Sometimes hearing the truth takes more courage than speaking the truth
Amit Kalantri, Wealth of Words
SEBUAH pemandangan yang familier masuk ke mataku yang mulai terbuka: langit-langit ruangan berwarna putih. Hanya saja kipas besar itu tak lagi berputar sedikit malas—mungkin karena udara malam ini cukup dingin.
HAH? Malam?
Refleks aku terlompat duduk dan mengedarkan pandangan ke ruangan ini dengan ketakutan. Ya, benar. Sekarang aku ada di ruang UKS. Namun, gimana caranya aku bisa sampai ke sini? Dan... Kenapa aku bisa langsung tahu kalau sekarang sudah malam?
Butuh waktu beberapa detik untukku mengingat kalau sebelum ini aku berada di ruang kelas kosong yang ada di lantai tiga—ruangan tempat bunuh diri Anne. Bianca menggerakkan genknya untuk mengurungku di sana dalam kondisi basah kuyup. Seingatku ruangan itu terkunci rapat. Lantas, gimana caranya aku bisa keluar dari sana?
Perlahan ingatanku memutar kembali potongan-potongan adegan yang masih terasa samar. Seingatku, rasanya ada yang membuka pintu ruangan kelas itu dan orang itulah yang menolongku sebelum kesadaranku hilang sepenuhnya. Dan, kalau aku tak salah ingat, dia adalah...
"Cello?" gumamku tak percaya.Ta-tapi itu enggak mungkin, kan?Aku menggeleng keras. Maksudku, gimana caranya Cello menolongku? Dia, kan, nggak tahu kalau aku dikurung di sana? Lagipula, Cello nggak punya alasan untuk menolongku. Kami sama sekali nggak berteman, bahkan bisa dibilang hubungan kami tidak baik. Jadi, untuk apa Cello bersusah payah? Atau jangan-jangan aku cuma berhalusinasi saja?
"Ngg—"
"Huh?"
Jantungku seolah melompat keluar dari rongga dada saat mendengar suara erangan halus itu. Ada orang lain disini? Siapa? Jangan-jangan.... Bianca?
Gemetar, aku kembali menarik selimut dan menggulung tubuhku di atas tempat tidur; mencoba menyembunyikan diri dari situasi yang tidak kupahami ini. Jantungku berdebar makin keras saat menyadari ada bunyi krosak-krosakdari balik sekat yang memisahkan tempat tidur ini dengan sofa, disusul dengan suara langkah kaki yang semakin mendekat ke arahku. Aku terlonjak saat sebuah tepukan mendarat di bahuku yang berlanjut jadi sebuah guncangan pelan.
"Karen? Hey? Udah bangun?"
Eh? Suara itu?
Takut-takut, aku menyembulkan kepala dari balik selimut. Mataku membulat saat menyadari siapa yang baru saja mengguncangku.
"Ce... Cello?"
* * * * *
"Minum dulu," setengah menguap Cello menyodorkan secangkir teh panas yang kuterima dengan pandangan berterima kasih, yang buru-buru kusamarkan menjadi sebuah ekspresi datar. Tanpa basa-basi aku langsung menyeruput teh itu. Cairan merah kehitaman dengan rasa manis itu pun langsung tergelincir masuk ke tenggorokan, menyebarkan rasa hangat-manis yang sangat kubutuhkan setelah semua yang kualami tadi.
"Makasih..." gumamku enggan. Hati kecilku masih menolak percaya kalau Cello-lah yang telah menolongku—bahkan sampai membuatkan teh panas. Namun, yah, ini kenyataannya. Apa boleh buat, aku tak punya pilihan selain berterima kasih walau kuucapkan dengan nada segan.Seperti biasa, cowok itu cukup sadar diri kalau aku hanya setengah hati menanggapinya karena raut wajahnya kembali berubah. Hanya saja kali ini dia memilih untuk mengabaikan itu. Tangannya malah bergerak mengambil cangkir teh dari tanganku dan menggantinya dengan semangkok bubur dari atas nakas.
KAMU SEDANG MEMBACA
[URBAN THRILLER] Vie Asano - Suicide Knot (SUDAH TERBIT)
غموض / إثارةSeorang siswi mati. Bunuh diri. Siaran live Instagram-nya saat gantung diri di ruang kelas menjadi viral. Benarkah sesederhana itu? Benarkah kejadiannya seperti yang terlihat? Karen tidak percaya. Anne tidak bunuh diri. Anne tidak mungkin bunuh diri...