20. Kisah Zainal

8 5 0
                                    

CINTA PoV 


Dinginnya udara pegunungan tak menyurutkan semangatku untuk segera sampai di desa Sumber Anyar, rumah Tresno. Sebentar lagi, aku akan sampai disana. Aku tidak takut untuk jalan kaki sendirian nantinya untuk sampai ke desa itu. Saat ini, aku masih berada di atas motor, bersama seorang abang ojek.

Aku tinggalkan koperku di kamar Nisa, di pesantren. Sebelum langsung ke rumah Tresno, aku titipkan koperku itu pada Nisa. Aku hanya membawa sedikit saja pakaian dan barang-barang yang kuperlukan selama berada disana.

Gamang juga hatiku jika memikirkan akan tinggal di rumah Tresno. Orangtuanya memang baik. Sangat baik, malah. Tapi walau bagaimanapun, aku tetaplah orang asing bagi mereka. Aku mengenal mereka hanya beberapa hari. Itu pun sudah berbulan-bulan yang lalu. Entah mereka masih mengenalku atau tidak.

Begitu kakiku memasuki gapura desa, hatiku semakin deg-degan tak keruan. Berbagai spekulasi berputar-putar di kepalaku. Mereka masih mengingatku atau tidak? Mereka masih akan baik padaku atau tidak? Mereka akan menerimaku atau tidak? Aduh, pusing pokoknya.

Rumah Tresno sudah lebih bagus dari sembilan bulan yang lalu. Renovasi terjadi disana-sini. Rumah itu sudah semakin bagus saja. Warna catnya pun sudah berubah. Semula berwarna putih, sekarang sudah berwarna biru langit. Lantainya juga sudah bukan tanah lagi, melainkan keramik berwarna hijau tua. Bagaimana bisa Tresno merenovasi rumahnya menjadi seperti ini? Pasti membutuhkan uang yang tak sedikit. Apakah tidak lebih baik dia gunakan untuk kuliah saja daripada merenovasi rumahnya?

Yang pertama kali melihatku adalah Maisaroh. Dia girang sekali melihatku. Dia memanggil-manggil namaku sampai histeris. Dengan sambutan Maisaroh yang hangat itu, rasa nervousku tidak seperti tadi. Apalagi sambutan orangtua Tresno. Sama sekali tidak berubah kepadaku. Bu Ningsih bahkan memelukku erat.

Salam sungkem aku haturkan kepada Pak Ridwan. Beliau kelihatan lebih tua sekarang. Tapi kebahagiaan tetap terpancar dari raut wajah lelaki paruh baya ini. Bahkan kelihatan lebih cerah raut kebahagiaannya. Sepertinya keluarga ini juga merindukanku. Bukan bemaksud sok pede, tapi memang begitulah kenyataannya. Mereka semua tampak gembira bertemu denganku.

"Tresno ada Bu?" hanya lelaki yang berhasil membuatku jatuh cinta itu yang belum kelihatan batang hidungnya. Kemana dia?

Bu Ningsih terdiam. Dia sepertinya ingin menceritakan sesuatu. Namun, Pak Ridwan segera angkat bicara.

"Lebih baik, Nak Cinta masuk dulu. Pasti lelah kan setelah melakukan perjalanan jauh dari Jakarta?" kata beliau ramah.

Suasana di dalam rumah ini sudah lebih bagus dari sembilan bulan lalu. Sofa dan meja sudah tertata indah di bagian kanan ruang depan ini. Beberapa lemari berjejer rapi di sebelah kiri, lengkap dengan perabotan-perabotannya. Televisi 21 inc juga sudah bertengger manis di samping lemari-lemari itu. Rumah ini sudah sangat berbeda.

Beberapa saat kemudian, Maisaroh mengajakku untuk ke dapur. "Makan dulu yuk, Mbak..." ajaknya manis.

Aku menurut saja. Kompor gas, kulkas, kamar mandi dan meja makan sudah tersedia di dapur tempat aku memasak dulu ini. Aku jadi semakin heran, bagaimana bisa mereka jadi kaya mendadak? Menang lotere sudah tidak mungkin terpikirkan olehku. Mereka penganut agama yang taat. Apa yang bisa membuat mereka berubah sedrastis ini? Hasil panen sawah yang baguskah? Rasanya juga tidak mungkin. Sawah mereka tidak terlalu luas. Lalu apa???

"Banyak yang mau aku ceritakan kepada Mbak Cinta. Setelah selesai makan, aku akan cerita." Kata Maisaroh yang menemaniku makan. Ayah dan Ibunya entah berada dimana.

You vs MeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang