21. Kedatangan Mereka

15 5 1
                                    

Hampir satu bulan aku tinggal di desa ini. Entah kenapa, hati ini terasa sangat ringan berada disini. Rasa-rasanya, aku tidak memiliki masalah apapun. Aku juga sudah benar-benar merasa mempunyai keluarga. Orangtua Tresno menganggapku sebagai anaknya sendiri. Mereka memang orangtua yang baik hati. Tidak seperti Mama dan Papaku. Aku benci mereka berdua.

Sayang, kebencianku kepada mereka berdua berangsur-angsur hilang. Bu Ningsih selalu menasihatiku untuk tidak membenci mereka. Walau bagaimana pun, mereka tetaplah orangtuaku. Beliau juga pernah bilang, bahwa surga itu ada dibawah telapak kaki Ibu. Tidak pantas jika seorang anak membenci orangtuanya. Seburuk apapun kelakuan orangtuanya. Selama mereka tidak menyuruh untuk berbuat jahat, maka sebagai seorang anak, kita harus menaatinya. Begitu kata Bu Ningsih kepadaku. Alangkah bahagianya Tresno dan Maisaroh memiliki orangtua seperti mereka.

Hari ke-24 aku berada di rumah Tresno, aku mendapat sebuah kejutan. Sebuah undangan pernikahan!

"Datang ya, Mbak..." kata Nisa pelan. Senyumannya terkembang.

Nisa akan segera menikah dengan Barok? Bukankah dia pernah bercerita kepadaku bahwa dia tidak mencintai Barok?

"Tapi, maaf ya, Nis, kalau aku lancang. Kamu bilang kalau kamu tidak mencintai Barok?" tanyaku memberanikan diri.

Nisa tertunduk. Beberapa saat dia terdiam. Tapi dia pun akhirnya kembali tersenyum.

"Mbak, aku memang belum mencintai Bhindhereh Barok. Tapi aku yakin, aku pasti bisa mencintainya. Mungkin ini sudah takdirku Mbak. Aku harus menjalaninya. Aku harus segera mengubur dalam-dalam cintaku yang dulu." Ujarnya. Dia tetap tersenyum, walaupun aku tahu, hatinya pasti masih perih.

Luar biasa sekali pengorbanan Nisa. Kalau aku jadi Nisa, pasti aku akan melawan habis-habisan perjodohan itu. Cintanya pada Utsman, seorang santri yang juga belajar di pesantren Miftahul Ulum itu, harus dia korbankan. Hati Nisa memang cantik. Lebih cantik dari parasnya.

***

Aku terbangun dari tidurku pada tengah malam. Keringat dingin mengucur dari seluruh tubuhku. Mimpiku benar-benar menyeramkan. Aku langsung menangis tersedu-sedu setelah sadar bahwa itu hanyalah mimpi.

Dalam mimpiku itu, Papa dan Mamaku sedang menuju ke desa ini bersama kelima sahabatku. Tapi di tengah jalan, mobil yang Papa dan Mama tumpangi kecelakaan. Mereka berdua meninggal seketika. Keduanya meninggal dengan tangan saling berpegangan. Aku, entah dari mana, tiba-tiba menghambur mendekati jasad mereka berdua. Tak ada satu patah kata pun yang keluar dari mulutku. Hanya isakan tangis yang terdengar.

Seberapa kuat pun aku membenci mereka, tetap saja aku tidak mau mereka meninggal secepat itu. Aku belum siap jika harus kehilangan mereka berdua. Aku tidak mau mereka meninggalkanku, sebelum sempat aku meminta maaf pada mereka.

Dan mimpi itu berimbas pada keputusan mencengangkan itu. Pagi itu, aku langsung mengutarakan niatku untuk kembali ke Jakarta kepada orangtua Tresno.

"Kenapa, Nak? Kenapa tiba-tiba?" tanya Ibu Tresno sedih.

"Ibu pernah bilang, kalau surga itu ada di telapak kaki Ibu. Dan dengan kerja keras seorang Ayah lah, kita bisa hidup seperti ini. Ya kan, Bu? Saya harus meminta maaf kepada mereka berdua, Bu. Saya takut terlambat." Jelasku pada beliau.

Mereka berdua tidak bisa berkata-kata lagi. Mereka pasrah. Dan hari itu, aku mulai berkemas. Besok pagi, aku akan kembali ke Jakarta. Niatku sudah bulat. Aku akan cium kedua kaki mereka begitu sampai disana. Tuhan, berikanlah kekuatan-Mu kepadaku.

***

Kadang rencana manusia memang tak selalu sejalan dengan rencana-Nya. Pagi itu, sebuah kejutan datang lagi menghampiriku. Aku sampai tercengang melihat kedatangan mereka. Di depanku sudah berdiri tegak dan dengan mata berkaca-kaca. Tresno, dan kelima sahabat terbaikku.

Arin, Bunga, Clara, Sabrina dan Ratu langsung memelukku. Air mata mereka tumpah sudah. Begitu pun air mataku. Aku sangat merindukan mereka. Rasa bersalahku kepada mereka semakin menjadi-jadi saat Bunga mengatakan,

"Tega banget kamu, Ta... nggak ngasih kabar hampir sebulan. Kita bingung nyari kamu kemana-mana..."

"Maaf... aku benar-benar menyesal. Aku kalut saat itu. Maafin aku, ya..."

Dan Tresno ingin memelukku. Tapi Ayahnya mendehem pelan. Dia urung memelukku. Kami berdua hanya bisa saling menatap dengan penuh kerinduan.

Rencana kepulanganku terpaksa harus dibatalkan. Pagi itu merupakan pagi pelepasan rinduku kepada kelima sahabatku dan tentu saja, kekasihku tercinta, Tresno.

"Maaf, Pak, Bu... saya tidak berhasil..." ujar Tresno lirih.

Aku langsung menoleh ke arahnya. Dia kelihatan sangat menyesal. Seakan-akan tugas penting dari orangtuanya tidak dapat dia penuhi. Dia tertunduk lesu. Ayahnya menepuk pundaknya pelan. Ibunya menangis lirih.

"Tidak apa-apa, Tres. Kamu sudah berusaha." Kata Pak Ridwan tenang.

Apakah ini menyangkut saudara kembar Tresno itu? Banyak yang ingin kutanyakan kepada gadis-gadis di depanku ini. Mereka kelihatannya juga tidak sabar ingin segera bercerita.

Mereka pasti akan terkejut mendengar bahwa Tresno memiliki saudara kembar di Jakarta. Atau jangan-jangan, mereka sudah tahu. Bagaimana mereka bisa bertemu Tresno? Aku harus segera bertanya kepada mereka. Dan mereka harus menjawabnya.

"Papa sama Mama loe khawatir banget sama loe, Ta..." kata Arin tiba-tiba.

Hah? Papa dan Mama khawatir? Mereka berdua mengkhawatirkanku? Telingaku tidak salah dengar kan? Apakah mereka berdua sudah berubah? Secepat itu?

***

You vs MeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang