Apa yang ada di benak kalian ketika mendengar kata rasa?
Bagiku, rasa itu menunjukkan sesuatu yang kita dapatkan dari melihat, mendengar, mengecap, meraba. Ketika melihat sesuatu yang indah, timbul rasa suka dan kagum. Ketika mendengar ucapan yang menghibur, timbul rasa aman, nyaman, dan damai. Ketika mengecap makanan maupun minuman, ada rasa manis, asam, asin, gurih, atau pahit. Ketika meraba suatu permukaan atau benda, kita merasakan kasar, halus, lembut, keras, empuk, dan sebagainya.
Ya, rasa bentuknya bermacam-macam dan semua manusia memilikinya. Namun, ada rasa yang terkadang sulit diartikan. Sesuatu yang asalnya dari hati dan bisa membuat orang kehilangan akal jika memilikinya.
Rasa yang manusia sebut cinta.
Mereka yang sedang merasakan cinta akan menikmati kebahagiaan, kenyamanan, kedamaian. Mengalami manisnya hidup karena berada dekat dengan seseorang yang dikasihi. Namun, ada kalanya di sela-sela rasa manis terdapat rasa pahit.
Itulah suatu hubungan, di dalamnya terlibat banyak rasa. Bergantung bagaimana kita menjalani dan menyikapi segala hal yang terjadi selama menjalin suatu hubungan.
"Selama kau mengenalku dan dekat denganku, apa yang kau rasakan?"
"Aku ... nyaman."
"Hanya itu?"
"Aman, bahagia, tenang karena ada yang memperhatikan."
"Kalau suatu saat aku menghilang, bagaimana?"
"Kau mau menghilang dariku? Kenapa"
"Bukan, hanya saja ... waktu dan kejadian yang tak terduga bisa saja menimpa salah satu di antara kita."
"Benar juga. Pasti aku akan sangat kehilangan, dan sedih berkepanjangan."
"Benarkah?"
"Kau meragukan perasaanku?"
"Tidak-tidak, aku tak pernah ragu padamu. Kau satu-satunya yang berarti di hidupku."
Pelukannya selalu menjadi candu bagiku, rasanya ada sesuatu dalam hati yang membuncah, sulit untuk digambarkan. Dahulu tidak pernah kunikmati hal seperi ini. Hidupku benar-benar hambar, tak ada rasa, datar. Semua berjalan tanpa tujuan, sekadar bertahan dan berharap ada keajaiban.
Sekarang, semuanya terasa berarti sejak aku bertemu dengannya. Sasti--gadis asal Kudus--yang mengajarkanku bagaimana rasanya mencintai dan menikmati hidup sehingga aku bisa membedakan manis dan pahit. Dia gadis yang ulet, selalu bersemangat dalam menjalani hidupnya, tidak soal tantangan yang harus dia hadapi.
"Makasih ya."
"Makasih untuk apa?"
"Memberi rasa di hidupku."
"Emang tadinya nggak ada rasa gitu? Kurang micin, mungkin?" ucapnya sambil meledekku.
"Bisa ae, kembang kanthil," candaku menanggapi ledekannya.
Dia tertawa, aku pun ikut tertawa, candu kedua bagiku. Oleh sebab itu, aku selalu berusaha membuatnya ceria, apa pun caranya. Saat dia sedih, gundah, kecewa, aku berupaya menghiburnya agar kesedihan itu tidak berlarut-larut. Dia menjadi pusat kehidupanku, tempatku mencurahkan segala rasa.
Namun, rasa manis terkadang berakhir dengan pahit yang tak terkira. Aku kira bahagia itu akan bertahan lama, nyatanya tidak. Waktu dan kejadian tak terduga menimpa kita semua, kata-kata itu tepat. Aku tak pernah menyangka semua akan berakhir secepat ini. Segala impian yang sudah terkumpul dalam benak, sirna.
Apakah seumur hidupku, aku tak boleh memiliki rasa?
Sasti, wanita yang kucintai, pergi untuk selamanya. Diam-diam dia memendam kepahitan dan tidak pernah mau membaginya denganku. Dia sakit, dan bodohnya aku tidak mampu melihat kesakitan itu. Aku terbuai oleh rasa manis yang selalu ditawarkannya, rasa nyaman yang selalu dibagikan olehnya.
Apalah arti hidupku sekarang, rasa itu hilang. Hidupku kembali hambar, dan kosong. Bahkan, kini jauh lebih buruk. Semangat untuk bangkit tak ada, harapan sudah pupus, malah hampir mati. Segala bentuk doa sudah kusampaikan kepada Sang Empunya kehidupan, tetapi jawaban tak kunjung Dia berikan.
Apakah menunggu aku mati, baru Dia menjawab doaku?
Ah, maafkan aku yang tidak tahu berterima kasih. Aku lupa diri hanya karena kehilangan orang yang berarti, seberapa pentingnya dia dibandingkan dengan-Mu?
Aku pantas menerima semua ini, aku ikhlas.
Ternyata benar apa kata Kitab Suci bahwa Tuhan punya rasa kasih yang tak terhingga untuk umat-Nya. Dia berikan aku kesempatan satu kali lagi untuk menikmati rasa cinta. Dia pertemukan aku dengan Gendis, wanita yang ditinggalkan suaminya. Dia janda, tapi masih gadis. Suaminya meninggal karena kecelakaan tepat pada saat mereka selesai resepsi dan akan kembali ke kediamannya. Gendis berhasil diselamatkan dan sempat mengalami koma selama satu minggu, tapi nahas bagi suaminya.
Sungguh pertemuan yang tepat. Kami berdua sama-sama terpuruk dalam kesedihan yang mendalam karena ditinggal orang terkasih. Namun, kebaikan Tuhan membuat kami mampu melewati masa suram itu dan kembali bersemangat melanjutkan hidup. Bersemangat untuk menemukan kembali perasaan bahagia yang sempat sirna.
"Aku bersyukur bertemu denganmu, Mas."
"Sama, Dek, aku pun begitu. Kita berdua sama-sama beruntung."
"Oiya Mas, kapan kau ajak orangtuamu datang untuk melamarku?
"Secepatnya, Dek. Aku pasti akan melamarmu secepatnya. Kamu jangan khawatir, cukup persiapkan diri untuk kedatanganku bersama orangtuaku."
"Pasti, Mas." Dia mengapit lenganku dan menyandarkan kepalanya di bahuku. Berdua, kami berjalan menyusuri trotoar di sepanjang jalan di pinggir pantai, menikmati angin sepoi-sepoi yang membelai lembut wajah kami dan menerbangkan anak-anak rambut Gendis.
"Setelah ini, kamu mau ke mana, Dek? Kita makan aja, yuk. Sudah dari pagi lho kita di sini, dan belum makan."
"Boleh, Mas. Cari yang enak dan murah."
"Jangan, spesial untuk hari ini, aku pengin traktir kamu makan seafood. Mau, ya?"
"Manut, Mas."
Aku ajak dia menuju salah satu kedai makan di area sekitar pantai. Kedai makan yang terkenal dengan menu seafood yang segar dan sedap. Aku memesan menu paket untuk berdua, menu lengkap yang terdiri dari nasi, ikan bakar, cumi asam manis, dan udang goreng tepung, ditambah tumis kangkung yang menggugah selera.
Kami berdua makan dengan lahap sambil sesekali diselingi canda dan tawa. Sesekali Gendis menyuapkan ikan atau makanan lainnya padaku, begitu pun sebaliknya. Kami benar-benar bagaikan anak remaja yang sedang dimabuk cinta. Saking mesranya kami, sampai-sampai pelayan kedai itu menggoda kami, "Duh, jadi pengin disuapin juga."
Kami tersipu sekaligus bahagia, juga berharap agar kemesraan ini bisa terus dipertahankan hingga kami resmi sebagai pasangan suami dan istri, bahkan sampai usia tua nanti.
Biarpun kini aku bersama Gendis, aku tak pernah melupakan Sasti. Begitu juga Gendis yang tak pernah melupakan suaminya. Kami menghargai pasangan kami terdahulu, tetap bersyukur dengan kesempatan yang Tuhan berikan untuk dapat mengenal dan dekat dengan mereka.
Bersama Sasti, aku menemukan arti hidup. Bersama Gendis, aku semakin memahami bahwa hidup itu tak sekadar bertahan dan berharap, tapi berusaha dan berjuang untuk mencapai tujuan. Tujuanku kini satu, membahagiakan wanita yang telah resmi menjadi milikku, menjadikannya duniaku yang baru, fokus hidupku selain Sang Pencipta.
Ya, aku telah merasakan manis dan pahitnya kehidupan. Semua menjadikanku manusia yang berperasaan, berpemahaman dan berempati. Kini, akan kubagikan rasa manis dan pahit itu pada Gendis. Aku yakin dia sanggup karena dia wanita tangguh. Terima kasihku pada Sang Pencipta yang mempertemukan aku dengan dua wanita sempurna yang berhasil membuat hidupku penuh warna dan bermakna.
Panji
Kebumen, 24 November 1993****
KAMU SEDANG MEMBACA
Kumpulan Cerpen Uto
RandomWork ini berisi cerpen-cerpen yang kubuat. Inspirasinya datang dari kehidupan di sekitarku.