chapter tiga belas;

2 0 0
                                    

Kenapa mereka pergi? Karena mereka tidak ingin bertahan untuk tinggal. Sudah, jangan digali lebih lanjut alasannya. Cukup itu saja yang harus kau ketahui.

Mas Fajar benar-benar mengantarku sampai depan rumah, sebelum pulang ia mengajak-lebih tepatnya memaksa-ku untuk ikut makan bersamanya. Yah, bisa dibilang kami bertukar lumayan banyak cerita.

Aku melambaikan tanganku pada mas Fajar hingga mobilnya menghilang dibalik jalanan malam. Aku berbalik menuju pagar rumah dan tertegun untuk sesaat.

Aku melihat Motor Ninja kesayangan Dewa sudah terparkir di halaman rumahku, bayangan Dewa yang sedang duduk bersama Mama pun juga terlihat oleh mataku.

Mau apa lagi dia?

"Kamu darimana saja Senja? Dewa sudah daritadi lho nungguin kamu." Aku menyalami tangan Mama dan berdiri disebelahnya.

"Maaf Ma tadi Senja ketemu sama teman lama, terus yaudah deh kita jalan sebentar."

"Yaudah Mama masuk dulu, ditemenin aja Dewa nya ya." Mama mengusap kepalaku lembut, "Tante masuk dulu ya Nak Dewa."

Dewa mengangguk juga lalu menyalami tangan Mama, "Iya tante, terimakasih banyak sudah mau menemani saya."

Mama hanya mengulas senyum khas ibu-ibu kemudian masuk kedalam rumah. Aku menempati kursi yang sebelumnya ditempati Mama. Menatap Dewa dengan pandangan datar.

"Ada apa lagi Wa?"

Dewa berdecak, hilang sudah raut lembut yang ia tunjukan ketika ada Mama.

"Dia kan alasan kamu mau putus? Kamu bisa-bisanya ya begitu, Nja."

Kini gantian aku yang berdecak, "Terserah kamu mau ngomong apa Wa."

Aku sudah hendak berdiri tapi cekalan tangan Dewa menahanku.

"Kamu mau aku ngomong apa lagi sih Wa? Kamu mau aku bilang kalo aku udah tau kamu cintanya sama Tasya? Atau kamu mau aku nangis nangis karena tau itu semua? Kamu sadar nggak sih Wa kamu udah nyakitin aku? Kamu tau nggak kamu udah bikin aku hampir percaya kalo kamu beneran jatuh cinta sama aku. Bayangin Wa kalo kita beneran nikah, aku akan nikah sama kamu yang ternyata nggak cinta sama aku." Dadaku terasa sesak, semua yang ingin kukatakan pada Dewa akhirnya keluar. "Kamu sadar nggak udah banyak orang yang kamu bohongi? Kamu bohongi aku, Mama kamu, Mamaku, dan yang terpenting kamu juga bohong sama diri kamu sendiri. Kenapa kamu setega itu sih Wa? Salahku apa?"

Dan akhirnya aku tidak bisa menahan diri untuk tak menangis, ini pertama kalinya aku menangis sekencang ini setelah Ayahku meninggal.

Aku malu. Seharusnya aku tidak menangis didepan Dewa. Aku tidak ingin mempermalukan harga diriku lagi..

"Nja."

Aku mengangkat tangan, berusaha menginterupsi ucapan Dewa. Aku sudah tidak ingin mendengar apapun. Apapun.

"Please," dia berbicara lagi, aku hanya menundukan kepalaku tangisan ini tidak bisa dihentikan.

"Aku sayang kamu, Senja." papar Dewa lirih, "mungkin caraku memang salah, aku memulai hubungan ini dengan niat yang salah. Tapi aku nggak bohong ketika mau kenal kamu lebih dalam, aku juga nggak bercanda ketika bilang mau serius. Aku nggak sejahat itu,"

"Udah Wa, cukup. Aku nggak mau dengar apapun lagi. Kalo kamu mau pergi, silahkan. Aku nggak akan cari tau lebih lanjut apa alasan kamu pergi. Kamu cuma nggak perlu kembali." Kali ini aku langsung berdiri, membiarkan Dewa tetap duduk ditempatnya. Kulihat Mama berdiri didepan kamarku.

Sebelum akhirnya berjalan menghampiriku dan memelukku. Membiarkan aku larut dalam tangisanku untuk kali pertama setelah kematian Ayah.

*** // ***

Mungkin kelihatan sekali kalau aku bertingkah kekanakkan, tapi aku memutuskan untuk izin dari kantor. Mama pergi ke Bandung, saudara jauh papa sedang mengadakan acara disana. Jelas aku tidak ingin ikut, pertemuan keluarga besar pasti jadi ajang berlomba melontarkan pertanyaan terkutuk, seperti kapan nikah? Atau kok pacarnya nggak dibawa sih?

Aku ingin menghindari semua pertanyaan itu.

Aku bukan hanya menghindari pertanyaan dari keluarga besar, tapi juga menghindar dari keramaian. Aku bisa membayangkan bagaimana ramainya mbak Tyra, Amhyra bahkan Langit jika melihat kondisiku yang seperti ini.

Sungguh menyedihkan. Aku mengusap kantung mataku yang semakin membesar, ditambah mata yang juga ikut membengkak setelah menangis semalaman.

Menyedihkan sekali bukan?

Mama izin untuk menginap di Bandung, menurutku itu jauh lebih baik. Aku butuh waktu sendiri. Aku butuh waktu untuk berfikir. Bahkan aku butuh waktu tanpa Jingga sekalipun.

Shit. Kemana Jingga? Kenapa hantu itu menghilang disaat aku membutuhkan keisengannya.

Jingga pasti tidak akan pergi meski aku mengusirnya. Tapi dia benar-benar menghilang sejak kemarin. Ya Tuhan. Kemana aku harus mencari hantu itu?

Aku mengambil hair dryer dan mengeringkan rambutku. Mataku masih membengkak, bahkan setelah aku mandi dan memoleskan sedikit make up.

Ponselku berdentang pelan, beberapa pop up chat masuk.

mbak tyra : tumben bolos, ada masalah Nja?

Amhyra : Nja kok lo nggak masuk sih? Tadi Dewa kesini lho nyariin lo.

Langit : kekanakkan banget sih Nja sampe nggak masuk begini. Lo ribut lagi kan sama Dewa? Demi Tuhan ya dia kesini tadi kayak orang gila cuma karena nyariin lo.

Mas Fajar : pulang kantor mau nonton sama dinner bareng saya?

Aku membuka kulkas dan menguluarkan bucket ice cream green tea yang dibeli Mama minggu lalu. Kemudian mengambil sendok dan menikmatinya didepan TV. Aku menghela nafas panjang, memutuskan untuk mengabaikan semua pesan.

Rasanya aku sudah lama tidak melakukan hal ini, menikmati bucket ice cream ditemani film random yang ditayangkan oleh TV kabel milikku. Ah. Aku benar-benar harus belajar menikmati hidup agar lebih bahagia.

*** // ***

Mataku menyipit berusaha untuk melihat sekeliling saat kudengar suara pintu rumahku diketuk dengan kencang dan berkali-kali.

Aku meregangkan tubuhku, melihat jam yang menunjukan sudah lewat maghrib. Ah, ternyata aku tertidur dalam posisi menyandar pada sofa, pantas saja tubuhku sedikit pegal.

"tunggu sebentar!" ujarku sedikit berteriak, sambil membenarkan ikat rambutku yang sudah tak berbentuk aku berjalan menuju pintu depan.

Saat pintu terbuka aku melihat wajah Mas Fajar disana. Wajah itu memperhatikanku dengan seksama sebelum akhirnya ia menghembuskan nafasnya.

"Astaga Senja! Kamu ini kemana aja? Saya sampai tuli berusaha telfon kamu tapi nggak diangkat."

Aku baru saja ingin angkat suara tapi lagi lagi ucapan mas Fajar menahanku.

"Saya tadi kekantor kamu terus ketemu Tyra, katanya kamu nggak masuk tanpa kabar. Kamu cuma bilang sakit tapi nggak beri kabar lebih lanjut. Kamu juga nggak balas pesan saya. Syukurlah kamu nggak kenapa-napa."

Kali ini aku betul-betul speechless, aku bahkan tidak tau harus berkata apa. Tapi melihat Mas Fajar mengkhawatirkanku seperti ini membuat hatiku berubah hangat.

Satu air mata kembali lolos. Tidak perduli apa responsnya nanti, tapi yang aku inginkan hanya memeluk lelaki dihadapanku ini dan menangis disana.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jun 29, 2019 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Senja & Fajar [ on hold ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang