Perlahan, Zed mengenakan kembali scarf.
"Ah, iya! Gue ada sesuatu buat lo," ujarku riang, tidak mau suasana sendu ini berlarut. "Ini dia!" Kedua mata Zed langsung melotot melihat selembar gulungan kertas di tanganku. Tanpa dibuka pun, dia langsung tahu apa isinya.
"Oh my God. Oh my GOD. JC!!! OH MY GOOOOOOOOOOOOD!!!"
Setelah sukses menulikan kedua telingaku, dia langsung merampas gulungan itu dan membukanya lebar-lebar. Gambar JC----artis yang sedang naik daun itu----terpampang besar-besar di sana. Duduk di bangku kayu sambil menyandarkan tangan dan dagu di gitar kesayangan. Pose klise. Sayangnya, yang satu ini tidak ada senyuman, hanya wajah datar seolah menantang dengan pandangan tajam ke kamera. Bukan seleraku, tapi tampaknya lebih dari setengah penduduk perempuan di negara ini, termasuk Zed, menganggap sikap tak acuh makhluk ini seksi bukan main.
Zed seperti mendapat suntikan adrenalin. Mendadak dia melompat turun dari tempat tidur, mondar-mandir dengan langkah ringan sembari mencari tempat paling strategis di tembok demi memajang poster idolanya.
"Apa sih yang lo liat dari JC?" tanyaku, mungkin untuk keseratus kali.
"Apa sih yang lo liat dari Tom?" balas Zed sambil tertawa keras.
Sialan!
"Eh, memangnya dia nggak ada jadwal ke kantor lo, Vir?" tanya Zed, tampaknya sudah menemukan posisi juara untuk poster barunya: di tembok samping tempat tidur. Aku bergerak membantunya sambil membawa gunting dan selotip.
"Ada, kayaknya minggu depan. Tapi gue nggak yakin. Mesti double check sama... AWWWW!!!!" Tanpa aba-aba, tangan Zed terulur ke pinggangku dan mencubit keras.
"IH! Sepupu macam apa sih lo? Bukannya langsung laporan, malah diam aja!" serunya sambil berkacak pinggang.
"Ini gue lagi cerita! Nggak usah pakai cubit-cubit segala, deh!" semprotku kesakitan. Siapa sangka jemari kurus begitu masih menyimpan tenaga kepiting kerasukan?
"Itu kan gara-gara gue tanya! Coba kalau gue diam aja, lo juga pasti ikutan diam, kan! Ih, Vira!" Delikan galaknya hanya kutepis dengan dengusan tawa.
"Terus memangnya kenapa kalau JC minggu depan ke kantor gue? Lo nggak bisa ke sana juga, kan? Cih. Heran, deh."
Poster telah terpasang. Miring sedikit sebenarnya, tapi Zed sama sekali tak terganggu. Perhatiannya seratus persen beralih ke laci di samping tempat tidur.
"Memang kenapa? Ini alasannya!" Dia mengacungkan buku kecil hitam bersampul dari laci. "TADA!"
"Buku apa, sih?" Aku mengambil dan membukanya. Di halaman pertama, Zed memberi judul besar dan godam sialan itu sekali lagi menghantam dinding hatiku dengan keras. Ini... Ini...
"Bucket list," jawab Zed pelan. Kepalaku refleks terangkat dan mataku bertemu dengan pandangannya. Tatapannya lembut, tetapi penuh tekad.
"Lo... bikin bucket list?"
Apa-apaan sih, Zed?
Sekali lagi, dia berdecak sambil memutar bola mata.
"Sudahlah, Vir, jangan mikir aneh-aneh. Buat gue, bucket list ini wajib buat orang yang ingin hidup. Semua orang harus punya supaya lebih semangat bangun setiap hari. Menurut gue, ini sistem yang pas buat manusia-manusia kalong kayak lo."
Tampak tak acuh, dia meraih remote dan menyalakan TV sambil memberiku wejangan lebih lanjut. "Masih susah bangun pagi kan, Vir? Coba tulis poin bucket list lo: Setahun nggak telat ngantor. Pasti hidup lo jadi bertujuan. Not to mention effective, too!"
KAMU SEDANG MEMBACA
PERKARA BULU MATA - Nina Addison
RomanceJojo sedang seru menceritakan perjuangannya menjadi branch manager sementara Vira tekun mendengarkan, memandangi wajah cowok yang telah jadi sahabatnya selama belasan tahun itu. Lalu... entah di detik keberapa, sesuatu bergeser. Klik. Dunia sekelili...