-16-

7.1K 448 10
                                    

"Moza!" teriak Gala.

Cowok itu langsung berlari menghampiri Moza yang terduduk lemas dengan air mata yang terus bercucuran.

"Lo kenapa?" panik cowok itu. "Lo sakit? Atau apa? Za, bilang dong. Jangan bikin gue cemas."

"Mama sama Alvaro udah meninggal, Gal," ucap cewek itu dengan suara bergetar.

"Lo ngomong apa, Za?" bingung Gala.
Cewek itu menunjuk batu ukir yang ada di depannya dengan tangan yang masih berguncang hebat. "Mereka jadi korban penembakan tiga tahun yang lalu."

Gala tidak beranjak. Ia membiarkan cewek itu menumpahkan air mata di pundaknya. Perlahan, tanganya terulur dan melingkar sempurna di tubuh cewek itu. Entah kenapa hatinya juga ikut teriris, seakan merasakan hal yang sama dengan cewek itu.

"Nama mereka ada disana. Gue lihat itu dengan jelas," racau Moza. "Gue udah salah selama ini, Gal. Gue udah mikir aneh-aneh soal Mama. Gue udah ngira kalo Mama udah lupain gue dan gak mau berhubungan lagi sama gue, tapi ternyata...." Tangisan cewek itu semakin menjadi. Rasanya ia masih belum sanggup menerima kenyataan tersebut.

"Moza, Moza, hei. Dengerin gue!" Gala mengendurkan pelukannya, lalu menangkupkan kedua tangannya pada wajah Moza. "Lo gak salah, okay? Lo gak salah. Lo gak tau itu sama sekali. Jadi please, stop nyalahin diri lo sendiri, okay?"

Moza mengangguk perlahan, sambil memejamkan matanya kuat-kuat, memaksa sisa-sisa air matanya keluar.

"Sekarang kita balik, ya." Gala memegang kedua bahu Moza, membantunya berdiri.

***

Setelah meninggalkan area gedung teater, Gala tidak langsung mengajak Moza kembali ke hotel. Ia mengajak cewek itu ke Siene river terlebih dahulu, untuk menyaksikan pemandangan sunset.

"Lo ngapain ngajak gue kesini?" Moza masih sibuk menyeka mata sembabnya. Ia baru menyadari kalau cowok itu membawanya ke tempattersebut setelah turun dari taksi.

"Gue pengen lihat sunset," jawab Gala singkat. Cowok itu lalu menggandeng tangan Moza dan mengajaknya ke tepi sungai.

"Gue capek, Gal. Kita pulang aja."

"Sebentar aja. Lagian pemandangannya bagus kok. Gue jamin, lo pasti suka."

"Ya, tapi—"

"Udah, nikmatin aja. Kapan lagi lo bisa lihat sunset di kota paling romantis di dunia bareng cogan?"

Moza berdecak sekali, kemudian menurut. Ikut kemanapun cowok itu membawanya. Meskipun sedang begini, Gala masih saja menyebalkan.
Namun, kalau dipikir-pikir, maksudnya baik. Ia tahu kalau cowok itu sedang berusaha menghiburnya.

"Hey, lo ngapain lihatin gue?" Gala menolehkan wajah cewek itu. "Sunset-nya ada di sana."

Moza terhenyak. Bagaimana mungkin cowok itu tahu kalau ia sedang memandanginya? Padahal sedari tadi cowok itu hanya fokus pada gurat jingga yang menghiasi langit senja.

"Nikmatin aja pemandangannya, sunset gak akan berlangsung lama."

"Dan setelah itu langit gelap," jawab Moza getir. Satu bulir air mata kembali jatuh. Ia kembali teringat dengan kejadian tadi, juga kenyataan pahit kalau Mama dan adiknya sudah pergi selamanya.

"Sini!" Gala menyandarkan kepala cewek itu di pundaknya dan membiarkan cewek itu menangis di pundaknya.

"Makasih, Gal," ucap cewek itu. "Sorry, baju lo jadi basah."

"Boleh gue janji satu hal sama lo?"

"Apa?"

Gala menarik napas panjang, "Gue janji. Setiap kali lo nangis, lo akan selalu punya pundak untuk bersandar," ucapnya. "Lo boleh cari gue, kapanpun ketika lo sedih. Gue akan selalu ada buat ngehapus air mata lo."

MANGGALA [Tamat]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang