When you're alive they won't care what you said
What you deserve and all the blood you bled
"Everybody Loves You When You're Dead" – The Stranglers
SEPULUH, SEMBILAN, DELAPAN...
Aku memejamkan mata kemudian melanjutkan hitungan itu dalam hati.
...tujuh, enam, lima, empat...
Aku menarik napas panjang dan mengembuskannya perlahan. Mencoba mempraktikkan teknik pernapasan yang – entahlah pernah kudengar di mana. Oke, harusnya semua baik-baik saja. Aku tinggal melangkah masuk ke dalam kelas dan menjalani hari seperti biasa. Everything will be fine and it SHOULD be fine.
...tiga, dua, satu. Saatnya masuk kelas! Tapi...
Sekejap aku langsung menyesali keputusan untuk masuk sekolah pagi ini. Pasalnya, begitu aku melangkahkan kaki, atmosfer kelas berubah dalam sekejap. Keriuhan yang selama beberapa menit kudengar dari luar, menghilang seolah ada yang menekan tombol senyap. Hey, tunggu dulu. Kenapa mereka menatapku seperti itu? Apa ada yang aneh dengan penampilanku? Selain mata yang bengkak parah karena kelenjar air mata tak berhenti produksi selama beberapa hari terakhir, lengkap dengan hidung semerah rusa kutub karena terlalu banyak diusap dan dipencet.
Sialan.
Aku mengumpat dalam hati. Harusnya aku bolos saja. Sayangnya hari ini aku kehilangan selera untuk bolos. Selain karena aku sudah terlalu lama absen dan hari ini ada ulangan Bahasa Indonesia, juga karena pasangan bolosku tak lagi bisa menemani.
Anne.
Perasaan kehilangan kembali menyapa. Kenangan saat aku menolak pergi dari sisi peti mati Anne. Usahaku mencegah peti Anne itu untuk tidak ditutup dan ditimbun oleh tanah pun terbayang kembali. Kenangan itu membuat kelenjar air mataku kembali bergejolak. Seakan belum cukup, cobaan lain kurasakan saat melihat vas berisi setangkai Lili putih di atas meja Anne. Keberadaan bunga penanda duka cita itu membuatku kembali merasakan sesak yang amat sangat; seperti ada yang tiba-tiba mencengkeram paru-paruku.
Astaga!
Aku buru-buru duduk dan membenamkan wajah di balik lipatan tangan, agar air mata ini sedikit terserap oleh lengan sweater. Jangan sampai aku menangis lagi, setidaknya jangan di kelas ini. Sepenuh hati aku pun berdoa semoga hari ini berlalu lebih cepat dari seharusnya. Semoga juga tak ada yang mengajakku bicara, karena...
"Hei."
Suara itu terdengar cukup jelas dari arah sebelahku. Sepertinya dia – siapa pun itu – mencoba menyapaku. Namun peduli amat. Memangnya dia tidak bisa melihat kalau mood-ku sedang berantakan?
"Karen? Are you okay?"
Ck... Aku berdecak jengkel. Dengan enggan aku mengangkat kepala dan mengintip sedikit ke arah suara itu.
Sosok dengan bentuk mata agak turun dan rambut pendek sedikit ikal langsung tertangkap oleh pandanganku. Leonel Marcello alias Cello memberiku tatapan penuh kekhawatiran. Dia sengaja duduk di bangku depan mejaku yang kebetulan kosong dan bersikap seperti akan memulai sebuah obrolan panjang. Sayangnya aku betul-betul sedang tidak mood untuk berbasa-basi, tanpa kecuali.
"Sori Cel, bisa tinggalin aku?"Aku kembali menyurukkan kepala ke lipatan tangan. Sesaat kudengar Cello menghela napas.
"Aku cuma mau ...."
KAMU SEDANG MEMBACA
[URBAN THRILLER] Vie Asano - Suicide Knot (SUDAH TERBIT)
Misteri / ThrillerSeorang siswi mati. Bunuh diri. Siaran live Instagram-nya saat gantung diri di ruang kelas menjadi viral. Benarkah sesederhana itu? Benarkah kejadiannya seperti yang terlihat? Karen tidak percaya. Anne tidak bunuh diri. Anne tidak mungkin bunuh diri...