PBM #2

1.3K 100 8
                                    

Sepuluh menit saja berjalan kaki, kami telah sampai di tujuan. Rupanya, warung itu belum terlalu ramai. Tom yang sore itu mengenakan kaus polo biru cerah----satu kancing dibuka, satu dikaitkan----memesankan makanan untukku. Kalau dipikir-pikir, setiap kami makan di luar, dia tidak pernah repot-repot bertanya aku mau makan apa. Gestur yang dulu kuanggap macho, now I am not even sure if he did that out of care.

Makanan datang. Dia berbicara. Sementara aku... berusaha mati-matian tidak linglung setiap matanya memandangku.

"Lalu, salahnya di mana?" celetuk Zed.

"Everything, Zed," keluhku dengan bahu melorot. "Kalau dipikir-pikir, sebenarnya dari awal alam semesta sudah memberi gue kode, pertanda hari ini akan jadi bencana. Gue aja yang terlalu buta untuk melihat. Misalnya, jins gue kecipratan genangan air yang dilibas bajaj kesetanan. Mata gue kelilipan pasir waktu jalan sama Tom. Tangan gue nyenggol sup kambing sampai tumpah ke mana-mana. Lalu, yang paling parah... puncaknya... Tom...," aku menelan ludah, "...nolak gue."

"Lo nanya ke dia?" sambar Zed sambil menjulurkan kepala ke sampingku. Matanya melebar.

"I know, I know. It's stupid. Tapi setahun, Zed! Oh, lebih! Setahun lebih gue dan dia terlibat hubungan nggak jelas. Itu kan... itu kan..."

"...pemerasan emosi," sambung Zed setengah bersungut sambil menarik kembali kepalanya.

Aku tahu anak ini tak menyukai Tom bahkan sejak namanya meluncur perdana dalam ceritaku. Bedanya, dulu dia sudi menahan diri untuk tidak berkomentar pedas. Hari ini, terapis karbitan kita ini baper banget.

"Terus, terus? Gue pengin dengar gimana tragisnya penolakan dia," katanya nyaris tanpa simpati.

Setelah sup kambing sukses tumpah, sepertinya bukan hanya aku yang menyadari kecanggungan di antara kami.

"Kenapa, sih, Vir?" tanya Tom sambil menatapku yang masih sibuk menarik seratus lembar tisu untuk membersihkan tumpahan. "Kok tumben banget hari ini kamu ajaib?"

Sepertinya, waktu itu senyumku lebih mirip ringisan.

"Nggak tahu," jawabku.

"Kamu ini..." Dia menyentuh bingkai kacamatanya sebelum memandangku lekat-lekat. "Baru diajak makan ke sini masa grogi. Gimana kalau kuajak ke restoran ber-chandelier, coba?" guraunya, tersenyum.

Kamu pernah mengalami situasi now or never? Ketika hidup menggiring sebuah momen untuk membuat keputusan besar ke hadapanmu, tetapi kamu juga sadar begitu keputusan itu diambil, tidak akan ada jalan kembali ke titik awal? Nah, itu yang kurasakan ketika mataku dan Tom saling mengunci. Sepertinya, Tom juga menyadarinya. Aku ingat betul senyumnya pupus beberapa detik sebelum rentetan pertanyaan ditembakkan mulutku.

"Kapan, Tom? Kapan kamu mau ajak aku nge-date sungguhan? Kapan aku bisa jawab pertanyaan orang-orang dengan 'ya, kami pacaran'?"

Sunyi. Mendadak tatapannya beralih ke taplak meja di samping tangannya. Ekspresi jenakanya hilang. Tembakanku jitu mengenai sasaran. Sayangnya, bukan ini reaksi yang kuharapkan.

"Kamu... kamu kan tahu perasaanku," lanjutku, mulai gentar.

Tatapannya bergeming. Sunyi yang kedua ini lebih memekakkan.

"Mampus! Serius dia nggak bereaksi apa-apa?" Zed menepuk bahuku keras sambil melompat ke sampingku dengan mata berkilat.

"Oh, dia bereaksi, kok. Macam tanaman kurang air. Pelan-pelan layu, ciut, lalu mati kering. Bayangin seluruh proses itu di-fast forward... Nah Tom kayak gitu," sahutku dengan wajah ditekuk. Sial, Zed malah terbahak-bahak.

PERKARA BULU MATA - Nina AddisonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang