“Kemarin wajahnya sumringah, kenapa sekarang jadi murung begini?” Pria paruh baya itu melirik ekspresi wajah Gala yang tampak seperti tak memiliki gairah hidup. “Ada masalah apa?”
Gala mendekat, kemudian menarik kursi dan duduk di sisi kanan ranjang papanya. Wajahnya tampak kusut. “Habis diusir, Pa.” Itu kalimat pertama yang keluar dari kata-katanya saat Papanya menanyai.
Kalimat pembuka yang konyol, tetapi jika dipikir-pikir, masalah hati Gala sekarang juga tidak lebih konyol.
Pria paruh baya itu mengerutkan kening. “Sama siapa?”“Sama satpam,” jawab Gala. “Gala teriak-teriak depan rumah orang, rumah cewek yang Gala suka.”
“Kenapa?”
Bahu cowok itu merosot. “Gala yang salah.” Terlepas dari apakah ia memang salah atau tidak, yang jelas sikap diam cewek itu membuat perasaannya semakin kacau saja. Ia tak mengerti.
Gala bahkan tak mengerti bagaimana ia bisa berakhir dengan curhat masalah perasaannya pada papanya dan itupun disini, di kamar rumah sakit.
Sebelum ini, jangankan duduk dan berbincang, sekedar menyapa atau manyahut panggilan saja ia enggan, tetapi ya sudahlah, lagipula ia sudah terlanjur mengatakannya, jadi sekalian saja ia menceritakan keseluruhan kisahnya.
Pria paruh baya itu tampak mendengar dengan seksama penjelasan putranya itu. Di akhir cerita, sebuah senyum terulum menghiasi wajahnya yang bersahaja itu, membuat guratan kerut di ujung matanya tampak kentara.
Gala tampak kebingungan melihat papa yang malah tersenyum mendengar curhatannya. “Kenapa malah senyum?”
Pria paruh baya itu mengangkat tangannya yang terbebas dari infus, menepuk pelan pundak Gala. “Anak Papa memang sudah besar rupanya.”
Gala berdecak mendengar itu. “Gala emang udah besar, lebih tinggi dari Papa malah. Papa gak lihat?” ucapnya agak kesal. “Papa kasih Gala saran dong. Gala harus apa?” Ia mendesak.
Pria paruh baya itu bergerak, mengubah posisinya menjadi duduk. Gala dengan cepat meletakkan bantal di balik punggung Papanya sebelum pria itu bersandar pada kepala ranjang. “Kamu serius suka sama gadis itu? Siapa namanya tadi? Moza, ya?”
Cowok itu tersenyum ketika mendengar Papanya menyebut nama Moza. “Gala gak pernah suka sama cewek sampe seserius ini,” jujurnya. Ia menghela napas berat. “Tapi semuanya jadi kacau sekarang, Gala yang bikin semuanya kacau.”
“Terus sekarang apa yang akan kamu lakukan?” tanya papanya.
Gala menggeleng pelan. “Itulah makanya kenapa Gala nanyain ini ke Papa,” ucapnya. “Apa yang harus Gala lakuin?”
“Kalau Papa punya atas pertanyaan kamu, mungkin hubungan Papa sama Mama gak akan sekacau sekarang,” ucap pria paruh baya itu, tatapannya menerawang.
Pandangan Gala kini terfokuskan pada papanya. “Papa cinta sama Mama?” tanyanya. Ia sudah sering menanyai hal itu sebelumnya, tetapi kali ini posisinya berbeda.
Ia bukan lagi bertanya sebagai seorang anak yang mempertanyakan perasaan Papanya. Melainkan, seorang laki-laki yang tengah meminta pandangan mengenai masalah perasaannya.
“Kalau Papa gak cinta Mama kamu.” Tangan pria paruh baya itu terulur, menepuk pelan pipi Gala. “Kamu dan Kakakmu gak akan lahir ke dunia ini.”
KAMU SEDANG MEMBACA
MANGGALA [Tamat]
Teen Fiction"Namanya Manggala Dewananta, biasa dipanggil Gala. Tapi jangan sekali-kali lo nambahin huruf 'k' di belakang namanya. karena meskipun dia itu pimpinan gengster sekolahan, dia gak bakal terima kalo dipanggil Gala(k). Dan dia adalah misi lo selanjutny...