22. Dua Tresno?

6 3 1
                                    


Tresno PoV


Kepalaku pusing mendengar kenyataan ini. Aku mempunyai saudara kembar? Bahkan Bapak dan Ibu tidak pernah menceritakannya kepadaku. Selama ini mereka merahasiakannya dariku, selama dua puluh dua tahun? Dan saudaraku itu masih hidup. Ada di Jakarta pula.

Tanpa berpikir panjang lagi, aku langsung memutuskan untuk menyusul ke Jakarta. Ditemani oleh Syam, Zainal, Lek Maimunah dan suaminya, kami pun berangkat ke Jakarta mengendarai mobil suami Lek Maimunah ini.

Aku tak sabar untuk segera bertemu saudara kembarku itu. Seperti apa dia?

Secercah kebahagiaan juga masuk perlahan ke relung hatiku. Bukankah Cinta ada di Jakarta? Kesibukanku memperbaiki rumah membuatku lupa untuk berkirim surat kepadanya. Semoga saja dia tidak marah. Begitu sampai di Jakarta, aku akan segera mendatangi rumahnya. Untung aku meminta alamat rumah Cinta kepada Ratu sebelum mereka pulang dulu.

***

Yang pertama kali aku lakukan begitu sampai di Jakarta keesokan harinya, aku langsung mendatangi rumah saudara kembarku itu. Ditemani oleh Syam, Zainal, Lek Maimunah dan suaminya, kami mendatangi rumah besar berlantai dua itu.

Tahu apa yang kurasakan saat pertama kali bertemu saudara kembarku itu? Aku kaget dan takjub. Dia benar-benar mirip denganku. Dia kelihatan tidak terkejut melihatku. Dia lalu mempersilakan kami masuk.

Dia mengajakku ke lantai atas. Sesampainya di sebuah kamar, yang kuyakin adalah kamarnya, dia menyuruhku untuk masuk. Disana, dia langsung berbicara blak-blakan.

"Gue tahu kedatangan loe kesini. Gue juga udah tahu, kalau loe adalah saudara kembar gue. Ya, gue udah tahu semuanya. Nyokap-bokap gue udah cerita lama sekali tentang gue yang sebenarnya. Gue bukan anak mereka. Gue hanyalah anak kampung yang mereka beli dari seorang bapak-bapak.

"Awalnya gue emang nggak terima semua kenyataan itu. Tapi gue akhirnya sadar, mereka lah orangtua gue sekarang. Mereka yang udah ngasih makan gue selama bertahun-tahun. Gue nggak mau ninggalin mereka terus ikut loe. Sorry, kalau gue terlalu berterus-terang. Tapi inilah kenyataannya. Gue akan tetap hidup disini."

Aku tercekat mendengar penuturannya. Apa dia tidak mau bertemu orangtua kandungnya? Apa dia tidak merindukan saudara kembarnya ini? Tidak merindukanku?

"Aku tidak mau memaksa kamu untuk ikut bersamaku lalu hidup di kampung. Tidak! Aku hanya ingin bertemu denganmu dan menyampaikan salam Bapak dan Ibu. Mereka berdua sangat merindukanmu. Andaikan kamu mau menemui mereka barang sehari dua hari..."

Dia hanya terdiam mendengar kata-kataku. Hening lama sekali.

"Loe tahu, gue sangat merindukan orangtua kandung gue, dan tentu aja, loe. Gue pengen banget hidup bersama kalian. Tapi gue nggak bisa ninggalin orangtua gue sekarang. Mereka terlalu baik ke gue. Bertahun-tahun, gue tinggal bersama mereka. Awalnya di London lalu pindah kesini. Gue udah sayang banget sama mereka. Gue minta maaf, gue nggak bisa ikut sama loe.

"Nyokap gue pernah bilang, gue nggak apa-apa kalau mau ninggalin mereka terus hidup sama keluarga asli gue. Tapi gue nggak mau. Karena gue tahu, mereka sayang banget sama gue.

"Sekali lagi, gue minta maaf. Sampaikan salam sayang gue ke mereka. Suatu saat nanti, gue pasti akan mengunjungi mereka. Entah kapan itu."

Apa yang bisa aku lakukan lagi? Dia sudah mantap dengan pilihannya. Ini bukan lagi soal jual-beli anak. Tapi ini adalah tentang pilihan. Dan saudara kembarku ini sudah menentukan pilihannya.

"Pantes aja, beberapa hari lalu ada yang manggil gue dengan nama Tresno. Mungkin mereka kenal sama loe. Soalnya mereka yakin banget kalau gue ini Tresno. Padahal udah gue bilang kalau nama gue Dafa, bukan Tresno."

Aku terkejut. "Siapa? Maksudku, siapa yang memanggilmu dengan nama Tresno? Perempuan? Berapa orang?"

Dia menjawab dengan santai, "Ya, cewek. Kalau nggak salah, lima orang. Salah satu dari mereka memakai jilbab. Mereka cantik-cantik. Loe kenal?"

Aku mengangguk. Hatiku sangat yakin, kalau mereka adalah gadis-gadis kota yang kukenal di pesantren dulu. Tapi kenapa hanya lima orang?

"Kamu tahu, dimana mereka tinggal?" tanyaku penasaran.

Dafa menggelengkan kepalanya. "Tapi kalau loe mau bertemu mereka, mungkin mereka akan datang ke kampus gue. Kayaknya mereka penasaran sama gue. Coba deh, besok loe ikut gue ke kampus. Loe tinggal di Jakarta dimana? Sama siapa? Gimana kalau tinggal di rumah gue aja?"

Tanpa pikir panjang, aku langsung menyetujui usulannya. Lagi pula, aku ingin sekali mengenal saudara kembarku ini. Dia sangat terbuka dan ramah. Kelihatannya, Dafa pemuda baik.

***

Syam, Zainal, Lek Maimunah dan Lek Darmanto (suami Lek Maimunah) mengerti akan keputusan Dafa. Mereka membiarkanku untuk tinggal bersama Dafa selama beberapa hari. Akhirnya, mereka pun pulang. Aku sampaikan kepada Syam dan Zainal kalau aku akan menemui Cinta dan sahabat-sahabatnya. Mereka berdua terlonjak gembira. Apalagi Syam. Senyumnya merekah.

"Kalau sudah bertemu, kabari aku ya, Tres..." katanya senang.

"Pasti..."

Dan seperti yang Dafa bilang, keesokan harinya, aku ikut ke kampusnya. Gairahku untuk belajar kambuh lagi. Ingin sekali aku kuliah. Lek Maimunah juga sudah bersedia untuk membiayai kuliahku sampai lulus. Biar bisa menemani Zainal, katanya. Tapi aku tidak mau. Bukan tanpa alasan aku menolak tawaran itu. Bagaimana dengan Bapak dan Ibu di kampung sana? Mereka hanya akan ditemani oleh Maisaroh. Aku tidak tega jika harus meninggalkan mereka.

Pak Subroto Wijaya dan Bu Melissa Wijaya sangat baik, seperti kata Dafa. Pak Subroto adalah seorang lelaki paruh baya yang tampan. Kumis tipisnya menambah ketampanannya. Sedangkan Bu Melissa adalah perempuan keturunan Inggris. Pantas saja, Dafa sejak kecil tinggal di London.

Mereka memang orangtua yang baik. Bu Melissa mandul, jadi tidak bisa memberikan anak kepada Pak Subroto. Dengan keberadaanku di rumah itu, mereka sangat senang, katanya. Apalagi aku dan Dafa kembar. Mereka jadi merasa mempunyai dua anak.

Mereka berdua menawarkanku untuk tinggal bersama mereka. Semua fasilitas yang hanya bisa kumimpikan akan mereka sediakan. Mobil, motor, laptop, apapun yang kuinginkan akan mereka penuhi. Tapi, aku menolaknya secara halus. Aku sampaikan kepada mereka bahwa aku tidak bisa meninggalkan kedua orangtuaku di kampung.

Baiklah, kembali lagi ke kampus Dafa.

Andaikata aku melupakan kedua orangtuaku di kampung, sudah pasti aku akan kuliah disini, Institute Kesenian Jakarta. Entah kenapa, kesukaan aku dan Dafa sama. Kami sama-sama tertarik pada seni. Mungkin karena kami kembar ya. Lihat saja kedua keponakanku, Alfan dan Alfin. Mereka berdua sangat sama. Baik sifat maupun kesukaannya.

Teman-teman Dafa terkejut melihatku. Tak habis-habisnya mereka menanyakan siapa aku kepada Dafa. Saudara kembarku itu hanya menjawab dengan tenang bahwa aku ini adalah saudara kembarnya.

"Kok nggak bilang-bilang, Daf, kalau loe punya saudara kembar? Tahu gitu, gue nggak perlu ngejar-ngejar loe yang udah jelas-jelas pacaran sama Marsya. Gue ngejar cinta saudara kembar loe aja kalau gitu. Habis, dia mirip banget sama loe..." kata seorang gadis bercanda.

"Kenalin, Tres, ini namanya Selena. Dia teman baik gue." Ucap Dafa santai memperkenalkan gadis cantik dengan rambut dipotong seperti lelaki itu.

"Hai, gue Selena." Sapa gadis itu ramah.

Aku ingin kuliah. Sangat ingin. Aku ingin belajar lagi.

***

You vs MeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang