Ilalang

1.1K 25 4
                                    

Siang ini, panas matahari begitu menyengat, membakar kulit. Di sana, di dekat gerbang kampus, aku melihat ada gerobak berwarna merah terang dengan gambar segelas minuman segar. Kuhampiri gerobak yang pada bagian atasnya bertuliskan "Es kuwud Pak Samidi", kupesan satu porsi es kuwud untuk kubawa pulang.

Sesampainya di rumah, kuletakkan es kuwud tadi di atas meja dapur. Aku bergegas menuju kamar dan berganti baju, tak lupa membersihkan muka, tangan serta kaki di kamar mandi. Setelah itu, aku melangkah ke dapur, mengambil mangkuk dan kutuang es kuwud ke dalamnya.

"Aah, segar sekali. Pas banget cuaca lagi panas begini. Eh, Ibu. Mau es?" tanyaku pada sosok wanita separuh baya yang berdiri di belakangku dan dibalasnya dengan gelengan kepala.

Ibu--panggilan yang biasanya disematkan pada wanita yang melahirkanmu, tidak berlaku untukku. Seseorang yang kupanggil dengan sebutan "ibu" adalah wanita yang mengadopsiku saat usiaku belum genap satu tahun. Tujuh belas tahun sudah aku tinggal bersamanya dan suaminya, keduanya berasal dari Belanda, tapi sudah menetap di Indonesia, bahkan menjadi warga negara Indonesia. Mereka tidak hanya memiliki aku, ada dua orang lainnya yang juga diadopsi. Kami bertiga berasal dari negara yang berbeda, aku dari Indonesia, Akila dari China, dan Romero dari Meksiko. Kami tinggal di Semarang, Jawa Tengah.

Aku, Manda--gadis berusia tujuh belas tahun yang saat ini duduk di bangku perkuliahan. Ya, usiaku masih muda, tapi aku seorang mahasiswi. Bagaimana bisa? Tentu saja bisa. Kalian pernah dengar istilah akselerasi? Aku berada di kelas itu ketika masih duduk di bangku SMA. Hampir semua murid dari kelas itu menjadi mahasiswa. Ada beberapa yang tidak melanjutkan karena keterbatasan biaya. Mereka masuk ke SMA favorit karena beasiswa, sayang sekali orangtua mereka kurang mampu. Kedua adik tiriku tidak sepintar aku, mereka biasa saja. Saat ini Akila berusia lima belas tahun, dia kelas 9. Adiku Romero berusia sepuluh tahun, dia masih kelas 6.

Kami mungkin berbeda, tapi kedekatan kami sangatlah langka. Kami bagaikan saudara kembar yang mampu merasakan apa yang sedang dirasakan satu sama lain. Entah dari mana datangnya kemampuan kami, tapi kami tidak mempermasalahkannya. Kami menikmati kondisi kami.

Ayah dan ibu adalah dokter. Entah mengapa mereka memutuskan untuk mengadopsi kami, ketimbang memiliki anak kandung. Mereka tidak pernah mau memberitahukan alasannya. Yah, sudahlah, biarkan itu menjadi rahasia mereka. Kedua orangtua tiriku sangat mengasihiku dan kedua adikku. Kalau boleh kugambarkan mereka itu seperti malaikat yang Tuhan kirim untukku dan kedua adikku.

"Kak, aku pinjam laptop-mu, ya?" tanya Romero.

"Punyamu kenapa?" tanyaku balik.

"Gak tahu Kak, gak mau nyala."

"Kauapakan laptop-mu itu?"

"Kupakai main games, Kak."

"Sudah kubilang, kan, laptop-mu itu bukan untuk bermain games, tapi untuk belajar," kataku geram karena kelakuan adikku.

"Ya sudah kalau tak boleh, aku gak akan pinjem apa-apa lagi sama Kakak." Dia kesal dan membanting pintu kamarku.

Dasar adik durhaka, menyebalkan sekali, batinku.

"Tak usah marah, pakailah laptop kakak. Ingat-ingat ucapan kakak ini ... pakai laptop itu untuk hal-hal yang bermanfaat, jangan kamu isi sama games yang gak bermutu. Camkan itu!"

"Iya ...."

Romero berlalu sembari menenteng laptop-ku. Aku melihat laptop itu nelangsa dan berharap dia kembali dalam kondisi baik-baik saja.

"Gak usah khawatir, dia akan kujaga dengan sangat baik. Janji!" ucap Romero meyakinkanku. Rupanya dia menyadari kalau sedari tadi kuperhatikan laptop itu. Mau tak mau, kurelakan dia berpindah tangan untuk sementara waktu.

Aku lanjutkan aktivitasku di kamar, tempat favoritku selama 17 tahun hidupku. Ya, kamar menjadi tempat dari segala aktivitas yang berkaitan dengan diriku pribadi, mulai dari membuka mata sampai aku kembali menjelajah mimpi. Kamar menjadi lokasi terciptanya kreasi-kreasi gilaku, di tempat ini pula aku mendapatkan banyak ilmu sehingga aku mampu menyelesaikan SMA-ku dengan cepat dan menjadi mahasiswa di usia semuda ini.

"Sayang, ayo makan malam dulu," ucap Ibuku.

"Iya, Bu." Aku beranjak dari ranjang menuju ke ruang makan bersama Ibuku. Kebiasaan ibuku tiap malam adalah mengingatkan satu per satu anaknya agar makan malam bersama. Kebiasaan ini tak pernah sekalipun terlewatkan, sekalipun ibu sedang sakit, dia selalu berupaya sebisanya mengumpulkan kami di meja makan.

Ayah adalah orang pertama yang berada di ruang makan, bersiap menyambut kami berempat.

"Ayo anak-anak, kita makan malam. Ayah sudah tidak sabar makan masakan ibu."

"Ayah si selalu kelaparan kalau mencium masakan ibu," kata Romero.

Kami semua tertawa mendengar celotehnya yang lucu. Di antara kami bertiga, Romero adalah anak yang paling ramai. Dia pendongeng ulung di rumah ini, karena dia suka sekali bercerita. Apa pun kejadian yang dia alami di sekolah, selalu dia ceritakan kepada kami semua. Terkadang aku merasa iri, karena aku tak seleluasa itu mengutarakan diri.

Akila yang paling dekat dengan ayah, segala hal yang dia alami selalu dia ceritakan pada ayah. Oleh karena itu, kami panggil dia "kesayangan ayah", bahkan pernah ketika masih kelas 1 SD, dia menangis dan tak mau masuk sekolah karena ditinggal ayah setelah mengantarkannya ke sekolah.

Aku tak dekat dengan salah satu dari mereka. Aku netral. Ada kalanya aku ingin berbicara pada ayah, dan sebaliknya. Ada kalanya juga aku memendam apa yang kurasakan untukku sendiri, tapi kedua adikku tahu jika aku menyembunyikan sesuatu.

Mereka menjadi sahabat terbaikku, tempatku mencurahkan isi hatiku. Entah mengapa, meskipun usia mereka lebih muda, tapi mereka bisa memberi kenyamanan saat aku bercerita.

"Manda, kuliah gimana?" tanya ayah.

"Baik, Yah. Ada kendala sedikit sih, ada teman yang sepertinya kurang suka padaku karena prestasiku. Dia adalah primadona kampus sebelum aku masuk, jadi ya ... begitulah."

"Sama kaya ibumu, dulu ayah ini cowo most wanted di kampus, banyak cewe yang nyamperin, tapi ayah milihnya ibu kalian. Akhirnya dia jadi korban bully teman-teman se-fakultasnya."

"Iya. Ibu ga tahu kalau ayah sudah menjadikan ibu targetnya sejak awal masuk kuliah. Semester empat baru dia nyatakan cinta sama ibu."

"Waah ... Ayah ternyata malu-malu kucing ya dulu," ucap Akila.

"He-he, ketahuan deh," kata ayah sembari menggaruk kepalanya yang tidak gatal.

***
Aku--ilalang yang sebelumnya terbuang, tidak ada yang memandang, berubah menjadi bunga liar yang cantik.

Betapa bersyukurnya aku dipertemukan dengan keluarga ini, keluarga yang hangat, mengayomi, saling menyayangi dan menghargai. Entah bagaimana nasibku jika tidak dipungut oleh mereka, pasti aku masih di jalanan, tidur di kolong jembatan, tak tahu apa yang akan dimakan.

Mereka terbukti menjadi tempat pernaungan yang nyaman, perlindungan terbaik, karunia yang diberikan Tuhan padaku.

Aku juga bersyukur dipertemukan dengan kedua adikku yang sekalipun tidak sedarah, tapi menjadi keluarga terbaik bagiku.

Harapanku adalah agar "ilalang-ilalang" yang terbuang, menjadi bunga liar cantik yang sedap dipandang. Tidak lagi hidup dalam bayang kelam, tidak lagi hidup dalam ketakutan, tidak lagi hidup tanpa harapan.

End. 

Kumpulan Cerpen UtoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang