12. Di Taman Katopalangi

10 6 5
                                    

Pohon pinus yang tumbuh rapi mengelilingi taman Katopalangi membuat taman itu sangat sejuk. Ditambah lagi dengan air terjun dan sungai berair jernih. Tidak ada tempat duduk yang disediakan oleh pemerintah di taman itu. Tempat indah itu memang dibiarkan murni begitu saja, tanpa dijamah oleh campur tangan manusia. Semua orang dipersilakan mengunjunginya, bebas.

Kaki gadis-gadis kota itu tak bisa menahan diri utnuk tidak segera menyentuh air yang mengalir jernih itu. Mereka langsung menghambur ke sungai itu dengan riangnya. Joyo duduk santai di pinggir sungai bersama Nisa. Melihat kecerian teman-teman barunya itu, Nisa tersenyum senang.

"Nis..." seru Joko pelan.

Nisa menoleh kearah lelaki tiga puluh tahunan itu. "Ya, Lek?"

"Soal Mas Barok..." Joko tidak melanjutkan kata-katanya.

Senyum di wajah Nisa tiba-tiba lenyap, berganti kesedihan. Dia terdiam. Begitu pun Joko. Dia langsung menyadari kesedihan di wajah Nisa. Dia menyesal telah mengingatkannya pada masalah itu.

"Maaf, Nis. Lek bukannya mau membuatmu sedih..." kata Joko menyesal.

"Tidak apa-apa, Lek." Ucapnya lirih. Matanya memandang lurus kedepan. "Apa lagi yang bisa Nisa lakukan, Lek? Nisa hanya bisa menerima pertunangan ini dengan ikhlas. Nisa tidak mau melihat Ayah dan Ibu bersedih." Air matanya menetes pelan.

Joyo memandang wajah Nisa sedih. Dia tahu, menerima lamaran Barok merupakan dilema bagi Nisa. Diterima, dia tidak mencintai Barok, karena sudah ada orang lain di hatinya. Menolak lamarannya, sama saja dia telah mencoreng nama baik keluarganya. Seorang Kyai kharismatik mendatangi rumahnya untuk melamarnya, lalu dia menolaknya? Itu bukanlah hal yang bijak untuk dilakukan. Apa kata para tetangganya nanti? Bagaimana dengan keluarga Kyai Fathurrahman? Satu-satunya jalan, dia harus mengorbankan hatinya.

"Ya sudah lah, Lek. Lagi pula Bhindhereh Barok adalah pemuda yang sangat baik. Mungkin memang dialah jodoh Nisa..." ujar Nisa akhirnya sembari menghapus air matanya. Senyum kembali menghiasi bibir manisnya.

Joyo mengedarkan pandangannya ke segala arah. Dia harus mengalihkan perhatiannya untuk menghilangkan rasa sedihnya, lebih-lebih kesedihan Nisa.

Sesaat dia belum yakin benar dengan apa yang dilihatnya. Beberapa orang terlihat sedang memasuki lokasi taman Katopalangi. Dia sipitkan matanya, memperhatikan setiap detail tubuh dan wajah orang-orang itu. Tiba-tiba, wajahnya sumringah.

"Tresno!!!" teriaknya.

Cinta dan kelima sahabatnya yang sedari tadi main air, tak ayal menghentikan permainan mereka. Pandangan mereka langsung tertuju pada Joyo, lalu beralih ke orang-orang yang baru tiba disana. Tresno!?

"Wah, Kang? Kebetulan bertemu disini?" sapa Tresno ramah.

Syam dan Zainal yang berada dibelakangnya diam terpana melihat pemandangan di sungai itu. Hati Syam seakan tersiram air sejuk menemukan seseorang yang dipujanya sedang berada tak jauh darinya.

Pandangan Bunga tidak dapat dia palingkan kearah lain melihat pemuda yang membuat tidurnya tidak nyenyak itu. Hatinya terus mengingkari untuk menatap pemuda itu lebih lama lagi. Tapi tetap saja matanya tak bisa dia ajak kompromi. Sialan!

Yang lebih membuat Tresno terkaget-kaget adalah gadis-gadis yang berada didepannya itu. Nisa? Gadis perebut hatinya berada di taman kesukaannya ini? Mungkinkah ini pertanda bahwa mereka berjodoh? Namun, kebahagiaannya langsung surut kala melihat satu gadis yang masih saja dia pikirkan. Bukan karena menyukainya, tapi lebih pada membencinya. Ah, tidak! Dia tidak membencinya. Dia hanya kesal pada gadis kota sombong itu. Cinta...

Rasa jengkelnya perlahan menjalar kembali keseluruh sendi-sendinya bagitu melihat lelaki kampung sombong itu. Entah kenapa Cinta tetap saja merasa kesal melihat Tresno. Tapi, dia juga merasakan rindu pada sosok Tresno yang menyebalkan itu. Setelah berhari-hari tidak bertemu, dia meresa ada setitik rasa senang melihatnya lagi. Sayang, lagi-lagi rasa jengkelnya menang atas rasa rindu itu. Dia segera menepis rasa rindu sialan itu.

"Ngapain loe disini?" tanya Cinta tajam pada Tresno.

Kedua alis Tresno hampir saja bertemu. Kalau saja tidak mengingat bahwa ada Nisa disana, dia pasti akan membalas pertanyaan Cinta dengan jawaban yang tak kalah tajamnya.

"Ini taman milik umum. Jadi siapa saja boleh datang kesini." Jawab Tresno berusaha sebiasa mungkin.

"Kalian sudah saling kenal?" tanya Nisa tiba-tiba.

Mulut Tresno sudah siap-siap untuk menjawab pertanyaan gadis pujaannya itu, tapi urung karena Cinta lebih dulu menjawabnya.

"Tentu aja, Nis. Kita kenal banget sama nih cowok. Ya kan, girls?" ujar Cinta dengan menekankan suaranya pada kata 'benget' tadi.

Lima sahabat Cinta itu mengangguk pelan. Hening. Hanya suara angin dan air yang mengalir terdengar oleh mereka.

***

Sepuluh muda-mudi dan satu lelaki dewasa itu duduk mengelilingi api unggun yang baru saja dibuat. Malam itu, mereka sepakat untuk membuat tenda di taman itu.

"Tumben sekali tidak ada yang berkemah malam ini." Ujar Joyo sambil melihat sekeliling.

"Biasanya banyak ya, Om?" Arin menyahut. Joyo hanya mengangguk pelan.

"Malam bulan purnama begini, biasanya banyak orang-orang yang datang ke taman ini. Mereka biasanya berkemah, Mbak. Tidak tahu kenapa malam ini tidak ada yang berkemah. Aneh!" kata Nisa menjelaskan.

Pikiran Tresno sibuk dengan pertanyaan-pertanyaan yang berputar dikepalanya. Nisa dari Sumber Anyar? Kampungku? Kok aku tidak mengenalnya? Kita kan satu kampung? Syam saja kenal. Kenapa aku tidak? Jadi, Nisa putri Pak Haji Kodir? Setahuku, nama putrinya bukan Nisa, tapi Anis. Tapi aku memang belum pernah bertemu dengannya.

"Mungkin, karena kejadian beberapa bulan lalu disini. Sehingga membuat orang-orang takut untuk berkemah." Ujar Joyo serius.

Bisa juga ternyata orang ini serius, batin Cinta.

"Ada kejadian apa, Om?" Bunga bertanya. Suaranya bergetar, takut.

Joyo menarik napas panjang. Matanya menatap jauh ke atas sana. Bulan yang bersinar dengan indahnya, ditemani oleh bintang-bintang yang sesekali berkedip menggoda sang bulan. Perlahan, Joyo mengalihkan pandangannya. Dia tatap wajah gadis-gadis kota itu satu persatu. Dia pun mulai bercerita. Suaranya pelan. Bahkan hampir sama seperti berbisik.

***

You vs MeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang