Tulat, Panggilan Pertama

215 40 14
                                    

Khusus part ini bakalan banyak dialog.

Tiga hari selepas bunkasai, kegiatan belajar mengajar kembali seperti biasa. Seisi sekolah kembali disibukkan kegiatan rutin lainnya. Akupun disibukkan dengan segala urusan basket, kembali dispen untuk mengantar tim basket sekolah bertanding dalam pertandingan penyisihan Winter Cup. Selama itu pula aku mempercayakan fotokopi tugas dan catatan pada Ayano. Syukurlah, kerja keras tim berbuah manis. Tim memenangkan dua pertandingan dengan lancar dengan Amari, Hatano, Kaminaga bersama seorang senior dan seorang junior sebagai anggota starter.

Aku merebahkan tubuh di kasur, lega sehabis mandi dan kenyang habis ditraktir pelatih makan malam. Lelah begini bukan berarti bisa bersantai. Aku mengeluarkan fotokopi tugas dan catatan yang kusempatkan mengambil di rumah Ayano, mencicil menyalin dan mengerjakan ketimbang terus menunda berakhir keteteran.

Baru mau mengambil buku catatan Geografi ponselku berdering, layarnya menampakkan ID Caller familier.



Tazaki is calling ....




Alih-alih menjawab, aku malah belingsatan di atas kasur seperti lintah digarami. Angkat atau tidak? Angkat nih? Nanti kalau kehabisan bahan obrolan lalu kami berakhir canggungーhe, memangnya Tazaki menelpon buat mengobrol denganmu? Siapa tahu ada hubungannya dengan basket. Eh, tapi kan ada Hatano di sana, ngapain nelpon ke nomorkuー

"Halo?"

MAMPUS KEPENCET.

"Halo, Tazaki?"

"Apa aku mengganggu?"

Aku membenahi posisi duduk jadi bersandar pada headboard ranjang sambil memeluk boneka merpati gemukーyang waktu itu kubilang mirip Tazaki. "Nggak kok, santai. Tazaki sedang apa?"

"Aku? Hmm ...." Dia menggumam sangat panjang membuatku tersenyum geli.

"Hm, apa? Lama sekali."

"Ini supaya durasi menelponmu tambah lama," ujarannya membuatku tertawa lepas. "Giliranku. Sudah mandi?"

"Sudah."

"Sudah makan?"

"Sudaah, Pak Ketoooos."

"Sudah mau diseriusin?"

"Suーheh!" Kami tertawa aneh. Entahlah, aku tidak bisa meraba apa maksudnya serius atau bercanda saja.

"Gampang kepancing, sih," ledeknya.

"Itu tadi cuma tidak fokus," aku berkilah.

"Hm, begitu? Kurang fokus karena apa?"

Terbesit ide jahil. "Kepikiran yang sedang menelpon sekarang," balasku.

Suara agak ribut terdengar dari seberang mirip benda jatuh lumayan keras.

"Loh, Tazaki kenapa?"

"Bukan apa-apa."

"Yakin?"

"Jadi enak dikhawatirkan begini."

"Yeeee," aku mencibir. "Tumben nelpon?"

"Kompensasi karena kau sedang dispen bersama tim basket."

"Dih." Suara keriat kasur di seberang tiba-tiba mengingatkanku pada sesuatu. "Tazaki, sekarang di mana?"

"Di kamar."

"Ada Jitsui-kun tidak di sana?"

Ada sedepa jeda yang terasa tak nyaman. "... ada. Kau mau bicara dengannya?"

"Oh, tidak perlu. Titip katakan terima kasih saja untuknya. Ibuku suka benih bunga mataharinya, tapi belum sempat ditanam."

"Hm, iya."

"Kok lemes? Sudah mengantuk ya?"

"Belum."


Hening berkepanjangan. Aku entah kenapa tidak berani bicara. Firasatku menyuruhku diam saja menanti Tazaki bicara duluan.

"Halo? Ini aku ditinggal tidur?"

"Tidaaak. Ini kesadaran masih menapak bumi seratus persen. Belum travelling sampai planet mimpi."

Tawa lumer di seberang. "Kau kedengaran kelelahan. Tiga orang itu tidak melakukan yang aneh-aneh kan?"

"Kenapa nanya ke aku? Kan mereka ada di sana?"

"Itu ... cemburu?"

Tenggorokanku mendadak gatal sampai aku tersedak. "Memang kenapa?"

"Berarti mau diseriusin."

"Kupikir daritadi sudah serius?" Tanggapku main-main.

Lalu kami mengobrol tanpa kenal waktu. Penat lesap setiap mendengar Tazaki mencoba bermanis kata berakhir dia jadi geli sendiri, menceritakan apa saja yang terjadi di sekolah beberapa hari terakhir, menanyai jalannya pertandingan.

Dan tawanya, astaga.

Bukan tipikal melelehkan, jenis tawa yang ini serupa penyembuh sekaligus menular seperti virus. Menjelang tengah malam aku pamit hendak tidur, terpaksa menyela cerita yang (dijanjikan) akan disambung kapan-kapan.


"Tazaki?"

"Ya?"

"Selamat tidur ya, hehe. Good night and have a nice dream."

Tak ada balasan selama beberapa saat.

"Selamat tidur juga. Dan, hei." Walau tak melihatnya langsung, aku merasakan Tazaki tersenyum dari tempatnya saat ini. "Thank you for this golden time."

Pada akhirnya aku baru ingat segala tugas dan tumpukan catatan pelajaran.


Asmaraloka | Tazaki [✔]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang