dan komennya, sampe ketemu di chapter depan atau di cerita lain ♥♥

Asmaraloka | Tazaki [✔]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang