"Andaikan"--satu kata yang sering terlintas dalam benak manusia. Kata yang berisi harapan agar suatu saat terwujud sesuai dengan keinginan.
***
Dia termenung sembari bertopang dagu, entah apa yang ada dalam pikirannya. Andai bisa kuterka, dia sedang berandai-andai menjadi seorang pilot. Itu cita-citanya sejak kecil, bisa menerbangkan burung besi dan mengajak orangtua serta saudara-saudaranya keliling dunia.
Jordan--panggilanku untuknya--seorang pria berusia dua puluh empat tahun yang kini hanya bisa bermimpi menerbangkan burung besi. Impiannya sirna karena dia kehilangan kedua kakinya mulai dari lutut hingga telapak kaki. Kedua kakinya terpaksa diamputasi karena tidak dapat diselamatkan akibat tertimpa reruntuhan kala terjadi gempa dua tahun yang lalu.
"Mimpi itu ... sirna," ucapnya sembari terisak.
"Jangan patah semangat, masih ada hal lain yang dapat kau lakukan. Ketimbang meratapi nasibmu, lebih baik kau cari hal lain yang masih bisa kau kerjakan. Kau kehilangan kaki, bukan nyawa."
"Tapi, kau tahu kan keinginanku sejak kecil. Aku ingin menjelajah langit."
"Iya, aku tahu. Namun, waktu berkata lain. Kejadian tak terduga merenggut impianmu, maka dari itu kau harus mengubah haluan."
"Caranya? Beritahukan padaku caranya, Madelin!" pintanya.
"A-aku belum tahu caranya, tapi aku janji akan membantumu menemukan caranya," janjiku.
Bodoh, sekarang apa yang harus aku lakukan untuk membantunya bangkit? Aku menasihati ini itu, padahal aku sendiri tidak tahu apa yang harus dilakukan. Bodoh, kau memang bodoh Madelin, batinku.
***
Dalam waktu dua tahun, Jordan berhasil mengatasi kekhawatiran dan ketakutan bahwa dirinya akan menjadi beban bagi orang-orang di sekitarnya. Dia berhasil membuktikan bahwa orang dengan keterbatasan bisa sukses."Terima kasih, Mady. Berkat dukungan dan ketekunanmu menasihatiku, kini aku bisa menjadi orang sukses. Tak apa aku tak jadi pilot, aku cukup bahagia dengan kondisiku saat ini," katanya sambil menerawang.
"Sama-sama," balasku.
"Jadi, bagaimana rencana kita ke depan?" tanyanya tiba-tiba.
"Re-rencana? Maksudnya?" tanyaku balik.
Dia menuntunku ke sofa, dan kami duduk berhadapan. Dia sudah bisa berjalan dengan kaki sambungan. Dia menatapku intens, membuatku salah tingkah dan gugup.
"Rencana ke depan, kita akan jadi apa? Sekadar teman, sahabat, atau pasangan?" Jordan bertanya dengan nada tegas, tatapan tajam dan genggaman pada kedua tanganku.
"A-aku ... tak tahu harus menjawab apa."
Jordan menuntun tangan kananku menuju dada kiri, lalu berkata, "Tanyakan pada hatimu, siapakah aku di matamu?"
Kau sahabat terdekatku yang kucintai, batinku.
Andai kata-kata itu bisa terucap dengan mudah, pasti sudah kusampaikan padanya rasa yang kupendam sejak lama. Aku mencintainya, aku ingin bersamanya, memilikinya selamanya.
Dia beranjak dari sofa lalu keluar dan duduk di kursi yang ada di teras rumahku. Aku menyusulnya dan duduk di kursi di sebelah kirinya. Dia menoleh dan memandangku dengan wajah datar, lalu beranjak menuju mobilnya.
Aku hanya duduk terdiam di kursi, tak tahu harus berbuat apa. Hanya memandang punggungnya yang semakin jauh. Tanpa kuminta, tubuhku seolah terangkat dan aku berlari mengejarnya. Aku peluk dia dari belakang, "Jangan pergi. Aku mohon!"
KAMU SEDANG MEMBACA
Kumpulan Cerpen Uto
RandomWork ini berisi cerpen-cerpen yang kubuat. Inspirasinya datang dari kehidupan di sekitarku.