chapter satu;

13 2 0
                                    

Jika sudah kecewa, maka tidak akan ada lagi harapan yang tersisa.


"Nja, bangun. Kamu bilang ada presentasi pagi ini kan?" Aku bisa merasakan suara Jingga yang berulang membanguniku. Aku memang lebih percaya pada Jingga sebagai alarmku setiap pagi. Dia bisa berubah menjadi sesuatu yang menakutkan jika aku tak kunjung membuka mata. Intinya, ia bisa melakukan apapun yang bisa membuatku terkejut kemudian bangun.

Aku menggeliat sejenak, sebelum melihat Jingga yang memasang senyuman lebar menyebalkan miliknya. Kenapa kubilang menyebalkan? Ia tersenyum seakan kedua sisi bibirnya hampir menyentuh telinga.

Pertama kali aku melihat Jingga seperti itu hampir enam bulan yang lalu. Dan efeknya aku tidak ingin menemui Jingga dalam beberapa waktu kemudian. Sampai Jingga berjanji untuk tidak lagi melakukannya.

"jangan senyum kayak gitu lagi, Ngga. Aku udah bangun!" dengusku sambil bangkit dari tempat tidur. Kudengar Jingga terkikik pelan.

"aku punya sesuatu yang bisa bikin kamu makin kaget deh, mau coba liat nggak Nja?" ujar Jingga.

Aku mendelik sempurna kearahnya, "coba aja, nanti aku kunciin kamu diluar ya!"

Jingga kini menatapku dengan sebal. Aku pernah membiarkannya terkunci diluar karena aku memasang benda yang Jingga bilang membuatnya tidak bisa masuk kedalam kamarku.

Kalian pasti berfikir aku aneh kan? Aku pun merasakan diriku aneh, tapi Jingga selalu meyakinkan jika aku spesial. Tau kenapa dia bilang aku spesial? Karena aku bisa melihat dia.

"Nja? Senja? Kamu udah bangun belum? Katanya ada presentasi pagi?" aku mendengus saat mendengar Mama berteriak. Sejak kedatangan Jingga, Mama tidak perlu membangunkanku sekeras biasanya. Bahkan mama kerap kali memujiku yang bangun tepat waktu.

Yah, thanks to Jingga.

"Senja udah bangun, Ma! Bentar lagi turun buat sarapan."

Aku mengambil map berwarna merah yang berisikan dokumen presentasi milikku, serta backpag berwarna navy yang sudah menjadi kesayanganku.

Kantorku berada di daerah rawan macet, dan aku tidak suka membawa kendaraan pribadi. Lagipula, gajiku lebih dari cukup jika aku harus memakai kendaraan umum setiap harinya.

"Nja, pulang kantor kamu kemana?" Jingga memainkan tumpukan kertas yang ada diatas meja belajarku dulu.

Aku memoles lipstick berwarna nude sebagai sentuhan terakhir make up yang setiap hari kupakai sebelum melirik kearah Jingga.

"nggak tau, Ngga. Kenapa?" tanyaku penasaran.

"nggak papa. Aku mau pergi nanti, jadi nggak usah dicari ya." Ujar Jingga.

Aku mengerutkan keningku, jarang sekali Jingga pergi meninggalkan rumahku sejak ia menemukanku disini.

"mau ngunjungin siapa, Ngga?"

Jingga tidak menjawab, sebagai gantinya aku melihat wajah Jingga yang berubah masam. Aku hanya menelan ucapanku, tidak mengharap Jingga akan menjawab ucapanku.

"yaudah, nanti kalo pulang jangan isengin orang lain lho, Ngga." selorohku yang disahuti anggukan pelan dari Jingga.

💔💔💔💔

"Araina Senja!" aku menoleh saat suara berat itu memanggilku dalam sekali helaan nafas. Suara yang selalu terdengar familiar beberapa bulan belakang, namun, sepertinya asing untuk hari ini.

Aku hanya menoleh dan diam, tidak ingin melakukan apapun, bahkan sekedar melempar senyum.

Dewa dengan setelan kemejanya berdiri dihadapanku, nafasnya tersengal. Aku bahkan tidak perduli jika lelaki itu tidak bernafas sekalipun dihadapanku.

"aku mau jelasin yang kemarin." Dewa masih ingin bicara, tapi rasanya sia-sia kan jika aku masih mendengarkannya.

"mau jelasin bagian mana lagi Wa? Bagian kamu ilang gitu aja terus aku dapet kabar kamu lagi party di club?" kataku tanpa basa-basi. "atau kamu yang selalu sibuk banyak masalah dan milih minuman sebagai pelampiasannya?"

Dewa terdiam, wajahnya pias saat aku bicara.

"keputusanku yang kemarin itu nggak akan bisa dirubah Wa. Bukannya aku udah bilang, sekali aja kamu bikin salah kayak begini aku nggak akan toleransi.".

"egois banget ya kamu, Nja." Dewa menatapku dengan tatapan tajam, "kamu fikir aku kayak begini karena siapa? Aku kerja banting tulang biar bisa nabung, Nja. Biar rencana pernikahan kita bisa dipercepat. Terus kamu seenaknya nuduh aku macam-macam. Kamu fikir tuduhan kamu nggak bikin aku kecewa?"

Aku membalas tatapan tajam Dewa, "kamu fikir aku mau membagi seluruh hidupku sama orang yang nggak pernah menghargai aku sebagai pasangannya? Kamu fikir aku mau menjalani hidup sama orang yang nggak berbagi soal beban hidupnya? Dan menurut kamu, aku mau jalanin hidup sama orang yang kalo ada masalah lari ke alkohol? Kamu terlalu percaya diri, Wa."

Wajah Dewa memucat, aku sadar jika kami sudah menjadi tontonan umum di loby tempat kami bertemu.

"seharusnya aku nggak pernah percaya kalo dunia kita sama, Wa. Dunia kamu terlalu gemerlap, dan sampai kapanpun aku nggak akan bisa melangkah kesana. Dan keputusanku untuk mengakhiri hubungan kita adalah hal yang paling tepat." tanpa menunggu apapun lagi, aku melangkah dengan pasti meninggalkan Dewa yang terdiam ditempatnya.

Senja & Fajar [ on hold ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang