Tresno PoV
"Kita putus saja, ya." Kataku santai kepada gadis di depanku ini.
Satu tamparan mendarat di pipiku. Aku biasa saja. Yang seperti ini sudah biasa aku alami. Aku saja tidak tahu lagi, kata putus ke berapa kalinya ini. Aku bukanlah playboy. Aku tidak pernah mempunyai maksud untuk mempermainkan hati gadis-gadis yang kupacari. Hanya saja, untuk saat ini, atau selama ini, belum ada gadis yang bisa membuat duniaku ini berwarna.
Namaku Tresno. Kampungan sekali, ya? Memang kampungan. Cocok sekali dengan tempat tinggalku ini, kampung. Bukan sembarang kampung, tapi kampung yang luar biasa kampung. Kenapa begitu? Cukup sederhana saja, kampungku masih 'perawan', belum terjamah oleh kegagahan modernisasi. Tidak ada apa-apa disini. Handphone saja tidak ada. Bukannya tidak bisa membelinya, tapi karena tidak ada sinyal. Apalagi internet. Jangan mimpi deh!
Satu-satunya hiburan dikampungku ini adalah sebuah kotak ajaib yang di dalamnya bisa menampilkan gambar-gambar hidup. Televisi! Itupun tidak semua orang bisa memilikinya. Hanya orang-orang kaya saja. Aku? Keluargaku bukan termasuk orang yang kaya sehingga bisa membeli sebuah TV.
Aku dilahirkan dalam keluarga yang sederhana. Anak kedua dari tiga bersaudara. Kakakku namanya Herman. Dia sudah berkeluarga. Sekarang dia tinggal bersama istrinya di Besuki. Sebuah desa yang berjarak berpuluh-puluh kilo meter dari kampungku ini. Sedangkan adikku, Maisaroh, masih duduk di bangku SMP.
Satu yang membuatku bangga bertempat tinggal disini, kampungku adalah satu-satunya kampung di daerah pegunungan Putri (nama pegunungan) yang sudah memiliki lembaga pendidikan formal. Mulai dari TK sampai SMA. Semuanya sudah ada. Walaupun dengan sarana dan prasarana yang sangat sederhana. Makanya, aku bisa mengantongi ijazah SMA.
Aku percaya, bahwa pendidikan adalah kunci untuk meraih kesuksesan. Saat SMA dulu, aku terbilang siswa yang cemerlang. Nilai-nilaiku sangat memuaskan. Hampir seluruh guruku dan teman-temanku menyukaiku. Selain pintar, aku juga termasuk siswa yang jarang bersentuhan dengan masalah. Apalagi tampangku yang kata teman-temanku tidak cocok menjadi orang kampung. Lebih pantas jadi orang kota. Yah, untuk satu ini, aku setuju dengan mereka.
Sudah dua tahun aku lulus dari SMA-ku. Umurku sekarang 21 tahun. Setelah tamat SMA, aku tidak bisa melanjutkan pendidikanku ke tingkat yang lebih tinggi. Biasa, keterbatasan ekonomi. Akhirnya, aku hanya bisa bantu-bantu ayah disawah.
Jika kamu menonton sebuah film atau sinetron yang menggambarkan tentang pemuda dan pemudi desa yang cupu dan kurang gaul, aku rasa hal itu terlalu berlebihan. Aku tidak melihatnya begitu. Setidaknya di kampungku ini. Aku tidak setuju jika dalam sebuah film diceritakan, orang-orang kota selalu merendahkan orang kampung karena mereka kurang gaul atau apalah namanya. Itu tidak benar sama sekali.
Orang kampung juga bisa seperti orang kota. Bahkan mereka bisa melebihi orang-orang kota itu. Sayangnya, belum ada orang kota yang pernah menginjakkan kakinya di kampungku ini. Pejabat pemerintah daerah saja ogah menjamah kampungku atau kampung-kampung di daerah pegunungan Putri ini.
He'em, kita kembali ke masalah tamparan tadi. Nama gadis ini Juhairia. Dia mungkin pacarku yang ke dua puluh atau dua puluh satu. Aku tidak tahu. Dia sangat marah saat aku memutuskan hubungan dengannya. Wajar sih, hubunganku dengannya sudah berjalan selama tiga bulan. Juhairia yang paling lama waktu pacarannya denganku. Yang lain biasanya hanya bertahan satu bulan, tiga minggu atau bahkan tiga hari. Tidak tahu kenapa, aku cepat bosan dengan mereka. Semua sama saja. Biasa-biasa saja. Tidak ada yang istimewa.
Bersama Juhairia, aku sudah mulai memikirkan untuk melanjutkannya ke tahap pertunangan. Tapi semenjak dia mulai mengatur-ngatur hidupku, aku urungkan niatan baikku itu. Aku tidak suka diatur-atur. Yang boleh mengaturku hanyalah; orangtua, guru dan hati.
KAMU SEDANG MEMBACA
You vs Me
Teen FictionCinta Baginya, cinta itu bullshit, omong kosong belaka. Sampai kapanpun dia nggak akan pernah bisa percaya sama satu kata yang katanya bisa membuat hidup lebih indah itu. Bagaimana dia bisa percaya, kalau Papa dan Mamanya saja suka sekali main seron...