Chapter 6

171 15 0
                                    

Selama perjalanan, kami benar-benar diam. Tak ada satu patah kata pun yang terucap dari mulut kami. Menurutku, ini akan menjadi malam yang canggung. Apakah semua mantan akan melewati tahap ini? Tahap kecanggungan, tahap saling cuek, dan tahap saling diam padahal hati masih ingin kembali seperti dulu. Waktu aku putus dengan Dion dan kami bertemu di Amerika, kami juga saling diam dan dingin seperti ini, tetapi aku dan Davin pernah berjanji untuk tidak menjadi seperti itu. Mengapa sekarang ia mengingkari janjinya sendiri? Atau malah aku yang mengingkari ini? Tetapi kita bisa menjadi teman, kan? Dulu, Davin adalah satu-satunya temanku yang mengetahui segala masalah di hidupku, bahkan lebih tau dari Dion. Kami putus bukan karena tak saling sayang, tetapi karena perbedaan keyakinan. Kalau aku dan dia balikan, ibarat baca novel yang sama. Akhiranya pasti sama, karena keyakinan kami masih berbeda. Setidaknya, biarkan aku berteman lagi dengannya. Ia adalah pendengar yang baik dan sangat perhatian tanpa memikirkan keegoisan.

"Diana. Ini hotelnya di mana?"

"Bentar, gue liat maps."

Akhirnya kita berbicara juga, ya walaupun hanya bertanya lokasi. Aku mengarahkan Davin sesuai peta yang ada di ponselku.

Hampir setengah jam kami berkeliling mencari hotelnya, namun tak kunjung sampai. Bahkan, kami malah menyasar ke suatu tempat yang gelap.

"Diana, ini gimana, sih?" Davin memberhentikan motornya dan menoleh ke arahku.

"Gak tau, Vin. Di maps kayak gini." Aku menunjukkan layar ponselku kepadanya.

"Balik lagi aja dah, ini sepi banget." Ia memundurkan motornya dan berbalik arah ke tempat kami masuk tadi.

Ketika kami berbalik arah, entah salah jalan atau bagaimana, tetapi tiba-tiba ada 3 anjing yang muncul dan mengejar motor Davin dengan kencang.

"DAVIN! ANJINGNYA NGEJAR!" teriakku sangat takut dan panik.

"Ya udah, lu pegangan gua! Gua ngebut!" Davin ikut panik.

Tanpa pikir panjang, aku langsung melingkarkan tanganku di perut Davin dengan erat. Ia menancap gas lebih kencang dari sebelumnya. Dan sialnya lagi, anjing-anjing itu masih mengejar dan berlari semakin cepat hingga salah satunya berada tepat di belakang kakiku.

"DAVIN!!! ANJINGNYA DI KAKI GUE! AAA, DAVIN! GUE GAK MAU MATI DIGIGIT ANJING. DAVIN!!!" teriakku memeluk Davin lebih erat lagi sambil mengangkat kakiku agar tak digigit anjing itu.

Davin membawa motornya super kencang hingga berhasil sampai di jalan raya yang ramai. Ia memberhentikan motornya sebentar, sedangkan aku masih memeluknya sangat erat sambil memejamkan mata.

"Udah, Na. Anjingnya udah lewat. Masih aja peluk-peluk. Bilangin Dion, nih." ledeknya sambil tersenyum kepadaku.

"Ih! Kan gue takut. Kalo gue digigit terus mati, lo mau tanggung jawab?!" bantahku lalu melepas pelukannya dan membenarkan posisi duduk seperti semula.

"Ya digigit anjing doang gak bakal mati lah. Paling diamputasi."

"Ya tetep aja. Kalo diamputasi terus gak bisa jalan, jadinya gue depresi dan bunuh diri. Mati mati juga akhirnya."

"Semua orang juga bakal mati akhirnya."

Iya juga ya.

"Kenapa jadi ngomongin mati, sih? Udah ayo ke hotel. Nanti telat."

"Kalo udah ke hotel, jangan telat ya." senyum Davin penuh arti.

"Hah? Haha." Sebenarnya aku tak mengerti.

"Kok malah ketawa, sih?" tanyanya heran.

"Sebenernya gue gak ngerti, hehe."

"Yeh, dasar anak bocah. Ya udah lah ayo. Kayaknya hotelnya di sana, keliatan dari sini." Ia menyalakan motornya dan langsung menuju hotel.

The Difference 2Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang