Knot#11: Save Me!

1.4K 262 22
                                    

"Yeah, as long as we know we're trapped, we still have a chance to escape."

Sara Grant, Neva


Karen.

Bangun.

BANGUN!

HAH!

Aku tersentak kaget dan langsung terlompat duduk.Napasku menderu. Bulu kudukku meremang. Kenapa aku seperti mendengar suara Anne?Apa aku bermimpi? Tapi...

Gemetar, aku mencoba memindai situasi yang tengah kualami sekarang. Sayangnya tak ada yang bisa kulihat selain kegelapan. Pandanganku beralih melirik ke arah jendela, dan lututku lemas saat menyadari kalau hari sudah beranjak malam.

Astaga....

Lunglai, aku beringsut menuju sudut ruangan yang terdekat dengan pintu dan meringkuk di sana sambil memejamkan mata. Setelah beberapa waktu akhirnya aku berhasil mengingat apa yang tadi kualami.

Setelah menyadari kalau aku dikurung di ruangan tempat Anne menggantung dirinya, aku ingat kalau tadi aku sangat panik dan menggedor-gedor pintu sambil berteriak sekencang-kencangnya; mencoba menarik perhatian siapapun yang mungkin melintas di dekat ruangan ini. Namun, percuma. Bianca memang sialan. Dia tadi menahanku untuk terus berada di kelas sekalipun jam pulang sudah lewat sebelum membawaku ke ruangan ini. Rupanya dia memanfaatkan kebiasaan para murid di sekolah kami yang selalu berlomba-lomba untuk pulang lebih cepat setiap hari Jumat sore karena besok libur. Sialnya lagi, ruangan kelas ini jarang sekali dilalui orang dan semakin terkucil saja setelah peristiwa Anne. Sadar kalau kecil kemungkinan ada yang akan menolongku, lama kelamaan akhirnya aku kelelahan dan jatuh tertidur di lantai.

Lapar.

Takut.

Dingin.

Aku menggigil sambil memeluk tubuhku sendiri dan meringkuk di sudut ruang kosong ini; mencoba untuk sedikit menghangatkan tubuhku. Namun usahaku itu sia-sia. Siraman air dari Ellen tadi membuat bajuku lumayan basah, dan efek dinginnya makin terasa seiring dengan bertambahnya waktu.Tanpa perlu mengecek termometer, aku bisa menebak kalau suhu tubuhku saat ini pasti lebih rendah dari suhu normal karena gigiku mulai bergemerutuk saking dinginnya.

Ini jam berapa?

Apa Papa dan Mama sadar kalau aku nggak pulang?

Di tengah perasaan dingin yang mendera, selintas pertanyaan itu muncul begitu saja. Saat ini aku tidak membawa ponsel karena Bianca tak membiarkanku membawa tas,sementara ponselku ada di sana. Cewek menyebalkan itu jelas banget sudah memperhitungkan supaya aku tak bisa menggunakan ponsel untuk menghubungi orang lain.

Apa aku bisa keluar dari jendela? Apa aku coba lompat aja dari sana?

Tiba-tiba pikiran lain menyapa. Aku buru-buru menggeleng dan menepis ide itu. Tidak, tidak. Aku ingat tadi sore sempat mengecek jendela, mencoba mencari pijakan supaya aku bisa turun. Namun, sialnya, jendela ruang kelas ini menghadap ke area belakang sekolah yang kosong. Tak ada apapun yang bisa kujadikan alat bantu untuk turun. Sedangkan jika aku memaksa untuk melompat turun, bisa dipastikan kalau aku akan cedera mengingat aku bukan ahli akrobat dan ruangan ini ada di lantai tiga. Seperti kata Ellen tadi, mustahil aku bisa kabur dari jendela.

"Sialan..." umpatku frustrasi saat menyadari kalau kecil sekali kemungkinannya aku bisa kabur dari ruangan ini. Apa boleh buat. Sepertinya aku hanya bisa berharap kalau Papa dan Mama menyadari kalau aku tak ada di kamarku malam ini. Walau, jujur saja, aku tak yakin mereka akan peduli soal itu.

Heh.

Aku mendengkus masam. Ya, rasanya aku tak bisa membayangkan kedua orang tuaku mau repot-repot mengecek kamarku untuk melihat apa aku sudah pulang atau belum. Mereka selalu sibuk sendiri dan tak pernah betul-betul punya waktu untukku. Itulah salah satu alasan kenapa aku lebih suka menghabiskan waktu bersama Anne, dan kurasa tak ada yang betul-betul mengenalku seperti sahabatku itu.

Karen....

Lagi-lagi aku seperti mendengar suara Anne. Spontan aku langsung menutup telinga dan menggigil ngeri. Air mataku kembali mengalir. Maaf, Ne... Kamu memang sahabatku. Tapi, wajar, kan, kalau aku takut?Bagaimanapun aku cuma cewek biasa yang punya ketakutan atas hal-hal yang tidak kupahami. Aku bukannya percaya pada hantu. Namun membayangkan kalau saat ini aku ada di ruangan tempat Anne menggantung dirinya, ditambah lagi ruangan ini terkunci dan gelap, otomatis membuat imajinasiku menggila.

Karen...

Karen...

Astaga!

Lagi-lagi aku berimajinasi mendengar suara Anne dan itu membuat bulu kudukku meremang tak terkendali. Aku sesak napas, dan semakin sesak saat melirik ke arah sisa simpul tali yang samar kutangkap setelah mataku terbiasa melihat di kegelapan. Tak bisa dihindari, pemandangan saat tubuh Anne terayun-ayun pun kembali hadir.

"Enggak! Enggak!" Aku menggelengkan kepala, mencoba menghapus rekaman detik-detik kematian Anne dari ingatanku. Namun semakin aku mencoba, rekaman itu justru semakin terasa nyata. Apalagi saat ini aku ada di ruangan yang sama.

Karen...

Suara imajiner itu terdengar lagi. Bahkan kini aku bisa membayangkan Anne yang sudah tergantung, tiba-tiba menoleh dan menatapku. Kali ini aku tak tahan dan meraung keras. Frustrasi, selintas pikiran nekat pun menggodaku. Gimana kalau aku lompat saja dari jendela? Ya, aku harus lompat! Aku harus keluar dari sini. Sekarang!

Namun, walau otakku menjeritkan bermacam perintah, tubuhku tak juga merespon. Aku masih terus menggigil kedinginan. Gigiku bergemerutuk makin keras saat angin menelusup dari celah pintu. Perlahan tapi pasti, kusadari kalau aku tak lagi punya tenaga untuk bergerak. Kesadaranku mulai berkabut dan aku makin sulit untuk membuka mata. Napasku memendek.

Ngantuk.

Sisa kesadaranku memutar kenangan saat Anne bercerita tentang bahaya hipotermia. Akan sangat berbahaya kalau sampai ketiduran karena suhu tubuh kita bisa menurun drastis. Harusnya saat ini aku mencoba untuk terus bergerak agar tubuhku hangat. Namun... Aku terlalu lelah. Perasaan lapar, haus, kedinginan, capek, dan tentu saja ketakutan, akhirnya berhasil mengalahkanku.

Aku cuma pengin istirahat.

Tapi aku tahu, aku nggak boleh tidur.

Seseorang, tolong aku!

Di antara sisa kesadaran yang makin menguap, aku menepuk dada kiriku. Mencoba memberikan sinyal SOS, walau aku tahu takkan ada yang bisa melihat sinyal itu. Lagipula, satu-satunya orang yang mengerti tanda itu sudah tak ada. Perasaan ngantuk pun kembali menyerang seiring dengan terpejamnya mataku. Herannya, semakin lama rasanya suara-suara di sekitarku terdengar makin riuh. Kini aku bahkan mendengar kalau pintu ruangan ini seperti digedor-gedor, disusul dengan bunyi ribut yang sepertinya berasal dari imajinasiku—sama seperti saat aku merasa mendengar suara Anne. Bahkan aku bisa merasakan ada seseorang membuka pintu, dan orang itu langsung menerobos masuk. Dia bahkan mengguncang-guncang tubuhku dan menepuk pipiku berkali-kali hingga aku kembali membuka mata.

"KAREN! BANGUN! BANGUN!"

PLAK!

Sebuah tamparan di pipi membuat mataku sedikit terbuka. Samar aku menangkap ada sosok cowok yang kini menatapku dengan tatapan khawatir. Sebelah tangannya masih terus menepuk pipiku dengan keras, membuat kesadaranku perlahan kembali walau segalanya masih terasa samar.

Huh?

Aku mengerjapkan mata saat sosok cowok itu terlihat makin nyata dalam pandanganku.

Cello?    []

[URBAN THRILLER] Vie Asano - Suicide Knot (SUDAH TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang