Awal

482 33 5
                                    


Duduk bersila di pojok ruangan sempit, mengabaikan keberadaan kursi yang sebenarnya ada dihadapan mata,

Dinginnya lantai dan hembusan malam sedingin es dari jendela yang dibiarkan terbuka, bak mengeroyok tubuh tanpa tulang


Ah, rasanya seperti orang bodoh.


Melamun membiarkan waktu berlari mendahuluimu, meninggalkanmu dengan tawa puas tanpa belas kasihan.

Membuang tiap menit tanpa produktifitas tatkala membiarkan kekosongan mem-peropaganda dirimu dari dalam, mengeropos tiap inci tulangmu.


Apa yang kulakukan?


Makalah itu tak akan selesai dengan sendirinya

Kertas-kertas itu tak akan menulis sendiri


Persetan.


Lembaran-lembaran itu entitas mati, dan entitas mati tak akan memberimu hidup.

Kubiarkan jiwaku mengutuk keras pada kenyataan. Sebuah kutukan yang tidak berasal dari intelektual tapi emosi.

Emosi akan suatu yang tidak pasti.

Emosi kosong, berasal dari jiwa yang kosong.

Kosong menjadi hampa, hampa menjadi kelumpuhan.

Kelumpuhan akan jiwa, raga, rasionalitas, dan rasa.



Ah, Bukankah sendirian itu menyiksa?
Aku tertawa.



Karena saat kau lumpuh, tak ada tangan yang akan memapahmu.


Benar. 
Aku kosong dan hampa.

Aku lumpuh dan sendirian.


Adakah yang bersedia mendobrak pintu ruangan ini untuk sekedar memastikan aku masih hidup?


Di keheningan, kau bisa dengar teriakanku samar, Rintihanku mencari pertolongan yang tak akan pernah datang

Sebab sekali lagi, diriku kalah dan menang

Kau lihat senyumku, kau lihat sudut mulutku bergetar

Kau dengar tawaku, kau dengar jeritanku

Kau dapati aku adalah seorang putri yang dipeluk kemakmuran,
kau dapati aku dicium kehancuran

Kini kau tahu, Aku hidup dengan kebohongan



Dan kebohongan terbesarku,

Adalah diriku sendiri.




------------------------------------------ 20/06/2018 ---------------------------------------

[LW/YS]

Elegi Putri PeratapTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang