Xander mengetuk pintu dan masuk ke kamar Travis. Hari ini Travis tidak masuk, jadi ia tak sempat berbincang setelah perjanjian mereka untuk bertemu.
"Lu mau ngomongin apaan?" Tanya Xander yang langsung duduk di sudut kasur sahabatnya.
Travis turun dari kasur dan duduk di lantai sambil menyandar ke kasur, "Sini."
Seketika mereka merasa dibawa ke masa lalu. Di sini lah mereka dulu menghabiskan waktu untuk main PS, main gitar atau sekedar bicara mengenai pikiran satu sama lain. Rumah Travis tergolong sepi karena ia hanya tinggal dengan ibu dan ayahnya yang sibuk, kakaknya sudah kuliah di luar negri. Jadi tempat ini enak, tidak ada orang yang menganggu seperti Aaron atau ibu.
"Jujur aja.." Ujar Travis sambil memainkan jari-jarinya. "Gue masih nyaman sama lo."
Xander mengangkat bahu, "Tapi kok bilangnya lu gak nyesel mutusin gue?"
Lawan bicaranya langsung terdiam, tak ada lagi kata untuk mengelak pernyataan itu. Mereka lanjut terdiam sampai 5 menit kedepan.
"Sorry..."
"Santai aja." Xander menepuk pundak Travis pelan. "Bukan masalah."
"Gue kangen kita yang dulu..."
"Yang berantem setiap hari?"
Travis terdiam lagi.
"Gue bukan orang baik." Xander memberi jeda sebentar untuk kalimatnya. "Kasihan kalo lu terus perjuangin orang kayak gue."
"Gimana kalo gue mau?"
"Sorry, gue gak bisa."
Xander langsung pamit pulang, meninggalkan Travis yang sesak menahan tangis.
Travis : Gue tau lu suka sama Ivy
Travis : Gak apa, ikutin aja sesuai apa yang hati lu bilang
***
"Gue gak suka sama Ivy." Ujar Xander sehabis menaruh tas dan duduk di depan meja Travis.
Travis yang tertidur mengangkat kepalanya, "Oke."
"Mata lu merah."
"Iya." Travis mengusap wajahnya. "Kurang tidur."
"Tapi serius," Xander kembali meyakinkan. "gue gak suka sama Ivy."
"Bohong dosa."
"Hm."
Travis menayap Xander.
"Fine." Xander mengalihkan pandangan. "Tapi jangan bocor ya."
Travis mengangguk seakan menerima harapannya pupus. Padahal tidak dan ia kembali menyalahkan semuanya ke dirinya sendiri.
Egois, bodoh, tidak tahu apa apa, gemuk, jelek, membosankan, monoton, tidak menarik, egois, bodoh, tidak tahu apa apa, gemuk, jelek, membosankan, monoton, tidak menarik, begitu isi pikiran Travis yang terus ia ulang-ulang selama pelajaran sejarah. Rasanya ia ingin berteriak, memukul cermin, membanting gitar, apapun agar ia melepas semua amarah di dalam dirinya.
"Kantin yuk?" Ajak Ivy sambil tersenyum.
Travis menggeleng dan membalas senyuman Ivy, "Udah makan tadi."
"Serius?" Tanya Kevin sinis. "Nanti sakit perut."
"Kayak lu bakal peduli aja." Travis kembali merebahkan kepalanya ke meja. "Gue masih kenyang."
Bohong. Ia belum makan dari pagi. Dari kemarin pagi, lebih tepatnya. Hanya minum dan makan sedikit buah. Ketika ia melihat dirinya di kaca kemarin, ia baru sadar kenapa Xander meninggalkannya. Dia tak pernah semenarik dan sempurna seperti Ivy. Dan makan hanya membuat semuanya semakin buruk.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dropped
Teen Fiction"Mungkin suatu saat kita akan mati, entah esok, lusa atau bahkan 50 tahun lagi. Tapi pop-punk tak akan pernah mati! Karena dia akan selalu hidup berdampingan dengan kegilaan dunia ini." Xander, Ivy, Travis dan Kevin. Empat sahabat dengan potret hidu...