Mr. Anonim

46 4 3
                                    

Seorang pria mendadak menarik tanganku menjauh dari keramaian. Aku tak tahu siapa pria ini dan apa maksud di balik perlakuannya.

"Hati-hati dengan tasmu, ada pria yang mengincar tasmu ini," bisiknya tepat di telinga kananku, menimbulkan sensasi menggelitik yang membuat bulu kudukku berdiri. Setelah itu dia pergi dan hanya punggung lebarnya yang kulihat, aku tak tahu bagaimana rupanya. Ada keinginan untuk mengejar, tapi sosoknya cepat sekali menghilang di antara kerumunan orang yang datang ke festival rakyat.

Siapa dia? batinku bertanya. Seketika aku ingat dengan pesannya dan segera kuperiksa isi tasku, semua masih lengkap. Khawatir tasku dicopet, aku memeluknya bagaikan balita yang takut kehilangan boneka kesayangannya.

Rasa lelah yang datang setelah dua jam berjalan menjelajah seluruh area festival, menggiringku pada satu mobile cafe yang bernama Ronald's coffee and snack. Untungnya cafe ini tidak terlalu ramai, sehingga aku bisa menikmati waktu istirahat. Seorang pelayan mendatangi dan memberiku menu, dia juga menjelaskan bahwa menu andalan yang dijual di tempat itu adalah kopi gula aren. Jadi, perpaduan antara espreso dengan susu dan gula aren cair lalu ditambahkan whipped cream dan bubuk coklat sebagai topping.

Penasaran dengan tawaran si pelayan, aku mengikuti rekomendasinya dan menambahkan kentang goreng juga pisang bakar keju sebagai pelengkap minuman. Kurang lebih dua puluh menit aku menunggu dan pesananku pun datang, tapi yang mengantar bukanlah pria yang melayaniku tadi.

"Silakan, pesanannya. Selamat menikmati," ucapnya sambil tersenyum.

"Terima kasih," jawabku.

Rasa-rasanya suara pria itu tidak asing, batinku.

Aku coba mengingat-ingat suara itu, dan ternyata itu adalah suara pria yang tadi menarikku dari keramaian. Ya, aku yakin benar itu adalah suaranya, meskipun tadi dia berbisik. Aku menengok ke arah meja barista, dia sedang mengamatiku dengan senyumnya yang meneduhkan. Tak lama pelayan tadi mengantarkan makanan tambahan yang katanya dibuat khusus oleh sang pemilik mobile cafe, yaitu Ronald. Senyum manis juga ucapan terima kasih kuberikan padanya dan ditanggapinya dengan anggukan.

Ini enak, batinku.

"Gimana?"

Aku terkejut mendapatinya bertanya persis di sebelahku dan ketika aku menoleh, wajah kami berdekatan sampai-sampai aku bisa merasakan hembusan napasnya. Aku tak mampu berkata-kata, hanya jempol tangan kanan yang kuacungkan di depan wajahnya dan dibalasnya dengan senyuman. Dia menyeret kursi yang ada di depanku dan mendudukinya, menatapku yang sedang menikmati pisang bakar. Dia benar-benar membuatku gugup dan salah tingkah.

"Kau lupa denganku, ya?"

Seketika aku mendongak dan menatapnya heran.

"Maksudmu?"

"Benar, kau melupakanku. Tak apa, wajar sih. Beberapa tahun tak bertemu pasti membuatku asing di matamu." Dia beranjak pergi menuju meja barista.

Keberuntungan tak berpihak padaku karena tiba-tiba pengunjung berdatangan dan Ronald sibuk meracik kopi pesanan mereka. Aku perhatikan dia sesekali melirik ke arahku, sayangnya ingatanku tak mau berkompromi sehingga aku masih meraba-raba siapa sebenarnya dia.

Daripada berlama-lama di cafe itu, sedangkan pengunjungnya makin banyak, aku putuskan untuk membayar pesananku dan pulang. Namun, ketika aku menuju kasir, penjaga kasir mengatakan bahwa semua itu gratis, kemudian dia memberiku selembar catatan kecil serta menyuruhku untuk membukanya ketika aku sampai di rumah. Ini sungguh mengherankan, pikirku.

Sampai di kontrakan, aku segera membersihkan diri dan tak lupa kubuka pesan yang diberikan kasir cafe tadi. "Kalau kau lupa, coba bayangkan sebuah balon." Isi pesannya sungguh aneh dan membuat otakku berpikir keras. Apa maksudnya?

"Balon, apa hubungannya sebuah balon dengan ingatan?" gumamku sembari merebahkan badan di sofa.

Beberapa menit kemudian aku seperti mendapat kilas balik suatu kejadian di masa lalu, tepatnya sepuluh tahun yang lalu. Samar-samar aku lihat seorang pemuda, mengenakan kaus basket memanjat sebuah pohon untuk mengambil balon yang tersangkut. Setelah mendapatkan balonnya, dia serahkan itu kepada seorang gadis yang masih terisak, lalu berkata, "Ini balonnya, adik manis jangan nangis lagi, ya. Dipegang erat-erat balonnya supaya nggak lepas lagi, oke."

Gadis kecil itu mengusap air matanya, mengatakan terima kasih dan tersenyum cerah sambil memegang erat balonnya. Si pemuda yang membantunya, menepuk puncak kepala gadis itu dan berlalu meninggalkannya.

Seketika aku terhenyak, terkejut dengan apa yang baru saja muncul dalam ingatanku. Jadi, jadi Ronald itu adalah cowok yang waktu itu bantuin aku ambil balon. Bagaimana aku bisa melupakan pemuda itu? Bagaimana juga dia mengenaliku yang sekarang?

Keesokan harinya, aku segera pergi mendatangi lokasi Ronald berjualan, sayangnya cafe itu berpindah tempat. Aku mengelilingi seluruh area festival rakyat, dan tiba-tiba seseorang memelukku dari belakang. "Hati-hati kalau jalan, badanmu kecil, kalau ketabrak orang lewat bisa mental."

Suara itu .... Aku pegang erat tangan pria yang memelukku, lalu aku berbalik. Mata kami bertemu dan seolah terkunci. Untuk seper sekian detik kami saling menatap tanpa berkedip sampai akhirnya seseorang menabrak punggung Ronald dan memutus tatapan kami berdua.

Ronald menggandengku menuju mobile cafe-nya, menyuruhku duduk di kursi penumpang, sedangkan dia duduk di kursi sopir. "Apa kau ingat siapa aku?"

Sebenarnya aku ingin mengerjainya dengan berkata tidak, tetapi melihat tatapannya yang serius, membuatku mengurungkan niatku dan akhirnya aku mengaku bahwa aku mengingatnya. Tanpa aba-aba dia memelukku erat, begitu erat sampai aku terbatuk-batuk akibat kesulitan bernapas. Dia meminta maaf dan mulai menceritakan apa saja yang sudah terjadi pada hidupnya. Dari situlah aku tahu satu fakta kalau dia menyerahkan karir sebagai pebasket profesional karena mengalami cedara pada lututnya yang mengharuskan dia berhenti bermain basket. Andai dia memaksakan diri untuk tetap bermain, dia bisa kehilangan kaki kanannya yang cedera.

Namun, daripada larut dalam kekalutan akibat perubahan yang terjadi dalam hidupnya, Ronald memilih menyibukkan diri dalam banyak kegiatan, salah satunya adalah berbisnis. Aku merasa tertampar oleh perjuangannya untuk hidup dan menjadi manusia berguna. Selama ini aku banyak mengeluh, lupa bersyukur dan terlalu egois dengan mengharapkan semua berjalan sesuai kehendakku.

Pertemuan ini benar-benar menjadi berkah karena Ronald membantuku berubah. Aku tinggalkan karirku di salah satu perusahaan bergengsi, memilih mendampingi Ronald sebagai asisten di mobile cafe-nya. Kami tidak menjadi sepasang kekasih, apalagi suami istri. Kami adalah partner, soal apakah kami berjodoh atau tidak, biarlah waktu yang menjawab. Satu hal yang pasti, kami peduli satu sama lain, kami menyayangi satu sama lain, tapi untuk saat ini kami tidak ingin terikat secara emosi.

Penghasilan besar tidak menjamin kepuasan dan kebahagiaan, tetapi berada dekat dengan orang yang tepat untukku menghasilkan sukacita yang lebih besar. Sukacita karena mendapat banyak pengalaman berharga dan unik, sukacita karena menemukan sahabat yang seperti saudara, dan yang terpenting adalah sukacita karena melihat orang yang berarti untuk kita juga menikmati sukacita.

Dua tahun kebersamaanku dengan Ronald semakin menumbuhkan rasa untuk terus berada dekat dengannya. Oleh karena itu, aku putuskan untuk menyerahkan hidupku padanya dan menjadi pendamping yang sebenarnya untuk Ronald. Kami menikah tepat pada tanggal Ronald divonis tidak dapat bermain basket lagi. Ya, ingatan kelam itu digantikan dengan memori bahagia.

Si Mr. Anonimus telah tersingkap identitasnya dan menjadi pemilik hidupku untuk selamanya.

Kumpulan Cerpen UtoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang