"Rumah udah lu kunci belom?"
"Santai." Xander membunyikan gitar eletriknya coba-coba.
"Bagus deh." Balas Ivy. "Nanti digondol maling, kita lagi yang disalahin."
"Siap?" Xander menoleh ke arah teman-temannya.
Travis yang masih sibuk menyusun drum-nya langsung protes, "LU MAH ENAK TINGGAL COLOK!"
Ayahnya Ivy baru saja pindah toko, jadi sekarang ruko kosong ini disulap menjadi studio baru mereka setelah setahun lebih mereka menumpang gudang rumah Travis. Jadi maklum saja kalau hari ini Travis sibuk banget karena atribut drumnya yang lebih banyak dan berat dari pada teman-temannya yang lain.
"Lagian Kevin juga belum dateng." Lanjut Ivy.
Xander mengangguk dan langsung mengeluarkan handphone-nya kemudian meninggalkan beberapa pesan ke Kevin.
Xander : Woy
Xander : Di mana lu?
Xander : Cepetan ke sini
Xander : Gue kunciin ya?
Kevin yang biasanya butuh waktu 10 menit untuk membalas pesan teman-temannya kini dalam sekejap pesan masuk ke handphome Xander.
Kevin : EH TUNGGUIN! Lagi di gojek, daritadi gue dicancel mulu
Xander : GC ya
( a/n : *GC itu 'gerak cepat' )
"Dia lagi di angkot kali." Tebak Ivy sambil mengutak-atik gitarnya.
Xander menggeleng, "Naik gojek."
Tak lama seseorang mengetuk pagar ruko, langsung Xander menengok ke arah jendela lalu berlari ke pintu depan.
"LU TELAT 35 MENIT!" Teriak Xander. "Sesuai perjanjian aja sih."
Kevin menghela nafas sambil mengangkat bungkusan di tangannya, "Udah yakin banget gue bakal telat, nih McD."
"Oke." Langsung Xander membuka pagar.
Mereka memang punya perjanjian mengenai waktu latihan band. Terlambat 5 menit memang masih bisa di
toleransi, tapi kalau lebih dari 15 menit? Wajib hukumnya untuk membelikan makanan untuk teman-temannya."Demi apa sih lu cabut biar gak ketemu bokap lu?" Tanya Kevin tak percaya.
Xander dengan percaya diri langsung mengangguk, "Iya lah!"
"Udah yuk buruan!"
Mereka pun memutuskan untuk menghabiskan setengah jam melancarkan latihan demi bisa tampil di pentas sekolah. Kemudian sisa waktunya mereka pakai dengan memikirkan lirik lagu untuk demo mereka.
"Gimana kalau gini liriknya?" Tanya Travis sambil memberikan kertas yang kini sudah keempat kalinya.
"Nggak." Tolak Xander. "Ulang!"
"Capek woy," Keluh Travis. "dikira bikin lirik gampang apa. Egois banget sih!"
"Ya lu mau kita diterima di label bagus kagak sih?"
"Iya tapi bukan berarti gue yang kerjain semua."
"Loh?" Xander meninggikan suaranya. "Kok lu kayak jadi yang paling menderita?"
"Ya capek abisnya kerja sama lu." Ujar Travis blak-blakan. "Gak nyesel gue mutusin lo."
Mendengar kalimat itu, Ivy dan Kevin yang sibuk main handphone langsung menaruh perhatian kepada mereka. Mengangguk ke satu sama lain seakan memberikan isyarat kalau ini bakal berakhir pertengkaran.
"Kok lu jadi bahas yang lain sih?!"
Kevin menarik lengan Travis yang mulai mendorong Xander, "Udah lah, guys."
"Jangan kayak anak kecil gini dong!" Ivy menenangkan amarah Travis.
Travis berusaha melepaskan dirinya dari Ivy, mengambil tasnya dan buru-buru keluar dari ruko yang kebetulan tidak terkunci itu.
"Lagi PMS kali..." Celetuk Xander setengah bercanda.
"Parah," Ivy berusaha serius tapi sebenarnya menahan tawa. "malah dibecandain."
"Tapi lu juga ketawa."
"Udah ah." Kevin memukul punggung Xander sambil berusaha untuk tidak terbahak. "Gak lucu woy."
"Masuk neraka lu semua anjir."
Kemudian seseorang mengetuk pagar, mereka srmua berharap itu Travis kembali mengatakan bahwa selama ini ia bercanda. Ternyata bukan, di depan ruko ada mobil hitam yang tak asing di matanya. Tak lama juga, handphone Xander ikut berdering kencang.
"XANDER IMANUEL YANG TERHORMAT!" Suara teriakan kakaknya terdengar sampai ke ujung ruangan. "PULANG SEKARANG JUGA!"
"Asik." Xander tidak menunjukkan rasa paniknya. "Siap, ajudan pribadi!"
"Wah, kurang ajar lu!"
"Ada apa sih?" Ia melirik jam. "Belom juga maghrib."
"Lu katanya sakit malah ke sini." Protes Aaron. "DAN JUGA KUNCI RUMAH KAN LU YANG BAWA! UNTUNG GUE TAU INI TEMPAT."
Xander akhirnya pasrah dan ikut kakaknya masuk ke mobil.
"XANDER!" Teriak ibu yang wajahnya sudah memerah. "Kamu ini lagi sakit malah keluyuran."
Aaron langsung menatap ibunya heran. Masih tak menyangka kalau ibunya percaya kalau Xander ini betulan sakit.
"Nanti kalau kambuh di jalan gimana? Siapa yang mau nolongin." Omel ibu yang menatap mereka berdua sinis dari kaca mobil. "Kamu juga, Aaron! Adiknya tuh dijaga, masuk UGD kamu yang urusin ya."
"Idih." Aaron menatap adiknya kesal. "Lu umur berapa sih, anjir! Tiga apa tujuh belas? Ogah amat ngurusin lu."
"Najis juga gue punya babysitter kayak lo."
"Ih rese lu y-"
"BOYS!" Ibu semakin meninggikan suaranya. "LANGUAGE PLEASE!"
Mereka semua langsung diam seribu bahasa. Sepanjang ibunya kembali mengomel tak ada lagi yang berani menyela karena takut dipaksa turun di jalan seperti kejadian kemarin-kemarin.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dropped
Teen Fiction"Mungkin suatu saat kita akan mati, entah esok, lusa atau bahkan 50 tahun lagi. Tapi pop-punk tak akan pernah mati! Karena dia akan selalu hidup berdampingan dengan kegilaan dunia ini." Xander, Ivy, Travis dan Kevin. Empat sahabat dengan potret hidu...