Sore mulai meninggalkan kami. Petang pun menggantikannya. Sesaat kemudian, malam menghampiri kami berenam dengan anggunnya. Kelap-kelip bintang di atas sana tertawa kecil kepada kami. Langit tidak menunjukkan gejala akan menumpahkan airnya. Malam ini perfect!
Keasyikan belanja di berbagai toko yang mengelilingi alun-alun membuat kami lupa waktu. Belanjaan kami mulai menumpuk. Baju, aksesoris, buku dan berbagai barang lainnya sudah memenuhi tas-tas kami. Lelah, akhirnya kami duduk di taman alun-alun ini.
"Loh, kok masih disini?" tanya sebuah suara mengagetkan kami.
Pemuda yang tadi kami temui di bus sudah berdiri disampingku. Pakaiannya kali ini berbeda. Dia sudah berganti kostum 'ustadz'. Aku hampir saja tidak mengenalinya.
"Eh, Mas..." Sapaku sopan.
"Tidak jadi ke Situbondonya?" tanyanya lagi.
"Jadi kok, Mas. Kita lagi belanja aja. Lagian masih jam..." aku melirik jam tanganku. Astaga!
"Astaghfirullah! Udah jam sebelas!" seru Sabrina panik.
Melihat kami panik, pemuda itu juga ikut-ikutan panik. Dia kebingungan.
"Ada apa?"
"Mas, hotel atau tempat penginapan disekitar sini, ada nggak?" tanya Sabrina.
"Di dekat sini tidak ada yang seperti itu." Jawab pemuda itu.
Kami berenam saling pandang. Bunga lah yang paling panik diantara kami berenam.
"Aduh, gimana nih?" Bunga mulai lebay. "Kita tersesat!!! Masa kita mau tidur di jalanan? Ayo, dong... bantuin mikir..."
Ratu menimpali, "Clara sih, ngajak ke tempat beginian..."
"Loh, kok aku sih?" Clara tidak mau kalah.
"Tidur dimana nih? Ntar kalau ada yang jahatin, gimana?" Bunga lebay lagi.
Sabrina mulai komat-kamit merapalkan do'a-do'anya. Arin terdiam seperti biasa. Aku sebenarnya cukup khawatir. Tapi aku usahakan untuk setenang mungkin. And as usual, perdebatan lagi.
"Kalian tenang." Seru pemuda itu. "Kalian bermalam di tempatku aja." Usulnya.
Kami terdiam. Ekspresi muka kami curiga. Sepertinya pemuda itu menyadari kecurigaan kami.
"Tidak usah khawatir. Aku tidak jahat. Kalian bisa tinggal di pesantrenku. Dekat kok. Jalan kaki juga bisa."
"Pesantren?" tanya Sabrina girang.
Pemuda itu mengangguk. "Kalian bisa tinggal di pesantren putrinya. Aman kok."
"Mau, mau, mau... ayo, girls." Seru Sabrina semangat.
Kami berlima memelototinya. Dia langsung terdiam.
"Kalau tidak mau, yah tidak apa-apa."
Lama kami berpikir, lalu kesepakatan pun diambil.
"Kita mau deh, Mas. Cuma semalam aja. Besok pagi, kita langsung ke Situbondo. Tapi, di Situbondo ada hotel kan?" kataku mewakili kelima temanku itu.
"Ada." Jawabnya singkat. "Kalau begitu, kita langsung pergi. Namaku Barok."
***
Begitu memasuki komplek pesantren ini, suara-suara orang mengaji sayup-sayup terdengar ditelingaku. Baru kali ini aku masuk ke sebuah pesantren. Ini pun karena terpaksa. Menurutku, pesantren adalah tempat menakutkan. Tempat yang mengekang kebebasan.
KAMU SEDANG MEMBACA
You vs Me
Teen FictionCinta Baginya, cinta itu bullshit, omong kosong belaka. Sampai kapanpun dia nggak akan pernah bisa percaya sama satu kata yang katanya bisa membuat hidup lebih indah itu. Bagaimana dia bisa percaya, kalau Papa dan Mamanya saja suka sekali main seron...