Part 20

5.3K 289 9
                                    

Tangisan bayi melengking membahana di istana. Sejak sore Yoon Woo dan Jin Yong berusaha menenangkan bayi mereka yang terus menangis tanpa sebab. Dia tidak mau minum susu. Para tabib sudah memeriksa, tetapi tidak menemukan penyakit apa yang menyerang sang pangeran mungil itu. Mata bayi itu terus menatap ke langit-langit tak berkedip, entah melihat apa yang membuatnya begitu ketakutan, tetapi tidak mampu memejamkan matanya. Tangan Yoon Woo ditangkupkan di atas mata putranya, tetapi bayi itu tetap menangis.

Mi Rae yang telah menjadi Gukmu, berlari dari Sangsucheong menuju kamar Yoon Woo. Mi Rae telah berusaha mengusir sihir jahat yang mengganggu pangeran dari ruang sembahyang, tetapi sihir ini terlalu kuat.

Mama, hamba sudah datang,” Mi Rae menghambur ke dalam kamar.

“Anakku kenapa, Eonni?” tanya Yoon Woo yang sudah menangis ketakutan. Tubuh bayi digendongannya sudah mulai membiru.

Mi Rae mengambil alih pangeran dari gendongan Yoon Woo.

“Tolong selamatkan Yong Jun, Mi Rae,” kata Jin Yong sambil menopang tubuh Yoon Woo yang lemas.

Mi Rae membacakan mantera sambil mengusap-usap kening bayi itu, sementara para Munyeo menyalakan lilin dan masing-masing juga membaca mantera, melingkari Mi Rae yang duduk di tengah. Api-api di lilin itu bergoyang-goyang, nyaris padam. Semua Munyeo harus bisa mempertahankan api agar tetap menyala. Jin Yong dan Yoon Woo berdiri di depan pintu sambil berpelukan.

Tiba-tiba semua lilin padam. Tangis Yong Jun mendadak berhenti. Ruangan hening dan gelap gulita.

“A… apa yang terjadi? Mi Rae?” Jin Yong kebingungan, begitu pula istrinya.

Lilin yang tadinya padam tiba-tiba menyala lagi dengan api yang besar seperti obor, sebelum kembali ke bentuknya semula. Mi Rae bangkit dan menyerahkan Yong Jun ke gendongan Yoon Woo kembali. Bayi itu kini tertidur pulas dan tenang, seperti tidak pernah terjadi apa-apa.

“Apa yang sebenarnya terjadi? Apa ini pekerjaan mantan Gukmu itu?”

Mi Rae mengangguk. Di bantu para asisten, Mi Rae menyusun kasur di tengah lingkaran lilin yang menyala.

“Putra Mahkota dan Putri Mahkota, serta pangeran harus tidur di dalam lingkaran ini, tidak boleh keluar sampai besok pagi. Malam ini serangan sihir hitam akan semakin kuat.”

“Kau… kau bisa menangkalnya, kan, Mi Rae?” tanya Jin Yong.

“Hamba akan berusaha sekuat tenaga, bahkan jika itu harus menghantarkan nyawa hamba sendiri.”

***

Sinar bulan berwarna merah seperti darah. Lolongan serigala menghantarkan mantera yang diucapkan oleh mantan Gukmu Kim menuju istana. Ini mungkin menjadi hari terakhirnya melayani tuannya, Park Jung Geun, yang telah banyak berjasa untuknya dan keluarganya. Dia mengeluarkan seluruh kekuatannya untuk membunuh seluruh penghuni istana, dari raja, permaisuri, selir, putra dan putri Raja, bahkan para pegawai rendah yang tinggal di istana. Mantan Gukmu Kim akan menghabisi semuanya malam ini juga.

Akan tetapi Sangsucheong tidak tinggal diam. Para Munyeo yang dipimpin oleh Mi Rae mengelilingi sudut-sudut istana dengan peralatan sembahyang. Mi Rae berdiri di altar ruang sembahyang, terus membacakan mantera pelindung dan membakar kertas mantera di dalam baskom berapi.

Jendela-jendela ruangan terbuka sendiri dan angin kencang menerpa. Tubuh Mi Rae terlempar ke belakang. Mi Rae berusaha bangkit mendadak dia sulit bergerak, seperti lumpuh. Dia merangkak, lebih tepatnya menyeret tubuhnya untuk kembali ke atas altar. Tangannya menggapai meja altar untuk membantunya berdiri. Dia menggigit jari tengahnya sendiri. Darah disapukan di atas kertas mantera berwarna kuning, membentuk huruf ‘selamat’, lalu dibakar di dalam api. Api langsung berkobar, namun tidak membakar. Mi Rae terus membaca mantera, meski darah mulai keluar dari hidung dan mulutnya.

Asap membawa mantera Mi Rae keluar dari jendela dan menyebar ke seluruh penjuru istana, menghalau sihir-sihir jahat yang membawa kematian, serta menjadi perisai tak kasat mata, pelindung istana.

Sementara itu sihir Kim kembali menghantam tubuh renta itu hingga terpental jauh. Dia mati seketika dengan mata membelalak ngeri.

Mi Rae masih berdiri di altar dengan kedua tangan terangkat ke atas. Bibir yang berlumur darah menyunggingkan senyum lega. Mantera pelindungnya berhasil. Istana telah bersih dari segala macam aura kegelapan. Dia telah menyegel perisai perlindungan dengan darahnya. Dengan nyawanya.

Mata Mi Rae terpejam, diikuti dengan tubuhnya yang lemas dan jatuh ke lantai.

***

Begitu pagi menyapa dan Jin Yong membuka mata, hal pertama yang dilakukannya adalah melihat keadaan istri dan anaknya. Dia bernapas lega saat melihat Yong Jun sudah bangun dan bermain-main dengan ibunya di kasur. Dia sudah bisa tertawa lagi seperti biasanya.

Hal kedua adalah menanyakan keadaan Mi Rae. Jin Yong dan Yoon Woo segera pergi ke Sangsucheong setelah mendengar Mi Rae yang tak sadarkan diri setelah perang tak kasat mata semalam.

“Mi Rae…”

Eonni…”

Bersamaan Jin Yong dan Yoon Woo berseru ketika masuk ke kamar Mi Rae. Jung Hwan ada di sana, duduk di sisi Mi Rae yang terbaring lemah.

“Bagaimana keadaannya, Jubu Seo?” tanya Yoon Woo.

Jung Hwan menghela napas panjang. Raut wajahnya berlumur duka, “Detak jantungnya sangat lemah dan aliran darahnya melambat. Hamba tidak tahu sampai kapan dia akan bertahan.”

Tiba-tiba Jin Yong mencengkeram kerah baju Jung Hwan, “Jadi kau bilang dia akan mati?”

Jung Hwan menantang tatapan mata Jin Yong, sesuatu hal yang seharusnya dilarang, “Tidak. Dia tidak akan mati. Dia tidak boleh mati. Aku akan berusaha menyembuhkannya.”

“Bagus. Selamatkan dia. Selamatkan sahabatku. Selamatkan gadis yang kau cintai.”

***

Park Jung Geun dan para pendukungnya berlutut di tengah lapangan. Satu persatu diseret ke tempat pemancungan. Mereka dihukum pancung. Ketika giliran Jung Geun tiba, dia menengadah ke langit.

Abeoji, Eommeoni, Paman Yang Mulia, dan Kakek Yang Mulia, serta semua para pendukung kami… Maafkan aku yang telah gagal merebut kembali hak kalian. Mohon terimalah aku di sisi kalian…”

Jung Geun memejamkan mata sebelum pedang besar memutuskan kepalanya.

***

Beberapa bulan setelah Jung Geun dan para pendukungnya dihukum mati, Raja Yong Goo memutuskan untuk mundur dari pemerintahan dan menyerahkan tahtanya kepada Jin Yong. Dia ingin menghabiskan sisa hidupnya di dalam ketenangan yang jauh dari pergolakan politik di istana. Dia pergi ke sebuah desa kecil yang asri dan tenang, ditemani oleh kasim setianya.

Yong Goo duduk di sebuah saung sambil memandang hamparan sayur yang menghijau di ladang. Tangannya menggenggam binyeo merak emas.

Aku masih percaya, bahwa kau pasti akan datang untukku. Kita bisa bersatu kembali, menghabiskan masa tua kita bersama….

Kepala Yong Goo bersandar di kayu penopang saung. Dia menengadah menatap langit yang cerah, kemudian memejamkan matanya. Binyeo itu masih di dalam genggamannya.

***

Seorang wanita memakai hanbok serba putih, dengan rambut berkepang yang disampirkan ke bahu, berjalan menuju saung. Dia menghampiri Yong Goo yang masih memejamkan mata.

“Lee Yong Goo Nauri…”

Yong Goo membuka kelopak matanya perlahan. Cahaya matahari menyinari wajah wanita itu, membuat matanya silau. Namun dia tahu siapa wanita ini. Yong Goo memperbaiki gelungan rambut wanita itu dengan binyeo merak emas.

“Akhirnya binyeo ini kembali kepada pemiliknya.”

Yong Goo memeluk wanita itu, “Aku tahu, kita pasti bertemu lagi…”

To be continue

I Am The King ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang