Part 1

7.5K 373 13
                                    

Langit yang gelap, perlahan-lahan mulai terang oleh sinar matahari di ufuk timur. Choi Yoon Shik tidak tidur semalaman, terus mondar-mandir di depan rumahnya. Di dalam rumah, suara jerit kesakitan terdengar. Istrinya hendak melahirkan. Tengah malam Yoon Shik mencari bidan untuk membantu istrinya melahirkan.

Ketika langit benar-benar terang, bersamaan dengan kokok ayam, suara tangisan bayi terdengar. Yoon Shik segera berlari masuk ke rumah.

Buin!” Dia menghampiri istrinya yang kelelahan di atas kasur.

Sang istri meski lelah, tetap tersenyum bahagia.

“Bayinya perempuan,” kata bidan yang membungkus tubuh bayi mungil itu dengan kain dan memberikannya kepada sang ayah.

Seorang bocah lelaki menghampiri Yoon Shik.

“Oh, Jin Yong. Lihat, ini adikmu. Dia cantik, bukan?”

Jin Yong mengangkat tangannya ragu-ragu dia ingin menyentuh menyentuh pipi mulus bayi itu. Namun sang ibu meraih tangan mungil Jin Yong hingga bisa menyentuh pipi adiknya.

“Kau seorang kakak sekarang. Jaga adikmu dengan baik, ya,” kata ibu.

***

Ibu memukuli betis Jin Yong dengan kayu tipis. Jin Yong yang kala itu sudah remaja, hanya bisa menggigit bibir menahan sakit.

“Dasar anak nakal, tidak bisa menjaga adik dengan baik, malah membuat tangannya terluka!” marah ibu.

Yoon Woo, adik Jin Yong, berusaha menahan tangan ibunya dengan satu tangannya yang tidak terluka, agar kakaknya tidak dipukul terus.

Eommeoni, kumohon, Orabeoni tidak bersalah. Aku yang main-main dengan pedang sendiri.”

“Dan dia membiarkanmu bermain pedang sampai terluka,” kata ibu sambil terus memukul.

“Aku mohon, Eommeoni, jangan pukul Orabeoni lagi,” Yoon Woo mulai menangis.

Tangis Yoon Woo berhasil menghentikan ibunya, tetapi ibu malah menyentil kening Yoon Woo dengan keras.

“Gadis bodoh! Sudah tahu pedang itu tajam, masih mau bermain-main dengannya. Kau itu perempuan, tidak boleh ikut-ikutan kakakmu latihan pedang. Kau hanya boleh memegang pisau dapur.”

Kini Jin Yong yang berusaha menghentikan sentilan sang ibu di kening adiknya, “Hentikan, Eommeoni! Wajahnya bisa jadi jelek kalau disentil terus. Aku yang salah. Aku janji, Yoon Woo tidak akan memegang pedang lagi.”

Ibu mendengus sambil berkacak pinggang.

***

Jin Yong berbaring telungkup di atas balai-balai bambu di depan rumahnya. Yoon Woo datang membawa sebuah mangkuk berisi dedaunan obat yang sudah ditumbuk oleh ibunya. Ramuan itu dioleskan ke betis Jin Yong yang habis dipukul oleh ibu.

“Maafkan aku, gara-gara aku, Orabeoni dipukul.”

Jin Yong tidak menjawab. Setelah kedua betis Jin Yong dibalut oleh kain, Jin Yong berbalik dan duduk. Ditatapnya kening Yoon Woo yang agak memerah.

“Aduh, adikku jadi jelek.”

Yoon Woo terbelalak sambil menutup keningnya dengan tangan. Jin Yong bangkit, mengambil kain, lalu mencelupkannya ke dalam gentong air. Dia kembali dengan kain basah. Dia menurunkan tangan Yoon Woo yang menutup keningnya, lalu mengompres bagian kening Yoon Woo yang merah.

Ibu yang sedang menurunkan baju-baju dari jemuran, memandang mereka sambil tersenyum geli. Mereka lahir dari rahim yang berbeda, namun akrabnya melebihi saudara kandung.

Ya, Choi Jin Yong memang bukan anak kandungnya. Ketika menikah dengan Choi Yoon Shik, anak itu sudah berusia dua tahun. Dia tidak tahu di mana ibu dari anak itu, Yoon Shik tidak pernah menceritakannya, dia pun tidak berani bertanya. Dia menerima anak itu dan merawatnya seperti anak sendiri.

Caranya mendidik anak memang keras, seperti almarhum ayahnya yang merupakan pensiunan prajurit. Dia terkesan seperti ibu tiri yang jahat. Tetapi di balik sifat galaknya itu, sebenarnya dia menyayangi Jin Yong sama dengan Yoon Woo. Kalau Yoon Woo nakal, dia juga pasti akan memarahi dan memukulnya.

“Permisi,” sapa seorang wanita, mengejutkannya.

Wanita itu tampak seumuran dengannya. Dia menggandeng seorang gadis remaja yang mengenakan hanbok berwarna kuning.

“Saya baru pindah ke desa ini. Kami tinggal di sebelah rumah anda. Perkenalkan, saya Song Da In. Ini anak saya, Yoo Mi Rae.”

“Ah, tetangga baru rupanya. Selamat datang di desa kecil kami. Saya Hong Yoon Hye. Yang duduk di sana itu anak-anak saya. Suami saya masih belum pulang dari pasar. Kami punya toko benda-benda tajam di sana. Suami saya pengerajin besi. Kalau anda butuh pisau dapur, silahkan hubungi kami. Untuk tetangga sendiri, kami akan kasih potongan harga,” kata Ibu memperkenalkan diri sambil promosi.

Kedua ibu itu tertawa. Tanpa mereka sadari, Yoo Mi Rae lepas dari genggaman ibunya, berjalan mendekati sepasang kakak beradik yang sedang duduk di balai-balai. Jin Yong dan Yoon Woo menatap gadis itu dengan pandangan aneh, karena sorot mata Mi Rae tampak ganjil.

“Taeyang…” ucap gadis itu sambil menatap Jin Yong.

“Heh? Namaku Choi Jin Yong, bukan Taeyang.”

“Taeyang…” ucapnya lagi, seperti tidak mendengarkan kata-kata Jin Yong tadi.

Jin Yong dan Yoon Woo saling melirik. Jin Yong mengetuk-ngetuk kening dengan telunjuk, sambil berbisik, “Orang gila.”

Yoon Woo memukul kakaknya yang tidak sopan, lalu tersenyum ramah pada Mi Rae, “Halo, aku Choi Yoon Woo, dan ini kakakku, Choi Jin Yong. Sepertinya kau seumuran dengan kakakku. Boleh kupanggil Eonni?”

“Kenapa kau memanggilku Taeyang?” tanya Jin Yong penasaran.

“Ada sinar matahari yang sangat terang menaungi kepalamu. Taeyang, sinar matahari.”

Jin Yong melihat ke atas, yang dilihatnya adalah langit berwarna jingga yang disinari oleh matahari sore.

“Dan kau…” Mi Rae menunjuk Yoon Woo, “Kau memiliki sinar bulan yang lembut.”

“Oh, terima kasih, Eonni, apa itu berarti aku cantik?” tanya Yoon Woo.

Ibu Mi Rae datang tergopoh-gopoh sambil menarik tangan putrinya, “Eh, anak ini mulai lagi bicara yang aneh-aneh. Ayo pulang!”

Mi Rae terus menoleh kepada Jin Yong saat ditarik ibunya pulang.

“Aku yakin, gadis itu suka padamu,” bisik Yoon Woo.

Jin Yong bergidik.

To be continue

Notes kamus:

Orabeoni : panggilan adik perempuan kepada kakak laki-laki. Kalau bahasa modernnya, oppa.

Eommeoni : ibu

Eonni : panggilan adik perempuan kepada kakak perempuan.

I Am The King ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang