twenty three

4.9K 569 110
                                    

Seharian, Jiseo hanya ingin bersama dengan Jimin. Bahkan ia rela datang ke rumah sakit sebelum jam besuk. Hari ini, Jimin akan menjalani operasi pengangkatan sel berbahaya yang tumbuh tidak wajar di paru-parunya. Sel tersebut mengganggu sistem pernafasan Jimin dan harus segera diangkat.

"Jiminie?"

Jimin mendongak mendengar namanya dipanggil. Ia tersenyum lebar kala kaki gadis itu melangkah mendekatinya.

"Biar aku saja," katanya sembari mengambil alih makanan yang baru saja perawat berikan pada Jimin.

"Noona, ini masih sangat pagi—"

"Iya, bahkan ayah belum bangun," potongnya.

Jimin meminta gadis itu meletakkan makanannya di meja kemudian memintanya untuk memeluk tubuhnya. Jimin takut, sungguh. Walaupun sebelumnya ia sudah pernah melakukan operasi, tapi operasi sekarang baginya berbeda. Sebelumnya, dokter hanya membuang cairan yang merendam paru-parunya saja tapi sekarang—

"Ada apa?"

"Apakah noona akan menungguku nanti?" tanya Jimin.

"Tentu saja, aku akan disini menemanimu. Kau tidak perlu cemas,"

Tangan Jimin meremas kuat kemeja besar merah coklat yang gadis itu kenakan.

"Aku akan kuat jika ada noona disini," kata Jimin.

Jiseo, ia mengusap sayang surai hitam Jimin. Ia tau adiknya benar-benar takut sekarang. Namun, ia juga tidak bisa berbohong jika ia juga sebenarnya cukup takut akan terjadi sesuatu yang buruk pada Jimin. Tapi sebisa mungkin Jiseo juga harus tenang. Ayah mereka bilang, jika salah satu tiang tidak mampu menguatkan, sebuah bangunan tidak akan berdiri. Seperti itulah yang sekarang harus Jiseo lakukan agar adiknya percaya bahwa ia pasti bisa melakukannya.

"Ayo sekarang makan sarapanmu," ujar Jiseo.

"Mmm!"

Jimin mengangguk antusias. Ia menerima makanan yang Jiseo berikan kemudian memakannya dengan lahap. Ia bahkan sesekali tersenyum saat mulutnya penuh dengan makanan. Pipinya terlihat gemuk dan siapapun pasti akan mengatakan bahwa anak ini sangat menggemaskan.

Makanan itu habis seperempat setelah Jimin merasa sudah cukup. Ia memberikannya kembali ke Jiseo untuk gadis itu singkirkan bersama nampannya. Jimin lantas mengambil air putih diatas meja. Ditelannya beberapa obat yang sudah perawat siapkan saat mengantarkan sarapan tadi. Jimin tidak protes, ia bahkan tidak membuang apapun. Mulutnya tidak menggerutu dan mengeluh mengapa obat itu sangat pahit walaupun keningnya terlihat berkerut ketika menelannya.

"Jiminie?"

Jiseo kasihan melihat Jimin yang seperti itu. Namun, anak itu bersikap seolah-olah tidak terjadi apa-apa. Ia bahkan menarik pakaian Jiseo dan mengajaknya bermain padahal ia harus istirahat untuk operasi siang ini. Jimin tertawa lepas saat Jiseo menanggapi ajakan bermain batu gunting kertas. Jiseo sadar, sedari tadi Jimin terus meremas piyamanya. Ia tau adiknya kesakitan, tapi setiap Jiseo ingin menanyakannya, Jimin selalu saja memotong pembicaraan.

"Ya! kau curang," kata Jiseo setelah Jimin menyentil keningnya.

Lagi-lagi, anak itu hanya tertawa.

"Mengapa kau tertawa terus menerus, apakah aku terlihat aneh?" tanya Jiseo.

"Tidak, noona bahkan sangat cantik hari ini," jawab Jimin.

"Lantas?"

"Tidak ada, aku hanya senang sekarang noona terus berada disampingku," ujarnya.

Jiseo mengusap pipi Jimin lembut. Ia menatap mata hazel Jimin yang begitu menawan. Iris itulah yang selalu mengingatkan Jiseo akan sang ibu, sementara dirinya memiliki iris hitam serupa dengan Yoongi.

안아줘 [Hug Me] × Jimin [√]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang