Setelah pulang sekolah, Travis dan Xander memutuskan untuk pergi ke McD dan makan di mobil. Membicarakan apa yang mereka belum selesaikan kemarin-kemarin. Jam sudah menunjukkan hampir pukul setengah lima. Mereka duduk di jok depan, melihat mobil berlalu lalang.
Wajah Xander disinari oleh sinar petang, membuat Travis makin senang curi curi padang dari kaca mobil. Xander memesan coca cola dan cheeseburger untuk dirinya, sedangkan Travis memutuskan untuk tidak makan apa-apa. Ia tidak mau cara makannya yang seperti babi dilihat oleh orang yang ia suka.
"Sorry ya kalau gue udah bikin lo sakit hati." Xander membuka pembicaraan.
Travis menggeleng, "Gak kok."
"Lu gak makan?"
"Udah kok. Gue minum aja, hehe."
"Gue tau move on itu susah, sampai sekarang pun gue masih berusaha." Kata Xander. "Tapi masa lu mau stuck? Gak kan?"
"Xander." Travis mengetuk-ngetuk jemarinya ke meja. "Gak usah peduliin gue, kalau lu mau ngejar Ivy ya udah silahkan. Biarin aja gue stuck."
"Tapi liat lo kayak gini siapa yang tega?"
"Lu positif banget sih kalau gue begini itu karena lu?" Xander langsung bungkam. "I just hate myself and I don't wanna be saved."
"Gue cuman gak mau lu sakit hati lagi. Lu kayak tersiksa selama sama gue."
"Ya udah. Jangan..." Suara Travis berubah menjadi pelan, matanya mulai merah karena menahan air mata.
"Lu tuh ngebingungin banget sih." Keluh Xander. "Ini gak, itu gak. Mau lu tuh apa?"
"Gue mau gue yang dulu..."
"SO DO I!" Teriak Xander yang sudah kehilangan kesabaran. "Udah lah, Trav. Mau apa lagi sih?! Ikhlasin aja gue..."
"Gue udah gak makan dua hari..." Ujar Travis tiba-tiba sambil memainkan ujung kemejanya.
"God! What is wrong with you?!"
"Everything." Bisik Travis namun Xander bisa mendengarnya. "My body, my mind, my fucking soul is ruined."
"Udah berapa lama lu kayak gini?"
Travis mengangkat bahu, "Sejak kita putus mungkin? Saat itu gue baru sadar kalo badan gue jelek."
"Terus lu diet dengan cara tolol kayak gini? Biar apa sih? Ini semua gak cuman tentang fisik kok!"
"I just want to be her."
"Siapa?"
Travis menggeleng, "Gak."
"Ivy?" Xander mengernyitkan dahi. "Astaga, gue bilang ini gak cuman soal fisik. Wake up, Travis!"
"Tapi ku suka dia karena dia cantik kan? Karena wajahnya mulus dan badannya kurus kan? Gak usah munafik!"
"Apa-apaan sih?!"
"Lupain aja." Travis menarik nafas, berusaha menenangkan diri. "Serius, lupain aja! Sorry, gue emang lagi banyak masalah."
"Hey." Xander mengelus pundak Travis. "Gue bakal coba bantu lo selesain semuanya.
Travis menutup wajahnya dengan kedua telapak tangannya lalu mulai terisak. Sudah lama Xander tidak melihat Travis menangis, ia hampir lupa seberapa sakitnya hatinya melihatnya.
Sedangkan Xander masih terdiam duduk di sampingnya, bingung harus berbuat apa. Travis yang sensitif membuat Xander merasa serba salah. Ia takut kalimatnya membuat Travis semakin down.
"Hubungan kita dulu tetep jadi sesuatu yang paling berkesan di hati gue." Ujar Xander. "Terserah kalau lu mau anggep ini bullshit atau apa."
"Since I'm your first time, right?"
"Gak juga. Lu ngajarin gue gimana caranya jadi orang yang lebih baik. Pertengkaran kita semua itu bikin gue mikir."
Kemudian mereka terdiam. Travis mengalihkan kecanggungan dengan menatap ke luar jendela, melihat anak kecil yang lahap makan burger. Sedangkan Xander berfikir sambil mengetuk-ngetuk jari ke setir mobil.
to be continued
KAMU SEDANG MEMBACA
Dropped
Teen Fiction"Mungkin suatu saat kita akan mati, entah esok, lusa atau bahkan 50 tahun lagi. Tapi pop-punk tak akan pernah mati! Karena dia akan selalu hidup berdampingan dengan kegilaan dunia ini." Xander, Ivy, Travis dan Kevin. Empat sahabat dengan potret hidu...