Tuhan seakan-akan menjawab keinginanku. Keesokan paginya, saat aku, Zainal dan Syam berjalan santai di depan pesantren yang asri dan rindang ini, gadis-gadis kota itu bertemu lagi denganku. Ini dia saat pembalasan!
"Ada apa, Cak?" tanya Zainal kepadaku. "Kenapa berhenti?"
"Mereka gadis-gadis yang kuceritakan tadi malam." Jawabku tanpa mengalihkan pandanganku kepada gadis-gadis kota menyebalkan didepan.
Syam berdiri mematung ditempatnya. Zainal juga ikut-ikutan mematung. Kulangkahkan kaki mendekati mereka. Enam gadis kota yang cantik-cantik itu berjalan beriringan mendekat. Jarak antara kami sudah satu meter sekarang. Kerudung yang terpasang seadanya dikepala mereka perlahan-lahan meringsut kebawah diterpa angin pagi. Hanya satu yang memakai jilbab, si alim itu.
Empat gadis kota itu berjalan melewatiku. Kualihkan mataku pada mereka. Empat gadis, termasuk si alim berjilbab itu mendekati Syam dan Zainal. Mau mereka apakan kedua temanku itu?
"Heh, cowok sombong!"
Aku sampai terlonjak mendengarkan sergahan si cantik.
"Kamu sebut aku apa?"
"Loe beneran budeg, ya? Gue bilang: heh, cowok sombong!" ulang si cantik tajam. Wah, lidahnya benar-benar harus diberi pelajaran ekstra agar bisa sedikit terkontrol.
Mataku dan matanya saling bersitatap sekian detik. Kemarahan yang kami berdua rasakan sepertinya sama tingginya. Mata gadis itu merah menahan emosi. Aku tidak bahkan melirik si sangar disamping si cantik ini. Si sangar hanya diam tak bersuara.
"Kamu tidak pernah diajarkan sopan santun ya? Kurang ajar sekali kamu ini..." kecamku pada si cantik tajam. Bahkan aku sengaja menekan suaraku diakhir kalimat.
"Apa loe bilang? Kurang ajar? Brengsek banget sih, loe! Loe duluan yang nyari gara-gara. Dasar orang kampung norak, nggak tahu diri, sombong!" Katanya dengan emosi membludak.
"Kamu yang kampungan norak, tidak tahu diri, sombong!" balasku tak kalah emosinya. Aku tidak peduli lagi dengan orang-orang yang lalu lalang melewati jalanan asri ini. Pikiranku terfokus pada gadis kota cantik sombong ini. Entah apa yang empat gadis lainnya kepada Zainal dan Syam.
"Udah, udah..." kata si sangar setengah berteriak. "Cinta, tahan emosi loe! Loe lupa sama apa yang udah kita omongin tadi malam?" lanjutnya kepada si cantik yang dipanggil Cinta itu. Entah itu namanya atau bukan. Aku tidak peduli.
"Arin... loe dengar sendiri kan apa kata cowok kampung ini!"
"Gue denger. Gue belum budeg. Tapi, Cinta... kita udah sepakat kan tadi malam?" si sangar bernama Arin ini kelihatan kesal dengan sikap Cinta yang keras kepala.
Cinta kemudian terdiam menahan emosi yang belum terpuaskan. Arin menghela napas. Dia alihkan pandangan mata tajamnya padaku.
"Loe...! yang loe mau apa sekarang?"
"Aku?" kataku belik bertanya. Aku kurang paham dengan pertanyaan Arin ini.
"Ya. Loe!"
"Aku tidak menginginkan apa-apa! Aku hanya ingin permasalahan ini cepat selesai. Dan gadis ini ..."
"Cinta! Namanya Cinta!" sela Arin cepat.
"Yah, siapa lah namanya. Aku mau dia minta maaf padaku. Itu saja!"
Cinta ternganga tak percaya. "What? Minta maaf? Ke loe? Apa nggak kebalik tuh?"
"Nggak! Kenapa? Tidak mau?"
"Loe dengar sendiri kan, Rin? Cowok ini benar-benar brengsek!" ujar Cinta sinis pada Arin. Matanya mengharap pembelaan dari Arin.
"Kalau kamu tidak mau meminta maaf, permusuhan ini akan terus berlanjut. Sampai kapanpun!"
"Gue nggak peduli. Sampai mati juga oke!"
Syam dan Zainal mendekatiku. Bersama empat gadis teman Cinta dan Arin, mereka datang dengan sumringah.
"Sudah, Tres. Seperti yang aku bilang, ini semua hanya salah paham!" kata Syam tenang.
"Ya, Mas Tres. Kami minta maaf soal kejadian tadi malam." Kata gadis berjilbab itu kepadaku.
Salah paham apaan... Untuk yang tadi malam mungkin itu memang salah paham. Tapi untuk yang baru saja terjadi, sama sekali bukan salah paham. Cinta dengan terang-terangan mengibarkan bendera perang kepadaku. Dasar gadis kota sombong sialan. Umpatku dalam hati.
"Kenalin, Mas." Gadis berjilbab itu mengenalkan teman-temannya satu persatu.
Gadis yang paling cantik itu namanya Ratu. Yang memakai celana jeans dan hem kotak-kotak namanya Clara. Seperti dugaanku, yang tadi malam ribut dengan Syam namanya Bunga. Gadis berjilbab itu sendiri namanya Sabrina.
"Kalau Arin sama Cinta udah tahu, dong?" kali ini Ratu yang angkat bicara.
Bunga menghirup napas lega. "Akhirnya, semua selesai dengan damai."
"Damai? Tidak! Kita belum bisa damai. Sebelum gadis kota sombong ini meminta maaf padaku!" kataku tak terima dengan perkataan bunga tadi. Masalah ini belum selesai.
"Tuh kan, apa gue bilang? Cowok ini nggak ada baik-baiknya, girls!" Cinta langsung bereaksi mendengarkan kata-kataku. "Sampai kapanpun, gue nggak bakalan minta maaf ke loe, sebelum loe minta maaf ke gue sambil sujud!"
Dalam, tajam, tinggi. Kata-kata itu berlalu cepat ditelingaku. Cinta langsung pergi meninggalkan jalanan yang mulai panas ini. Bunga, Ratu, Clara dan Sabrina menatap Arin. Dengan mengangkat bahu menandakan tidak tahu, Arin lalu mengejar Cinta. Empat gadis kota ini saling pandang tak mengerti.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
You vs Me
Teen FictionCinta Baginya, cinta itu bullshit, omong kosong belaka. Sampai kapanpun dia nggak akan pernah bisa percaya sama satu kata yang katanya bisa membuat hidup lebih indah itu. Bagaimana dia bisa percaya, kalau Papa dan Mamanya saja suka sekali main seron...