Saying goodbye is the painful way of solving a problem
unknown
JARUM JAM menunjukkan pukul setengah lima pagi, saat motor Cello melaju meninggalkan area sekolah SMA Bhakti Paloma menuju rumahku di kawasan Ciumbuleuit. Suhu udara kota Bandung yang saat itu mencapai angka 16 derajat Celcius terasa menusuk pipi dan beberapa bagian tubuh yang tidak tertutupi oleh jaket yang dipinjamkan oleh Cello. Untung saja pikiranku tengah sibuk mencerna semua cerita dan kata-kata Cello beberapa jam sebelumnya, jadi aku tak sempat meributkan udara pagi ini.
Aku masih mengingat jelas ekspresi Cello saat pertanyaan tentang hubungannya dengan Bianca terucap. Cowok itu terlihat gugup dengan wajah sedikit memelas; sepertinya mencoba meminta supaya dia nggak harus menjawab itu.
"Harus kujawab?"
Pertanyaan itu langsung kusambut dengan anggukan pasti, dan Cello kembali mengusap wajahnya. Setelah lama terdiam, akhirnya Cello menghela napas panjang.
"Soal Bianca..." dia mendengkus pelan. "Sulit untuk diceritain, tapi... Simply to say, aku nggak bisa lepas dari dia karena..." Cello terdiam sejenak,"dia pegang rahasiaku. Sori, cuma itu yang bisa kubilang."
"Oh!" Penjelasan singkat itu lumayan membuatku mendapat pencerahan kenapa Cello terlihat begitu takluk pada Bianca. Pantas saja cowok sebaik Cello mau jalan dengan Bianca! Tapi, rahasia? Rahasia apa?
"Rahasia apa, Cel?" Aku langsung menutup mulut saat pertanyaan bodoh itu terlontar begitu saja. Apalagi Cello langsung memberikan tatapan "plis deh!" sambil merengut sebal.
"Ngapain? Mau jadi Bianca kedua?" celetuknya ketus. Aku meringis malu. Keheningan ganjil pun terjadi lagi di antara kami sampai sebuah kalimat tiba-tiba meletup dalam ingatanku.
TENTANG BIANCA TANYA CELLO KAREN TOLONG
Ah iya! Benar!
Semua perisakan yang terjadi akhir-akhir ini membuatku lupa tentang hal itu. Waktu itu aku gagal bertanya pada Cello karena Bianca memergokiku. Namun saat ini hanya ada kami berdua. Ini saat yang tepat!
"Umm..." lagi-lagi aku bingung harus mulai dari mana. Duh, Ne, terus aku harus nanya apa?
"Ya?"
Kepalang basah, aku langsung tembak saja.Bukankah cara ini berhasil pada Kak Sam?
"Tentang Bianca... Kamu bisa ceritain sesuatu tentang dia?" tanyaku hati-hati. Cello mengerutkan keningnya dalam-dalam hingga alisnya nyaris saling bertaut.
"Kenapa?"
"Ngg—"
NAH!
Sudah kuduga dia bakalan nanya ini!
Kalau kayak gini, bingung, kan, harus jawab apa? Demi menyelamatkan harga diriku, aku langsung memasang tampang galak walau sebetulnya aku sangat gugup. "Jawab aja, deh!"
Ekspresi kaget menghiasi wajah Cello. Kayaknya dia nggak mengira aku akan menyentaknya seperti itu. Alhasil selama beberapa waktu dia hanya mengerjapkan mata, sementara aku berusaha tetap mempertahankan ekspresi galakku.
"Cerita apa?" tanyanya bingung. "Kayaknya hampir semua tentang Bianca bisa kamu temuin di medsosnya, deh. Atau jangan-jangan..."Kali ini Cello menatapku curiga. "Kamu lagi nyoba nyelidikin tentang Bianca? Kamu mau cari kelemahan dia?"
Oh....
OH!
Mungkin untuk itu Anne memintaku bertanya tentang Bianca pada Cello, ya? Supaya aku bisa menemukan kelemahan Bianca, yang mungkin akan mengungkap misteri dibalik kematian Anne. Berbekal keyakinan itu, aku balas menatap Cello dengan ekspresi serius.
KAMU SEDANG MEMBACA
[URBAN THRILLER] Vie Asano - Suicide Knot (SUDAH TERBIT)
Mystery / ThrillerSeorang siswi mati. Bunuh diri. Siaran live Instagram-nya saat gantung diri di ruang kelas menjadi viral. Benarkah sesederhana itu? Benarkah kejadiannya seperti yang terlihat? Karen tidak percaya. Anne tidak bunuh diri. Anne tidak mungkin bunuh diri...