"Jadi ceritanya lu balikan sama Xander?" Tanya Ivy.
Travis mengangkat bahu sambil melihat-lihat botol kutek yang berada di meja rias Ivy. Meski dikenal tomboy, tapi sebenarnya Ivy senang dengan make up, apalagi soal kukunya.
Mata Travis langsung tertuju pada satu botol kutek berwarna ungu dengan glitter.
"Boleh?" Tanya Travis sambil menunjukkannya pada Ivy.
Ivy tersenyum lalu mengarahkan tangannya ke Travis, "Sini!"
Kuku Travis memang pendek, tapi tidak menutup kemungkinan kalau kukunya bisa diwarnai. Meski ibunya akan memarahinya kalau ketahuan mewarnai kukunya. Tidak maskulin, katanya. Tapi ia tidak peduli, menurutnya fashion dan make up itu tidak mengenal gender.
"Lain kali sekalian gue make up muka lu!" Canda Ivy sambil mewarnai kuku Travis dengan hati-hati. "Muka lu tuh cantik tau sebenernya..."
Ivy bicara begitu seakan ia baru pertama kali menyampaikan itu pada Travis. Selama 2 tahun berteman dengan Ivy, ia selalu dipanggil 'cowok cantik'. Dan ia tidak pernah marah, karena menurutnya cantik tidak hanya untuk perempuan. Semua berhak untuk cantik atau tampan atau imut, apapun itu.
"Trav." Panggil Ivy.
Travis mengangkat wajahnya, "Ya?"
"Lu bener-bener sayang kan sama Xander?"
"Iya." Jawab Travis mengangguk. "Kenapa? Salah ya?"
"There's nothing wrong with love, Trav." Ivy tersenyum.
Travis ikut tersenyum. Sebenarnya selama ini ia selalu dihantui rasa takut. Ia merasa ia takkan pernah masuk ke dalam lingkup yang normal. Sikapnya yang cuek dan bertingkah sesuai yang ia mau, seperti mewarnai kukunya, tidur dengan Xander, atau memakai baju Victoria Secret semakin membuatnya terasa terancam.
Tapi ia memang tipikal orang yang tidak suka dikekang. Ia juga ingin dunia tahu kalau pakaian, lifestyle, pekerjaan dan lain-lain tidak perlu melulu berkutat pada gender.
"Eh!"
"Ya?"
"Lu ikut gue ya?" Tawar Ivy setelah selesai mewarnai semua kuku tangan Travis.
Travis memasang wajah bingung, "Kemana?"
Ivy mengeluarkan kartu nama dan memberikannya pada Travis. Dilihatnya kartu nama berwarna putih bersih, nama dan alamatnya juga jelas tidak banyak basa-basi.
"Kita semua khawatir sama lu..."
Travis langsung mengembalikan kartu nama itu kepada Ivy, "Gue gak gila kok."
"Ke psikiater itu belum tentu gila, Trav." Balas Ivy. "Gue temenin kok!"
"Gak!" Tolak Travis. "Mau gue digeret sekalipun, gue gak mau!"
"Ini Xander yang minta." Lanjut Ivy. "Dia yang kasih ini, mungkin partner terapis dia juga."
"Ivy!" Suara Travis langsung meninggi. "Gue gak sakit. Gue gak depresi kayak dia, I'm fine!"
"Ya udah." Dengan keberatan, Ivy kembali memasukkan kartu nama itu ke dalam tasnya.
Travis diam-diam merasa lega. Ia tidak mau pergi ke dokter, merusak lagi diet-nya yang sudah berhasil sejauh ini. Meski kadang itu membuatnya tak bisa berfikir di kelas atau pusing di kelas olahraga, tapi ia senang sweater milik Xander tertinggal di kamarnya akhirnya sudah muat di badannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dropped
Teen Fiction"Mungkin suatu saat kita akan mati, entah esok, lusa atau bahkan 50 tahun lagi. Tapi pop-punk tak akan pernah mati! Karena dia akan selalu hidup berdampingan dengan kegilaan dunia ini." Xander, Ivy, Travis dan Kevin. Empat sahabat dengan potret hidu...