Masa Lalu

312 10 3
                                    

Aku hanyalah sesosok manusia dengan banyak kekurangan. Aku, pribadi yang hidupnya hanya membebani orang di sekitarku. Sepanjang hidupku, tak ada hal baik yang pernah kulakukan. Aku ini manusia yang pantas mati.

***
Aku--Martin, seorang mantan narapidana narkoba. Aku bukan hanya pemakai maupun pengedar, aku juga peracik narkoba. Sudah banyak orang yang mati karena ulahku.

Sekarang aku sudah bertobat, tak lagi menyentuh barang haram itu. Meskipun sulit awalnya, tapi segala usaha demi kebaikan pasti membuahkan hasil. Ya, selama tujuh tahun aku berjuang agar terbebas dari narkoba. Segala cara kulakukan demi kesembuhanku, mulai dari meninggalkan kawan-kawan lamaku yang juga pecandu narkoba.

"Nape lu? Ga mau nih, barang bagus, Bro. Cobain deh, lu pasti nagih," kata Baron.

"Gaklah, gue mo tobat, Bro. Jangan gangguin gue," kataku sambil menyuruhnya menyingkir.

"Cemen lo, payah!" Baron mengumpat lalu meninggalkanku.

"Fiuh, bisa juga gue nolak barang haram itu. Godaan banget, sialan!" ucapku sambil membanting sandalku, "lah napa juga sandal gue jadi sasaran. Sori ye ndal, lu kan sabahat sejati gue, yang setia nemenin ke mana-mana mpe rela berkorban demi gue."

Baron ... kalau aku mengingatnya, sedih rasanya. Dia dulunya adalah seorang pria yang gagah, berbadan tegap dan berpenampilan menarik layaknya seorang tentara. Sayangnya, ketika dia terlibat dalam penyalahgunaan narkoba, tak pernah sekali pun dia berkeinginan untuk berhenti mengonsumsi barang haram itu.

Barang haram itu pula yang akhirnya merenggut nyawa Baron. Dia meninggal satu tahun setelah aku bebas dari penjara. Berulang kali dia mencoba memengaruhiku untuk kembali, tapi aku selalu berhasil menolak dan akhirnya dia menyerah. Tidak hanya menyerah, betul-betul berhenti memengaruhiku untuk kembali.

"Ayaaah ... lihat layanganku, bagus tidak?" tanya Baron kecil padaku.

Baron kecil, buah hatiku dengan Lila--seorang gadis berusia dua puluh tiga tahun yang sudah kupacari selama kurang lebih dua tahun. Aku mengenalnya pada saat menghadiri upacara pemakaman Baron. Gadis sederhana, anggun dan juga berakhlak baik.

Kami sudah menikah selama tujuh tahun. Aku sengaja menamai putraku dengan nama sahabatku--Baron--karena walaupun dia berperangai buruk dan suka membuat onar, tapi semua itu hanyalah kedoknya untuk menyembunyikan rasa kesepian serta ketidakbahagiaannya.

"Layanganmu bagus sekali, ayah suka. Ayo kita terbangin bareng-bareng. Sini ayah gendong, kita ke lapangan," ajakku yang membuat senyum Baron merekah.

"Yeaa ... ayo Ayah, aku naik punggung Ayah ya." Baron melompat-lompat kegirangan.

Aku berjongkok dan membiarkan Baron menaiki punggungku. Kupegangi kedua tangannya dan aku berlari sambil berseru, "Pesawat terbaaang ...."

Baron tertawa kencang, dia nampak sangat bahagia. "Ayah, yang kenceng larinya. Baron pengin terbang kaya pesawat."

"Siap, Pak. Pesawat akan tinggal landas dalam waktu satu, dua, tiga ...." Aku berlari kencang seraya merentangkan kedua tangan anakku.

"Heei ... kalian asik sekali, ibu ikut."

"Ha-ha-ha sini, Bu. Baron mau terbang ke langit, Ibu ikutan ya sama Ayah juga."

"Iya, Nak. Ibu mau ikut ya ...." kata Lila.

Kuturunkan Baron, lalu aku gandeng dia bersama Lila. Kami ayunkan dia ke udara, dia tersenyum puas. Kutatap Lila, pancaran matanya yang penuh cinta serta senyumannya yang memesona selalu bisa membuatku bahagia. Demi mereka, aku rela menderita, merasakan sakitnya menahan rasa untuk kembali ke masa laluku. Ya, meskipun sudah bertahun-tahun lamanya aku berhenti mengonsumsi narkoba, efeknya masih tetap ada. Kecanduan adalah hal tersulit untuk dihilangkan. Dia akan terus muncul untuk menggoda, mengalahkan dan menjerumuskanmu ke lubang dosa, bahkan yang paling dalam.

Beruntung aku bertemu Lila, dia sosok wanita sekaligus istri yang hebat. Dia yang selalu menyadarkanku akan bahaya dan resiko yang harus aku tanggung apabila aku nekad kembali mengonsumsi narkoba. Dia bahkan mengancam akan meninggalkanku jika aku menyerah.

Suatu hal yang akan sangat merugikanku kalau sampai Lila meninggalkanku, dialah canduku sekarang, juga Baron, pangeran kecil dan malaikatku.

"Sayang, terima kasih karena sudah bertahan hidup bersamaku, setia menemani dan mengingatkanku, menamparku agar aku sadar akan perbuatan salahku. Aku mencitaimu, saangat mencintaimu."

"Aku pun mencintaimu, dan akan terus mencintaimu, Martin." Lila memelukku erat sembari mengatakan hal itu.

"Ayah, Ibu ... kok Baron gak dipeluk juga?" celetuk Baron kecil.

Kami berdua tersenyum, lalu aku menggendong Baron dan kami memeluknya erat. "Baron sayang Ayah dan Ibu," ujarnya sembari mengecup lembut pipi kami berdua.

"Ayah dan Ibu juga sayang Baron."

End

Kumpulan Cerpen UtoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang