Chapter 5

187 15 0
                                    

Setelah bangun dari tidur, ternyata hari sudah sore. Aku mandi dan makan lalu menonton TV. Mama menghampiriku dan bertanya-tanya tentang kejadian tadi. Tanpa basa-basi lagi, aku langsung bercerita tentang si Bobol yang sangat menyebalkan dan membuat kepalaku ingin meledak. Aku ngedumel sendiri bersama mama. Setidaknya, ada orang yang bisa diajak bergibah denganku dan mengungkapkan segala hal yang dari tadi ingin aku ungkapkan.

"Sabar, sabar. Emang gitu kali."

"Ya emang gitu, sih. Oh iya, kata Dion, nanti kalo aku gak dapet SBMPTN, aku tetep ke Amerika nyamperin dia. Pake uang dia dulu."

"Gak enak kali, Na. Masa pake uang dia mulu."

"Ya, aku juga bilang gitu, Ma. Tapi dia malah curhat. Terus aku jadi tambah gak enak kalo nolak."

"Curhat apa?"

Akupun menceritakan semua hal tentang Dion yang aku tau dan yang selama ini ia curhatkan kepadaku. Dion memang orang yang benar-benar kuat. Aku berjanji untuk menjadi seseorang terakhir baginya untuk selalu menjaga dan menyayanginya sepenuh hati, bukan karena harta. Dion adalah alasan utamaku mengapa aku mengambil jurusan psikologi. Aku tak ingin ada Dion-Dion yang lainnya. Psikolog dapat membantu orang seperti Dion. Dan pastinya, dengan adanya psikolog, itu akan meminimalisasi adanya bunuh diri karena bercerita adalah hal yang penting, meskipun kadang terdengar spele. Seharusnya aku sangat berterima kasih dengan si Bobol, karenanya, Dion tak jadi bunuh diri.

"Ternyata Dion sekuat itu. Mama salut sama dia." mama merangkulku untuk menenangkanku.

Aku bersandar di bahu mama.

"Mama relain aku buat jadi malaikat penolong dia, kan?"

"Pasti, Na. Mama selalu berdoa yang terbaik buat kalian."

"Makasih ya, Ma."

"Jangan pernah nyakitin dia ya, Na."

"Pasti, Ma."

Takkan. Takkan pernah.

Dion mengabariku ketika ia sudah sampai di Amerika, yah kira-kira 5 jam setelah aku dan mama mengobrol banyak tentangnya. Tadinya aku ingin curhat dan marah-marah tentang si Bobol, tetapi lebih baik tidak usah. Mungkin itu akan menyakitinya kalau aku selalu mengeluh tentang kakaknya. Jadi, aku mengalihkan topik ke lain hal.

· "An, kamu udah ngabarin Davin?"

R "Hah? Ngabarin apa?"

· "Soal prom night."

R "Ya belom lah. Aku aja belom tau tanggalnya."

· "Emang gak dikasih tau di grup angkatan?"

R "Gak masuk, hehe."

· "Ih, Diana. Masuk lah. Udah mau lulus juga. Tanya Davin coba."

R "Temen aku kan banyak -_-. Kenapa harus Davin, sih."

· "Ya sekalian ajakin."

R "Masa cewek ngajakin sih, On. Enggak mau, ah. Lagian kenapa tiba-tiba kamu ngomongin Davin, sih?"

· "Gak papa. Dia kan temen kamu. Dia mau kuliah di mana?"

R "I don't even know."

· "Emang selama ini kamu gak temenan lagi sama dia?"

R "Semenjak kelas 11 semester 2 enggak."

· "Aku gak suruh kamu jauhin dia kan?"

R "Enggak, On. Kita gak saling ngejauh, kok. Cuma karena keadaannya aja yang gak mendukung buat deket lagi."

The Difference 2Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang