Karenamu

260 8 0
                                    

Tanpamu, aku tak yakin sanggup bertahan.
Kamu adalah permata di hidupku.
Untukmu aku bersedia mengorbankan apa pun.
Satu pertanyaanku, apakah kau akan melakukan hal yang sama?

***

Di sebuah halte bus aku menanti seseorang yang sudah kukenal selama kurang lebih dua tahun. Pertemuan yang berawal dari penantian.

=======
Dua tahun yang lalu.

"Lama amat bus-nya ya? Biasa tiap sepuluh menit juga ada."

Aku hanya menoleh dan tersenyum padanya, seorang pria kisaran umur dua puluhan, mengenakan kaos berkerah warna hijau, celana jeans biru dan sneakers hitam, sambil menggendong tas ransel.

"Dah lama nunggunya?" tanya pria itu yang kubalas hanya dengan dua anggukan.

"Pulang kuliah?" tanyanya lagi.

"Iya." Kali ini kuputuskan untuk menjawabnya.

"Universitas, fakultas?" Lagi-lagi dia bertanya.

"UNDIP, Sastra." Kujawab dengan singkat.

"Oh, gue Pram, anak Hukum," ujarnya sambil mengulurkan tangan kanan.

"Mita," balasku seraya menerima uluran tangannya.

"Pulang ke arah mana?" tanya Pram.

"Ungaran."

"Jauh juga ya, gue ke Majapahit. Beda arah kita," katanya sambil tersenyum ramah, aku balas juga dengan tersenyum.

"Tu bus lo keknya ... iya tuh, Ungaran."

"Oh iya, duluan ya. Dah," pamitku.

"Oke, ati-ati. Mpe ketemu lagi, semoga he-he."

Kulambaikan tangan padanya sebagai tanda perpisahan, dia pun melakukan hal yang sama.
=====

"Sorry, Say. Lama ya nunggunya?" tanya Pram yang baru datang setelah kutunggu kurang lebih lima belas menit.

"Kebiasaan deh," jawabku sambil cemberut kepadanya.

"Yah ... lupa."

"Apa?"

"Lupa bawa karet buat iket bibir kamu yang lagi manyun itu," ucapnya sembari tersenyum lebar.

"Ck ... nyebelin banget sih," balasku lalu perlahan tersenyum karena melihat Pram merentangkan tangannya, aku pun mendekat dan mendekapnya.

"Maafkan aku yang sering banget telat jemput kamu."

Aku menjawabnya dengan anggukan kepala dan juga gelengan yang artinya "iya, tak apa".

Dia melonggarkan pelukannya, aku mendongak menatapnya, dia kecup keningku dan berkata, "I love you."

" Too. Pulang yuk, mampir maem dulu ya. Aku makan nasi cuma pagi tadi, siang maem roti, sore belum makan."

"Siap, Nyah."

Seminggu yang lalu, tepatnya tanggal 21 Oktober, 2016, kami resmi jadian sekaligus bertunangan. 25 April 2017 akan jadi tanggal peresmian kami sebagai suami istri. Pacaran? Kami tidak melewati masa itu, kebetulan orangtua kami juga tidak mempermasalahkan. Mereka menyerahkan sepenuhnya semua keputusan mengenai masa depan pada kami berdua. Hanya satu pesan mereka, jangan sesali apa yang sudah kami putuskan, dan jangan terpikir untuk berpisah sekalipun masalah besar muncul dalam hidup kami.

Pram adalah sosok pria yang hangat, penuh kasih sayang, sangat peduli terhadap orang-orang yang ada di sekitarnya, terutama mereka yang dicintainya. Sebaliknya, aku adalah sosok perempuan yang cuek, kurang pandai membawa diri dan kurang suka bergaul. Kami berdua saling melengkapi, menutupi kelemahan masing-masing dan selalu berupaya mendahulukan kepentingan yang lain ketimbang kepentingan diri sendiri.

Satu tahun pernikahan kami, semua berjalan dengan lancar. Meskipun Pram berstatus mahasiswa, tapi dia sudah memiliki usaha. Dia mendirikan perusahaan yang berkecimpung di bidang jasa design taman, jadi dari pembuatan konsep sampai eksekusi atau pengerjaan taman, dia handle semua. Ya, pekerjaan yang dia tekuni memang berbeda jauh dengan bidang studi yang dia ambil, karena dia kuliah atas desakan ayahnya. Aku  juga bekerja sebagai translator freelance, aku melayani orang asing yang datang berkunjung ke kotaku dan ingin berwisata, atau mereka yang ingin mempresentasikan produk maupun jasanya.

Kehidupan kami bisa terbilang baik, secara ekonomi berkecukupan. Kami bahagia meskipun belum dikaruniai anak. Kami tidak mempermasalahkan hal itu, karena kami percaya bahwa anak adalah pusaka, maka jika kami belum diberi, artinya kami belum layak mendapatkan pusaka itu.

"Gimana tadi tamunya? Baik apa rese?" tanya Pram.

"Baik si, tapi pelit, Pah. Gak kasih tips sama sekali, kesel."

"Ha-ha-ha ... lupa kali, bukan pelit," ujarnya menghibur.

"Ya ... positif aja lah ya, Pah. Bayarannya lumayan kok he-he," kataku sambil bergelayut manja padanya.

Kebiasaan kami berdua adalah menghabiskan waktu di sore hari untuk menceritakan kegiatan kami di hari itu. Tujuannya agar komunikasi lancar, terbuka dan mengambil hikmah dari kejadian yang kami alami pada hari itu.

"Mami telepon aku tadi siang, biasa ... nanyain aku dah isi apa belum."

"Terus, kamu jawab apa?"

"Udah, isi nasi sama sayur kangkung, tempe goreng, juga ikan asin."

"Ha-ha-ha ... istri cerdas. Mama juga suka nanyain gitu sama aku."

"Kamu jawabnya apa?"

"Udah diisi kok ma tiap hari, isi air, nasi dan lauk pauknya." Pram mengatakan itu sambil tertawa keras, aku pun terbawa.

"Kapan ya?"

"Nanti, kalau kita sudah dianggap layak." Pram selalu menghiburku dengan kata-kata pamungkasnya itu, dan setiap kali dia mengatakan itu, dia lanjutkan dengan mengecup puncak kepalaku lama.

"Makasih ya, Pah. Kamu suami terbaik."

"Uhm ... iya Mommy-ku sayang."

Tiga tahun kami menunggu, akhirnya keinginan untuk memiliki anak terwujud. Kami dikaruniai seorang putra yang kami namai Daniel. Kedua orangtua kami sangat bahagia melihat cucu pertama mereka. Kami hanya berharap kehadiran Daniel tidak menimbulkan ketegangan di antara kedua keluarga karena mereka semua sangat menyayangi Daniel. Masing-masing punya pendapat mengenai cara terbaik mengasuh anak, maka kami harus menegaskan kepada mereka bahwa pendidikan anak pada zaman mereka sangat berbeda dengan pendidikan anak pada zaman now.

Pekerjaanku yang fleksibel sangat membantu agar aku bisa fokus merawat dan membesarkan Daniel. Menjadi orangtua bukanlah tugas sepele dan boleh dijalankan sekehendak hati karena beranggapan bahwa anak adalah "properti". Bukan begitu cara mendidik anak yang baik. Kedua orangtua berperan penuh dalam mendukung tumbuh kembang anak.

Lima tahun berlalu, Daniel sudah memasuki Taman Kanak-Kanak.

"Daniel, ayo berangkat!" panggil Pram yang telah siap untuk pergi kerja sekaligus mengantar Daniel sekolah.

"Iya ... bentar, Pah. Daniel belum abisin susunya, nanti dimarahin mama," teriaknya dari dalam rumah.

"Huzz ... gak pake teriak-teriak gitu, ini rumah bukan hutan!" kataku mengingatkan.

"Maaf Mommy. Daniel berangkat ya Mom. Muach ... love you."

"Be careful My son, have a nice day at school."

"Ay ... ay capt!"

Usianya lima tahun, tapi dia sudah lancar membaca, menulis dan berbahasa Inggris. Semua tidak lepas dari teknologi yang dinamakan smartphone. Aku mengakui bahwa teknologi sekarang begitu maju, tapi tetap saja tidak bisa serta merta menyelesaikan masalah hidup kita.

Rasa syukur disertai kesahajaan selalu kami berdua tanamkan dalam diri Daniel. Aku dan suami selalu mengajarkan bahwa apa yang saat ini kita miliki, suatu saat bisa hilang dalam sekejap.

Tiada kesempurnaan, kekekalan di dunia ini. Semua hal bersifat fana, termasuk kehidupan manusia. Namun, bersama kalian dan untuk kalian aku hidup. Kalian adalah alasanku terus bertahan. Kerelaanku berkorban adalah kalian, dan aku yakin kalian juga akan melakukan hal yang sama.




Kumpulan Cerpen UtoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang