chapter tujuh;

5 0 0
                                    

Teruntuk kamu, mungkin aku sudah salah mengira tentang kita. Karena, pada akhirnya jalan kita akan selalu bersinggungan. Maka, kini kulepaskan kamu.

"Kamu mau kemana, Nja?" Aku menoleh ketika Jingga bertanya, gadis itu sedang memainkan kakinya yang terjulur.

"mau kerumah sakit, ibunya Dewa sakit." Jawabku singkat.

Jingga mendengus, "ngapain lagi sih kamu, Nja."

"Ibunya Dewa sakit, Ngga. Lagian aku kan nggak pernah ada masalah sama Ibunya, masalahku sama Dewa doang."

Jingga memutar bola matanya, "kadang aku mikir kamu tuh terlalu baik."

"jadi kamu lebih suka berteman sama orang jahat, Ngga?"

Jingga mendengus lagi, "bukan gitu Nja, kamu tau pasti kan maksud omonganku."

"aku kesana pure mau jenguk Ibunya Dewa, nggak ada urusan lain. Urusanku sama Dewa udah selesai juga."

Jingga hanya diam, tapi aku tau jika ia tidak merelakanku pergi begitu saja.

"Aku ikut kamu ya jenguk Ibunya Dewa."

Mataku sontak mendelik kearah Jingga, "nggak usah lah Ngga."

Tapi Jingga seakan tidak mendengarkan. Ia menempel didekatku, hingga aku tak punya pilihan.

"Jangan macam-macam kamu ya!" Kataku akhirnya. Jingga hanya memberiku seringai menyebalkan andalannya.

**/ // **

Aku duduk diam disebelah tempat Ibunda Dewa berbaring, tangan beliau menggenggam tanganku. Langit dan Dewa duduk diujung ruangan. Langit bilang Ibundanya baru saja pindah kamar karena butuh suasana yang nyaman untuk beristirahat, sementara Dewa tidak banyak bicara. Dia lebih memilih diam.

"kenapa kalian putus?" Suara Ibunda Dewa terdengar parau, sejujurnya aku tidak kuat melihat wajahnya yang tampak sedih setelah aku memberitahu soal kandasnya hubunganku dengan Dewa.

Aku berdeham sebelum menjawabnya, "Senja sama Dewa udah nggak sejalan Tante. Jadi, kami memutuskan untuk berpisah saja."

"kamu pasti macam-macam kan, Bang?" Ibunda Dewa melayangkan tatapan tajamnya kearah Dewa.

Aku mengusap lengan Ibunda Dewa, "nggak sepenuhnya salah Dewa, Tante. Senja juga salah, nggak bisa imbangin Dewa."

"dalam berhubungan berantem atau selisih paham wajar, nak. Tapi kalau salah satu sudah memutuskan untuk selesai, berarti memang ada hal yang salah."

Dewa hanya diam, seriously, lelaki seperti inikah yang pernah ingin kunikahi? Aku bahkan tidak mempercayai pilihanku sekarang.

"Senja pamit pulang ya, Tante. Maaf nggak bisa lama-lama." kataku sambil mencium tangan beliau.

Ibunda Dewa mengangguk, tangannya yang bebas mengusap kepalaku lembut, "Biarpun kamu putus sama Dewa, kamu tetap Mama anggap anak Mama sendiri. Mama keberatan kalau kamu rubah lagi panggilanmu itu ke Mama."

Aku hanya tersenyum sopan dan mengangguk, "Cepat sembuh ya Ma, nanti kapan-kapan kita jalan lagi."

Ibunda Dewa hanya mengangguk. Aku melihat Jingga sejak tadi menatap tajam kearah Dewa. Membuatku bergidik ngeri dengan wajahnya sekarang.

Langit hendak mengantarku keluar ruangan, namun, lengannya ditahan oleh Dewa. Sebagai gantinya, Dewa yang mengantarku keluar.

"Makasih kamu udah ngeluangin waktu buat jenguk Mama." akhirnya setelah sekian lama, Dewa mau membuka suara.

"aku beneran nggak paham sama kamu, Wa. Mama keluar masuk rumah sakit pun kamu nggak bilang apa-apa. Ternyata kita beneran nggak cocok, aku mau berbagi, tapi kamu lebih suka menyimpan sendiri. Semoga setelah aku, kamu bisa dapat pasangan yang bisa membuat kamu lebih terbuka ya." Aku menepuk pundaknya pelan sebelum berbalik.

"Nja," panggilan Dewa membuat langkahki terhenti, kemudian menoleh kearahnya, "Aku sayang kamu."

"Maaf Wa, tapi sayang aja nggak cukup untuk membentuk kembali hubungan kita yang terlanjur rusak." dan setelah mengucapkan kalimat itu, aku berbalik. Berusaha sekuat mungkin menahan air mataku agar tidak terjatuh.

Ternyata benar, aku masih patah hati. Efek Dewa masih belum sepenuhnya pudar dalam diriku. Tapi aku juga mengerti, kembali padanya hanya akan membuatku jatuh kelubang yang sama.

*** ***

Jingga tetap diam ketika melihatku mengusap air mata. Bahkan dalam taksi pun aku semakin terisak. Entah kenapa perpisahanku dengan Dewa semakin terasa pahit saat bertemu Ibunda Dewa. Menjelaskan pada Ibunda Dewa jauh lebih sulit dibandingkan menjelaskan pada Ibuku. Dan, ya Tuhan, kenapa Dewa bisa berlaku seperti itu?

"kamu masih mikirin Dewa ya, Nja?" aku hanya menoleh sekilas. Tidak menjawab pertanyaan Jingga.

"Cara Dewa yang tadi aja udah nunjukin kalo dia itu nggak pantes buat kamu, Nja. Kamu berhak dapat yang lebih baik dari dia." Ucapan Jingga memang benar, tapi entah kenapa dadaku makin sesak.

Tanpa terasa aku terisak, Ucapan Jingga terasa membekas.

"Neng, nggak papa?" supir taksi yang kunaiki tiba-tiba menatapku khawatir dari balik kaca.

Aku hanya mengangguk dan mengambil tissue, mengusap pelan bekas air mataku.

"pak, berhenti disini aja." kataku pelan. Supir taksi itu menatapku bingung, tapi tetap memenuhi intruksiku untuk berhenti.

Aku ingin mampir sebentar ke makam mendiang Ayahku. Aku merindukannya. Sungguh.

Aku membiarkan Jingga terus mengikutiku, setelah membawa bunga dan juga air mawar aku mulai berjalan mencari kompleks pemakaman ayahku.

Aku berjongkok disamping makam Ayahku, menatap batu nisan dengan penuh kerinduan. Dadaku semakin sesak ketika aku melantunkan Doa. Ya Tuhan.

"Assalamualaikum Pa, Senja datang." Aku mengusap batu nisan tersebut, "gimana pa disana? Maafin ya Senja jarang datang buat jenguk Papa. Senja terlalu sibuk sama urusan Senja." Aku mengusap air mata yang terus saja turun tanpa bisa dihentikan.

"Mama sehat kok, Abang sama istrinya juga. Malah Istri abang lagi hamil lho Pa, bentar lagi Abang jadi Ayah." kataku disela-sela isakan. "Papa, hari ini Senja patah hati. Senja kecewa sama orang yang Senja percaya akan jadi orang yang ada dimasa depan Senja."

Aku terdiam sejenak, berusaha mengatur isakanku, "Senja terlalu percaya sama dia Pa. Sampai harus sesakit ini ketika kecewa."

"Nja," Jingga memanggil namaku, tangannya berusaha meraihku. "Jangan nangis, nanti Papa kamu nggak tenang disana."

Aku menarik nafas semakin dalam. Entah, rasa sakit itu tak kunjung pergi.

Mungkin kali ini Tuhan sedang mengajariku bagaimana caranya Ikhlas untuk merelakan orang. Mungkin benar, tidak semua orang yang memasuki hidupmu akan memberikan kesan yang Indah. Sebagian besar mungkin hanya akan mengajarkanmu bagaimana caranya kuat dan bertahan ditengah rasa sakit yang begitu besar.

Senja & Fajar [ on hold ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang