When Will I See You Again?

103 6 2
                                    

A day without you, the same as loosing a little part of me.

***

I have tried so many times to forget about you, but it seems impossible for me to do. What have you done to me?

You have stolen my heart and made it hard to let go. It is already stuck to you.

How, tell me how to run off from you, to be escaped from your prison of heart.

Aku menghela napas, ingin mengurangi rasa sesak dalam dada yang terasa mencekik. Kehilangan sosok yang sangat berarti benar-benar membuatku hilang arah dan tujuan hidup. Tak ada keinginan untuk bergerak maju, hanya keengganan yang menggelayut dan terus memberatkanku untuk melangkah.

Akankah ada tangan baru yang mau mengangkatku dari kubangan kesedihan ini?

Waktu empat tahun belum bisa menghapus kesedihan yang terlanjur betah bersemayam di hatiku. Seolah hatiku telah mati, membeku dan tak mampu lagi merasakan apa itu emosi.

Mengurung diri, terasing dari dunia luar, menjadikanku bagaikan mayat hidup dalam suatu kotak, bukan peti mati, meskipun itu yang kuinginkan.

Salahkah aku berduka dengan cara seperti ini? Semua orang mengatakan aku bodoh, tak mampu menerima kenyataan, tak bersyukur, lupa bahwa kehidupan terus berjalan dengan atau tanpa adanya dia ataupun aku.

Aku hidup dari belas kasihan orang-orang yang disebut keluarga. Keluarga yang dalam kamus hidupku berarti orang-orang yang memiliki pertalian darah denganku, bukan orang yang benar-benar peduli dan sayang padaku.

Miris? Mungkin.

Itu pandanganku, berbeda dengan mereka yang mengaku sebagai teman dan orang terdekat. Mereka bilang aku ini memang tak layak dipedulikan, aku pantas mati.

"Hei, kau baik-baik saja?"

Pertanyaan macam apa itu, dia melihat sendiri bagaimana kondisiku saat ini dan masih bertanya apakah aku baik-baik saja? Aku tak salah dengar, bukan?

"Hei, aku bertanya padamu."

Jengah dengan sikapku, dia pun pergi.

"Ya, sudah. Terserah padamu, aku bosan berjuang sendiri. Upayaku sejauh ini tak berarti bagimu."

Dia pergi, membawa duka akibat ketidakpedulianku. Ketidakpekaan yang akhirnya membuat orang-orang yang dulunya dekat denganku menghilang satu per satu.

"Maaf ...," lirihku yang ternyata didengarnya.

"Kau bilang sesuatu?" tanyanya.

"Ma-maaf ...," kataku mengulangi masih dengan suara lirih.

Dia kembali mendekatiku yang duduk meringkuk di ranjangku. Dia sibak rambut yang menutupi wajahku.

"Mau sampai kapan begini? Lihatlah dirimu, cobalah berkaca," ucapnya menohok.

Aku hanya menggelengkan kepala, dia bergerak ke meja rias di kamarku, mengambil cermin dan mengarahkannya ke hadapanku.

"Inikah Gladis yang kukenal? Inikah Gladis yang selalu ceria, tersenyum ramah dan memberi aura positif kepada orang-orang di sekitarnya, termasuk padaku?"

Aku hanya diam, wajahku tertunduk sembari sesekali aku melihat bayanganku pada cermin. Sebegitu parahkah kondisiku saat ini? Rambut acak-acakan, kantung mata tebal dan kehitaman, pipi tirus dengan wajah kusam. Aku benar-benar terlihat menyedihkan.

Kumpulan Cerpen UtoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang