Chapter 15

164 12 0
                                    


            Lusa, aku sudah masuk kampus seperti biasa. Kali ini, papa yang mengantarkanku. Ia rela menyisihkan waktu untuk mengantarkanku ke kampus walaupun kemungkinan ia akan telat datang ke kantor. Semuanya berubah setelah masalah itu terjadi. Mama lebih sering memperhatikanku, meskipun aku tak ingin diperhatikan orang-orang. Ka Lia dan Ka Elvi juga lebih sering peduli kepadaku dan menemaniku mengobrol setiap aku membuka pintu kamar. Tetapi, semua itu tak bermakna. Yang aku butuhkan hanyalah kabar dari Dion. Aku tak peduli seberapa banyak orang yang baik kepadaku. Dion adalah masa depanku. Jika tak ada Dion, aku tak punya masa depan.

Di kelas, bangku Davin berubah menjadi tepat di sampingku. Rasanya aku ingin pindah, tetapi tak ada bangku kosong lagi di sini! Ah! Mengapa ia selalu membuatku risih! Selama materi, ia hanya diam dan tak menyapaku. Kalau seperti ini, aku tidak merasa terganggu, tetapi tetap saja aku tidak mau. Jangan-jangan, ia mempunyai niat lain! Takkan aku biarkan itu terjadi.

Pulang kuliah, aku sedang mencari ojek di depan kampus. Tiba-tiba, suatu motor berhenti tepat di depanku. Itu motor Davin. Tolong, menyingkirlah dari hadapanku. Aku tak membutuhkanmu. Tak usah sok menjadi malaikat penolongku.

"Diana, lu masih punya utang sama gua!"

"Kenapa sih? Gak usah sok peduli gitu kek sama gue! Gue gak perlu lo kasianin! Gue masih hidup kok, baik-baik aja! Jangan mikir karena kemaren gue baik, artinya gue udah baikan sama lo. Gue gak suka. Gak usah ganggu hidup gue lagi." Aku berjalan meninggalkannya dengan penuh kebencian.

Aku membenci semua orang sekarang.

"Yang ganggu hidup lu itu bukan gua! Tapi pikiran lu sendiri! Lu gak bisa hidup kayak gini terus, Na!" Ia menyusulku dan tetap berjalan di sampingku sambil menaiki motornya.

"Emang gue gak mau hidup! Kenapa emangnya!"

"Oh, jadi ini yang ditakutin sama Dion."

Aku berhenti berjalan. Tau apa dia tentang Dion? Apakah ia tau bagaimana kabar Dion? Keadaan Dion sekarang? Atau selama ini ia yang membuat Dion menghilang? Aku harus bicara padanya!

"Davin! We need to talk!"

Aku segera naik ke motornya. Aku butuh tempat yang benar-benar sepi, di mana tak ada orang yang akan mendengar tangisanku dan mengira bahwa aku adalah orang gila.

Davin membawaku ke rumahnya. Aku sempat berpikir untuk menolak karena aku trauma berdua di rumah dengan seseorang yang bukan keluargaku. Tetapi, aku ingat setidaknya di rumah Davin ada neneknya. Lagi pula, jika Davin berbuat macam-macam denganku, alasanku untuk menyudahi hidupku semakin logis. Saung di rumah Davin memang sangat nyaman. Di sanalah, aku bercerita semuanya sejak pertama. Sejak awal aku menjauhi Davin, sampai saat prom night. Pastinya, sambil menangis. Selalu.

"Diana. Tapi lu gak boleh kayak gini. Ya gua tau itu bakalan sedih banget. Tapi Dion bakal jauh lebih sedih kalo dia tau tentang ini. Mau dia jodoh lu atau bukan, lu tetep harus berubah menjadi yang lebih baik, Diana. Tuhan lu pasti sayang banget sama lu, makanya dia mau nguji kesabaran lu. Kali aja kalo lu sabar, Dia bakalan kasih sesuatu yang di luar dugaan lu."

"Lo tau dari mana? Keyakinan kita aja beda, Vin. Kenapa lo nasehatin tentang keyakinan gue?"

"Karena gua yakin, semua agama ngajarin yang terbaik buat pemeluknya."

I'm speechless. He is right.

"Gua bakal nemenin lu. Gua gak akan ngelepasin lu selama yang gua bisa. Di saat-saat kayak gini itu lu butuh perhatian, butuh kasih sayang dari orang-orang terdekat. Dan gua yakin, keluarga lu pasti udah ngasih yang terbaik. Lu gak boleh sia-siain mereka, Diana. Mereka selalu ada buat lu. Gua juga gitu."

The Difference 2Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang