Bagi sebagian orang, kesendirian itu menyenangkan karena mereka bebas menentukan keinginannya. Namun, ada yang pada akhirnya menyendiri karena keadaan, entah ditinggal oleh pasangan maupun tidak menemukan seseorang yang mampu mereka jadikan sandaran. Apakah hal itu mengartikan bahwa nasib orang tersebut sial? Ada yang beranggapan demikian. Sebenarnya seberapa meranakah orang yang hidup sendirian? Biar kuceritakan kisahku agar kalian tahu.
Namaku Sahara, usiaku kini mendekati dua puluh tujuh tahun. Statusku masih single dan belum berencana untuk mengakhiri masa lajangku. Sering aku mendapat pertanyaan perihal kapan menikah atau setidaknya apakah aku sudah memiliki calon pendamping. Kedua orangtuaku sudah lama tiada, mungkin apabila mereka masih hidup, hal yang sama akan mereka ajukan. Salahkah aku jika merasa beruntung dengan keadaan itu? Tidak ada yang bahagia ditinggal oleh kedua orang yang dikasihi, tetapi ketika melihat kerumitan yang dialami kawan-kawanku dalam merawat orangtua mereka yang lansia, disitulah aku merasa bersyukur.
Tidak inginkah aku menikah? Aku pikir tak seorang pun di dunia ini yang tak ingin menikah. Hampir semua orang ingin mempunyai pasangan hidup, bahkan beberapa mempunyai lebih dari satu pasangan hidup. Terkadang aku merasa iri dengan mereka yang mudah medapatkan pasangan dan menikah lebih dari satu kali. Segampang itukah menikah? Seolah seperti sebuah drama dengan banyak episode dan dapat diatur ceritanya sesuai keinginan sang sutradara. Banyak sebenarnya yang peduli padaku, pertanyaan mereka seputar pasangan pun sebenarnya bukti kepedulian, sayangnya lama-lama kepedulian itu berubah bentuk jadi terlalu mengurusi kehidupan orang lain.
"Sa, kamu itu cantik, pintar, terus kriteria pria yang dicari kaya apa sebenarnya? Banyak yang ngantri loh buat mengisi hatimu," celetuk rekan kerjaku, Dewi.
"Mulai lagi deh rempong ngurusi kehidupan orang," gerutuku padanya.
"Bukan gitu, Sa, gue cuma heran aja sama lu. Susah bener buat taklukin hati lu itu, apa karena masa lalu yang buruk lu jadi nutup pintu hati begitu?"
"Dih, mak satu ni kalau belum dapet jawaban, nanya mulu, dah kek reporter kurang berita."
"Habisnya, udah berapa kali gue coba comblangin lu sama cowok-cowok kenalan gue, mental semua."
"Ya udah, nggak usah rempong makanya. Biarin gue dengan kehidupan gue, OK!"
"Hmm ... ye dah, Tuan Puteri."
"Nah, gitu. Urusin aja tuh kerjaan ma laki lu."
Kebiasaan Dewi apabila aku menyinggung soal suaminya, dia akan memajukan bibir mirip Nobita ketika kesal. Ingin sekali aku ikat bibirnya dengan karet, pasti akan semakin seksi dan pas sekali untuk disentil.
"Tuh bibir ya, tabokable banget deh. Gatel tangan gue," ujarku sambil mengusap kedua telapak tangan seolah bersiap-siap untuk menampar bibir Dewi. Seketika dia menutupi bibirnya dengan kedua tangan dan berlalu menuju kubikelnya. Aku hanya terkekeh melihat tingkahnya yang masih seperti ABG. Setelah bebas dari gangguan Dewi, aku melanjutkan pekerjaan yang sempat tertunda tadi. Tak lama melanjutkan pekerjaan, ada lagi gangguan yang datang, tapi kali ini bukan dari Dewi yang hobi mendatangi kubikelku. Seorang pria dengan kemeja slimfit berwarna biru tua, berdasi biru laut, mengetuk pinggiran kubikelku.
"Mbak, ruangan Pak Dio, di mana?" tanyanya.
Aku yang sedang berkonsentrasi, sedikit terhenyak karena ketukan itu dan sempat tertegun dengan pemandangan di depanku. Untungnya aku segera sadar dan menjawab pertanyaannya dengan benar, "Oh, ruangan Pak Dio lurus saja, ada belokan ke kanan maju sedikit nanti di sebelah kiri ada pintu dengan tanda ruang Manager Pemasaran, itu ruangan Pak Dio."
"Oke, terima kasih, Mbak ...." Dia menggantung perkataannya sembari mengulurkan tangan kanan kepadaku. "Sahara, Pak."
"Jangan pak, saya belum berkeluarga. Panggil saja Gani." Aku mengangguk sambil tersenyum menanggapi ucapannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kumpulan Cerpen Uto
RandomWork ini berisi cerpen-cerpen yang kubuat. Inspirasinya datang dari kehidupan di sekitarku.